Senin, 31 Oktober 2016

Kerajaan Tanjung Jaya



Mungkin tidak banyak yang tahu, kalau di Jakarta pernah berdiri sebuah kerajaan. Kerajaan itu adalah Kerajaan Tanjung Jaya, sebuah kerajaan kecil yang menjadi bawahan kerajaan Pajajaran.
Menurut Naskah Wangsakerta yang ditulis oleh Pangeran Wangsakerta dari Cirebon pada abad ke- 17, kerajaan tersebut terletak di Kampung Muara, Tanjung Barat, Jakarta Selatan. Karena letaknya di Tanjung Barat, beberapa ahli sejarah Sunda menyebut kerajaan tersebut dengan Kerajaan Tanjung Barat.
Kerajaan ini didirikan oleh Wangsatunggal, seorang sepupu Ragamulya Luhur Prabawa raja Kerajaan Pajajaran ke-30. Wangsatunggal mendirikan kerajaan ini pada 1333. Awalnya, Kerajaan Tanjung Jaya merupakan bawahan Kerajaan Sunda-Galuh. Tetapi, ketika Sunda-Galuh dipersatukan dengan Pajajaran, kerajaan ini kemudian menjadi bawahan Kerajaan Pajajaran yang berpusat di Bogor sekarang.
Meskipun hanya sebuah kerajaan kecil, Tanjung Jaya termasuk kerajaan yang ramai. Hal ini disebabkan kerajaan ini ditugaskan oleh Pajajaran untuk mengurus Pelabuhan Kalapa, sebuah pelabuhan terbesar saat itu di Nusantara. Di Pelabuhan Kalapa yang kemudian lebih dikenal dengan nama Pelabuhan Sunda Kalapa, banyak perahu dan kapal dari berbagai negara datang untuk berniaga. Di pelabuhan ini para saudagar dari berbagai negara seperti Cina, India, Arab, dan lain-lain membeli rempah-rempah yang dihasilkan dari berbagai wilayah di Nusantara. Sebaliknya, mereka menjual berbagai barang seperti kain, porselen, dan barang pecah belah dari negeri mereka.
Dalam naskah Wangsakerta dijelaskan bahwa istana Kerajaan Tanjung Jaya berdiri di atas areal tanah seluas 800 meter persegi. Istana tersebut menghadap ke arah utara. Hal tersebut dibuktikan dengan adanya lubang sumur berdiameter 35 cm, yang kemudian disebut lubang buaya serta sebuah kulem atau kolam.
Menjadi ciri khas istana-istana di wilayah Pulau Jawa sebelah Barat adanya sumur tua di depan istana. Bahkan di bagian depan istana Pajajaran (Lawang Gintung) terdapat tujuh buah sumur.
Sumur dan kulem berfungsi untuk tempat membersihkan diri sang hulun (rakyat) yang akan menghadap raja. Membersihkan diri dimulai dengan mengguyur wajah, sebagian air itu dipakai berkumur. Setelah membersihkan wajah dan berkumur, dilanjutkan dengan menyiram kepala, dan terakhir mencuci kaki. Mirip dengan cara berwudhu. Setelah membersihkan diri sang hulun menunggu di ruang tunggu yang bernama amben, sebelum akhirnya diterima oleh raja atau ratu di paseban.
Hubungan rakyat dengan penguasa di Kerajaan Tanjung Jaya berjalan dengan baik. Tidak heran kerajaan ini dapat berdiri hingga selama hampir 2,5 abad. Selama kurun waktu tersebut, setelah Wangsatunggal, kerajaan ini berturut-turut dipimpin oleh Ratu Munding Kawati, Raja Mental Buana, Raja Banyak Citra, Raja Cakralarang, dan terakhir Ratu Kiranawati.
Ratu Kiranawati yang merupakan putri Raja Cakralarang menikah dengan salah seorang putra Prabu Siliwangi yaitu Surawisesa. Surawisesa kelak menjadi penerus tahta Prabu Siliwangi. Surawisesa inilah yang membuat prasasti Batutulis, sebagai kenang-kenangan dan penghormatan kepada ayahnya, Prabu Siliwangi.
Ratu Kiranawati merupakan ratu terakhir kerajaan ini. Pada masa ini agama Islam telah mulai dikenal di Kerajaan Pajajaran dan syiarnya sampai pula ke Kerajaan Tanjung Jaya, sehingga Ratu Kirawanati pun menganut agama Islam. Menurut cerita rakyat, bila hendak bepergian ke mana pun, Ratu Kiranawati selalu diiringi dengan kumandang azan sebelum dia menaiki kereta kudanya. Berdasarkan penuturan beberapa orang penduduk, sampai dengan awal tahun 1990-an di malam-malam tertentu masih sering terdengar bunyi kereta kuda yang berasal dari lokasi ini.
Ratu Kiranawati juga terkenal dengan kecantikan wajahnya, sehingga oleh rakyatnya dijuluki dengan julukan Ratu Kebagusan. Dari julukan inilah sebuah nkampung yang terletak di seberang Tanjung Barat diberi nama Kampung Kebagusan.
Selama dalam kepemimpinan Ratu Kiranawati dan para pendahulunya, Kerajaan Tanjung Jaya dan kerajaan induknya, Pajajaran dalam keadaan gemah ripah loh jinawi. Hal ini membuat Kesultanan Demak dan Kesultanan Cirebon menjadi iri. Namun, rasa iri ini dipendam saja, mengingat Kesultanan Cirebon memiliki hubungan darah dengan Kerajaan Pajajaran. Karena Raden Walangsungsang putra Prabu Siliwangi dari permaisuri Subang Larang merupakan pendiri Kesultanan Cirebon dan uwak dari Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati.
Tetapi, ketika Pajajaran melakukan kerjasama dengan Portugis, Demak dan Cirebon menjadi punya alasan untuk menyerang Pajajaran. Namun yang pertama diserang bukan Kerajaan Pajajaran secara langsung, tetapi Pelabuhan Kalapa yang menjadi urat nadi perekonomian Pajajaran.
Serangan pasukan gabungan Demak dan Cirebon yang dikomandani Fatahillah pada 1527 ini berhasil menaklukan Pelabuhan Kalapa. Pasukan Kerajaan Tanjung Jaya dan sebagian prajurit Pajajaran yang bersiaga di Pelabuhan Kalapa tidak mampu menahan gempuran pasukan Demak – Cirebon. Mereka terpaksa mengundurkan diri ke ibukota Pakuan Pajajaran.
Usai menaklukkan Kerajaan Tanjung Jaya dan Pelabuhan Kalapa, Fatahillah mengganti nama Pelabuhan Kalapa dengan nama Jayakarta. Dan sebagai penguasa baru di Jayakarta, Sultan Demak mengangkat Fatahillah sebagai adipati pertama.
Kerajaan Tanjung Jaya diperkirakan runtuh bersamaan dengan runtuhnya Pajajaran yang diserang Kesultanan Banten di bawah pimpinan Maulana Yusuf pada 1579. Sisa keratonnya yang terletak di tepi kali kawin Muara kemudian ikut terbenam di lokasi itu.*











Menengok Masjid Peninggalan Pangeran Jayakarta



Di Kelurahan Jatinegara Kaum, Kecamatan Pulogadung, Jakarta Timur terdapat sebuah masjid tua. Sekilas, masjid ini tampak tak berbeda dengan masjid-masjid lainnya. Hanya saja masjid ini hampir setiap hari didatangi orang yang tak hanya sekedar untuk sholat dan pengajian.

Orang-orang itu datang dari berbagai tempat di Jakarta. Banyak juga yang datang dari  luar daerah. Mereka yang datang umumnya untuk berziarah ke makam Pangeran Jayakarta. Pangeran Jayakarta adalah Penguasa Jakarta di masa lalu yang makamnya berada di lingkungan komplek masjid tersebut.
Seperti penampilan masjid tua lainnya, Masjid As-Salafiyah saat ini lebih terlihat lapang. Penampilannya pun terkesan mewah dengan keramik dan marmer menutupi hampir seluruh temboknya. Persis sama dengan masjid-masjid seumurnya, tampaknya ukuran asli As-Salafiyah hanya seluas empat pilar dengan selasar sepanjang 5 meter di setiap sisinya –separuh bagian barat bangunan. Masjid tua ini banyak memiliki makam di sisi selatan, barat, dan utara.

Riwayat Pangeran Jayakarta
Pangeran Jayakarta bukanlah nama seseorang melainkan gelar bagi Penguasa Jakarta. Pangeran Jayakarta yang dimakamkan di Jatinegara Kaum bernama Pangeran Akhmad Djaketra. Pangeran Jayakarta mewarisi kekuasaan atas Jayakerta dari Ratu Bagus (Tubagus) Angke, yang sebelumnya memperoleh kekuasaan itu dari Fatahillah, yang memutuskan pulang ke Banten (sekarang Banten Lama) setelah berhasil merebut pelabuhan Sunda Kalapa dari Kerajaan Pajajaran pada pertengahan Februari 1527.
Pangeran Akhmad Djaketra bergelar Pangeran Jayakarta III. Ia adalah putra dari  Pangeran Sungerasa Jayawikarta dari Kesultanan Banten yang merupakan Pangeran Jayakarta II. Pangeran Jayakarta II ini juga dikenal sebagai Pangeran Jayakarta Wijayakrama. Sedangkan pemangku gelar Pangeran Jayakarta yang pertama yaitu Ratu Bagus (Tubagus) Angke alias Pangeran Hasanuddin. Tubagus Angke merupakan menantu Fatahillah atau Falatehan yang konon menantu Syarif Hidayatullah alias Sunan Gunung Jati, peletak dasar Kesultanan Cirebon dan Banten.
Tercatat dalam sejarah di bawah kepemimpinan Pangeran Jayakarta kota bandar itu maju pesat. Terutama di bidang perdagangan hasil bumi. Hal itu membuat Belanda, melalui perusahaan dagang Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC), ingin membuka usaha perdagangan di sana. VOC sebelumnya sudah malang-melintang dan menguasai perdagangan rempah-rempah di Maluku.
Pada November 1610, Belanda berhasil memperoleh ijin dari Pangeran Jayakarta Wijayakrama untuk membangun loji (gudang) di atas tanah seluas 94 meter persegi di sisi timur muara Kali Ciliwung. Sebagai imbalan, kepada Pangeran Jayakarta Belanda membayar sebesar 2.700 florin atau 1.200 real. Namun, di pelabuhan yang ketika itu juga disebut Jakatra, Belanda mempraktikkan sistem dagang monopoli yang licik, yang merugikan Pangeran Jayakarta. Perselisihan pun pecah dan merebak antara tahun 1610-1619.
Dalam konflik itu, Pangeran Jayakarta Wijayakrama dibantu pasukan kiriman Sultan Banten yang juga merasa dicurangi serta pasukan Inggris. Inggris ikut berperang di pihak Jayakarta karena berharap dapat mengusir Belanda yang merupakan pesaing bisnisnya dalam penguasaan perdagangan rempah-rempah di Nusantara. Di Jayakarta, Inggris mendirikan kantor dagangnya yang terletak di sisi barat muara Ciliwung.
Tak tahan dikeroyok, Gubernur Jenderal Belanda Jan Pieterszoon Coen kabur ke Ambon, meminta tambahan pasukan. Saat Coen masih di Maluku dan pasukan kompeni (VOC) sudah terpojok, muncul konflik baru antara Banten dan dan Jayakarta. Pangeran Ranamanggala yang saat itu menjabat sebagai wakil sultan Banten merasa tidak suka dengan kerjasama yang dijalin Pangeran Jayakarta dengan VOC. Pangeran Jayakarta Wijayakrama pun ditarik ke Banten sampai wafatnya. Pangeran Jayakarta II ini dimakamkan di Tanah Hara (Tanara) Banten Sementara Inggris yang tadinya mendukung Banten dan Jayakarta, berbalik gagang melawan Banten dan Jakarta, yang berakhir dengan terusirnya Inggris dari Jayakarta.
Pada saat yang sama, JP. Coen tiba-tiba muncul lagi dengan membawa pasukan yang masih segar dari Ambon. Mengusung semboyan “despereet niet” (jangan putus asa) Coen langsung memorak-porandakan pasukan koalisi Banten-Jayakarta yang sudah loyo gara-gara pertempuran dengan Inggris. Bala tentara Banten melarikan diri ke arah barat dan selatan, sementara pasukan Jayakarta yang saat itu dipimpin Pangeran Akhmad Jaketra atau Pangeran Jayakarta III, mundur ke arah tenggara. Setelah menguasai Jakerta pada 12 Maret 1619, Coen mengganti nama kota pelabuhan itu menjadi Batavia.
Walaupun terusir dari Jakerta, Pangeran Jayakarta III belum menyerah. Ajakan Belanda untuk berdamai selalu ia tolak. Pangeran Jayakarta III bahkan terus melancarkan perlawanan. Dalam sebuah pertempuran yang terjadi di daerah Mangga Dua, ia kehilangan Syekh Badar Alwi Alaydrus, panglima perangnya yang tertangkap dan dikuliti anak buah JP Coen.
Pada bulan Mei 1619, dalam sebuah pertempuran pasukan Pangeran Jayakarta dikabarkan terdesak. Mereka dikepung pasukan Belanda dari arah Senen, Pelabuhan Sunda Kelapa, dan Tanjung Priok.
Menurut Raden Suprijadi Rosjid, salah seorang keturunan Pangeran Jayakarta kakek moyangnya itu berhasil mengelabui tentara kompeni dengan melepas jubah dan sorbannya, yang lantas dibuang ke dalam sebuah sumur tua di Mangga Dua. Belanda yang menyangka Pangeran Jayakarta bersembunyi ke dalam sumur lantas menembaki jubah dan sorbannya itu. Mengira Pangeran Jayakarta telah tewas ke dalam sumur tua itu, Pasukan Belanda menghentikan pengejaran dan menimbun sumur itu dengan tanah. Sumur tersebut kini berada di Jalan Pangeran Jayakarta dan dikenal sebagai keramat Pangeran Jayakarta.

Masjid As-Salafiyah, Pusat Aktivitas Masyarakat
Melihat situasi yang tidak memungkinkan untuk kembali, Pangeran Jayakarta dan sisa pengikutnya meneruskan perjalanan terus ke selatan. Setelah beberapa lama berjalan, sampailah mereka ke sebuah hutan jati yang lebat. Untuk sementara mereka beristirahat di tepi sebuah sungai yang membelah hutan itu.  Sungai itu adalah Kali Sunter yang bermuara ke Teluk Jakarta.
Seterusnya Pangeran Jayakarta dan pengikutnya menetap dan membangun perkampungan baru di tempat itu. Perkampungan itu kemudian dinamakan Jatinegara Kaum. Jatinegara artinya negara yang sejati. Sedangkan kata kaum, menunjukkan bahwa mereka adalah golongan bangsawan. Setelah beberapa waktu lamanya, perkampungan kecil itu berkembang dengan hadirnya para pendatang lainnya.
Pada tahun 1620, Pangeran Jayakarta  membangun sebuh masjid yang berbentuk masjid kecil dengan empat tiang pokok dan satu cungkup (atap masjid). Lalu pada tahun 1700 Pangeran Sageri melakukan pemugaran. Pemugaran juga dilakukan oleh Tubagus Aya Kasim pada tahun 1884.

Dirahasiakan
Akan tetapi, selama tiga abad sejarah Masjid As-Salafiyah dirahasiakan rapat-rapat. Begitu juga dengan keberadaan makam Pangeran Jayakarta di masjid ini. Hal tersebut dilakukan untuk menjaga amanah dari Sang Pangeran.
“Pangeran Jayakarta berwasiat kepada keturunannya agar tidak memberitahukan keberadaannya baik saat ia hidup maupun meninggal kecuali jika Belanda sudah tidak berada di negeri ini,” kata Raden Rosjid yang mendapat amanah untuk meneruskan ‘estafet’ pemeliharaan makam dan masjid.
Wasiat tersebut dijaga ketat oleh pada keluarga maupun keturunan yang merupakan amanah dari Pangeran Jayakarta semasa hidup. Bahkan untuk menjaga wasiat Pangeran Jayakarta, keturunan Pangeran Jayakarta tidak menikah dengan orang lain di luar keluarga Pangeran Jayakarta. Mereka pun memberikan tanggung jawab memelihara mereka menjaga masjid dan makamnya secara turun temurun.
Akibatnya, hanya mereka yang tahu bahwa Pangeran Jayakarta dimakamkan di tempat ini. Orang di luar keturunannya mengira makam Pangeran Jayakarta ada di Mangga Dua, tempat dimana Belanda menyangka ia tewas dahulu.
Setelah Indonesia merdeka tepatnya pada tahun 1960-an, barulah keturunan Pangeran Jayakarta memberitahu kepada masyarakat bahwa keberadaan makam Pangeran Jayakarta yang sebenarnya ada di Masjid As-Salafiyah. Kini, masjid Assalafiyah ditetapkan menjadi cagar budaya dan suaka peninggalan sejarah. Pengelolaannya berada di bawah Dinas Kebudayaan dan Permuseuman DKI Jakarta.
Rosjid yang tadinya adalah pengusaha mebel rela menomorduakan usahanya demi menjalankan amanah sebagai juru pelihara masjid dan makam. Pria dengan delapan anak dan tiga cucu ini lebih banyak mengandalkan pendapatan dari honor sebagai juru pelihara masjid dan makam. Lagipula, di usianya yang menginjak 58 tahun ia merasa sudah saatnya ia pensiun dari usaha mebelnya.
Rosjid mengatakan, perhatian Pemerintah kepada keberadaan bangunan bersejarah ini sudah baik. “Setiap Gubernur pasti memasukkan anggaran untuk pemugaran Masjid Assalafiyah di setiap periodenya”, ujarnya.
Keluarga Jatinegara Kaum sendiri juga secara swadaya melakukan pemugaran pada tahun 1933. Setelah merdeka, pemerintah mulai mengambil alih urusan pemugaran ini. Pada tahun 1968 Gubernur Ali Sadikin melakukan pemugaran yang cukup besar. Masjid Assalafiyah diperluas ke belakang, lalu dibangun dua lantai, dan dibangun menara baru.
Pada masa kepemimpinan Gubernur Surjadi Sudirdja, Pemprov DKI Jakarta sempat memugar masjid ini sebanyak dua kali, yaitu pada periode 1992-1993 dan periode 1994-1995. Masjid ini terakhir kali dipugar oleh Gubernur Sutiyoso pada periode 2003-2004.
Walaupun sudah banyak dipugar, bangunan Masjid Assalafiyah masih sangat mempertahankan keasliannya, yaitu bangunan asli yang terdiri dari empat pokok, masih dipertahankan dari mulai pokok dari kayu jati hingga atapnya. Bahkan gentingnya pun masih asli.
Sayangnya, tangan jahil dan sifat jahat masih saja tak bisa menghargai nilai sejarah. Tercatat beberapa peninggalan sejarah masjid ini hilang tak ketahuan rimbanya. Yang tersisa hanya empat tiang penyangga dan sebuah kaligrafi Arab berbentuk sarang tawon di dalam plafon menara masjid. Padahal, peninggalan sejarah itu merupakan harta budaya milik umat yang harus dijaga secara bersama pula.**







Entong Gendut, Pahlawan Rakyat Condet



Di abad ke- 17 orang Belanda menyebut Condet dengan sebutan Groeneveld, yang berarti Tanah Hijau. Pada waktu itu Condet termasuk bagian dari tanah partikulir Tandjoeng Oost atau Tanjung Timur milik Peter van Der Velde asal Amersfoort. Peter van Der Velde merasa perlu untuk membangun sebuah bangunan besar di Condet untuk tempat tinggal sekaligus mengurus segala aktivitasnya. Bangunan itu pun dinamai serupa, yakni Gedung Groeneveld atau Tandjoeng Oost (Tanjung Timur).
Villa Tanjung Timur merupakan tempat persinggahan para petinggi VOC ketika mereka melakukan perjalanan ke Buitenzorg (Bogor) dengan menggunakan kereta kuda. Salah seorang petinggi VOC yang pernah singgah di gedung ini adalah Marsekal Herman Williem Daendles ketika ia menjabat sebagai Gubernur Jendral VOC.
Di villa itu pula pada 1749 pernah berlangsung pertemuan akrab antara Gubernur Jenderal Baron van Imhoff (1743-1750) dan Syarifah Fatimah,wali sultan Banten. Syarifah Fatimah pada 1720 menjadi istri pangeran mahkota Banten dan berpengaruh besar pada suaminya saat ia menjadi sultan pada 1733.
Menurut sejarawan asal Jerman, Adolf F. Hauken, akibat ulah Syarifah Fatimah para pangeran merasa tidak aman dan melarikan diri ke Batavia. Syarifah Fatimah digambarkan sebagai wanita,yang selain cantik, juga cerdas dan terdidik, hingga dapat mempengaruhi suaminya, Sultan Zainul Arifin.
Pertemuannya dengan van Imhoff di Tanjung Timur memancing kemarahan rakyat Banten hingga timbul pemberontakan yang dipimpin Kiai Tapa yang bermarkas di Gunung Munara, dekat Ciseeng, Parung, Bogor, Jawa Barat, pada 1750. Syarifah Fatimah terpaksa menyingkir dari Banten sewaktu teman dekatnya,van Imhoff, meninggal di tahun yang sama. Setahun kemudian (1751) ia meninggal saat menjalani pembuangan di Pulau Edam di Kepulauan Seribu.
Villa Tanjung Timur ini kini tinggal puing-puing sejak terbakar pada 1985 saat digunakan sebagai Ksatriaan Polantas Tanjung Timur. Sayang, Pemda DKI Jakarta tak pernah menggubrisnya. Padahal, bangunan ini merupakan monument perjuangan rakyat Betawi Condet melawan tuan tanah pada 1916.
Tandjoeng Oost mengalami masa kejayaan ketika dikuasai oleh Daniel Cornelius Helvetius van Riemsdijk yang berusaha menggalakkan pertanian dan peternakan.
Setelah ia meninggal pada tahun 1860, Groeneveld menjadi milik putrinya yang
bernama, Dina Cornelia, yang menikah dengan Tjalling Ament, asal Kota Dokkum,
Belanda Utara. Ament melanjutkan usaha mertuanya, meningkatkan usaha pertanian
dan peternakan.
Pertengahan abad ke-19, di kawasan Tanjung Oost dipelihara lebih dari 6000 ekor sapi, produksi susunya sangat terkenal di antero Batavia. Sampai tahun 1942 Groeneveld turun–temurun dihuni keturunan Van Riemsdjik. Keberadaan Villa Tanjung Timur yang oleh penduduk setempat disebut Gedong Tinggi turut mengubah kawasan itu yang semula bernama Kampung Asem Baris menjadi Kampung Gedong sampai sekarang.
 Setelah Tjaling Ament dan istrinya meninggal, Groeneveld dikuasai oleh keturunannya. Sebagai tuan tanah yang menguasai Condet, tuan tanah tersebut mengharuskan rakyat Condet membayar pajak. Juru tagihnya para mandor dan centeng tuan tanah.
Setiap minggu rakyat harus membayar blasting atau pajak kompenian sebesar 2,5
sen. Jumlah itu dinilai sangat besar, sebab harga beras ketika itu cuma empat
sen per kilogram. Penduduk yang belum membayar blasting diharuskan kerja paksa
mencangkul sawah dan kebun milik tuan tanah selama seminggu. Jika para pemilik
sawah atau kebun yang belum membayar pajak kompenian, ganjarannya lebih berat.
Hasil sawah dan kebun mereka tak boleh dipanen.
Menghadapi kebijakan tuan tanah seperti itu, rakyat Condet masih berusaha sabar.
Namun, ketika Asisten Wedana Pasar Rebo bertindak sewenang-wenang terhadap seorang penduduk Condet, kesabaran mereka sampai pada batasnya.
Februari 1916, tuan tanah menang perkara dari seorang petani renta. Ia wajib membayar 7,20 Gulden, ditambah ongkos perkara. Itu keputusan landrad di Meester Cornelis. Karena memang tak punya uang, Taba, petani itu, tak bisa membayar. Tuan tanah marah, menyita semua milik Taba. Di Kebon Jaimin sebelah utara, eksekusi dilakukan terbuka. Banyak tetangga datang, berteriak marah dengan kerongkongan tercekik, tapi tak bisa berbuat apa-apa. Haji Entong Gendut ikut hadir di situ sambil menggertakkan gerahamnya. Ia menggigit bibir, tangannya terkepal. Itu bukan kejadian pertama. Mulanya dia memilih diam, tapi sejak tragedi Taba, Entong Gendut mulai membangkang.
Berikutnya, 5 April 1916. Ada pertunjukan Tari Topeng di rumah Nyonya Van der Vasse Rollinson di Villa Nova, Cililitan. yang dipentaskan mulai pukul 11 malam. Umumnya pergelaran Tari Topeng kala itu, bukan sekadar tarian yang ditampilkan. Ada judi, juga pelacuran. Sejak sore suasana jadi tegang. Mobil D.C. Ament, Tuan Tanah dari Tandjoeng Oost yang dating ke sana dilempari batu oleh sekelompok penduduk. Ketika gendang mulai ditabuh, segerombolan orang berpakaian jawara, datang melabrak. Mereka minta supaya acara dibubarkan.
"Ini perintah Haji Entong Gendut!" begitu mereka berteriak, lantang. Warga patuh. Mereka bubar dan pulang dengan tenang.
Celakanya, wedana uring-uringan. Dia utus mantri polisi dan demang ke Batu Ampar untuk membekuk Entong Gendut. Begitu tiba di rumah Entong Gendut, mereka disambut para jawara Condet yang ikut bergabung dalam barisan Entong Gendut. Ada Maliki, Modin,
Saiprin, Haji Amat Wahab, Sayyid Kramat, Hadi, Dullah, dan para habib dari Cawang seperti Habib Ahmad Al Hadad, Sayyid Mukhsin Alatas, dan Habib Alaydrus.
Saat ditanya mengapa ia berani menghentikan pertunjukan Tari Topeng, Entong Gendut menjawab lugas, "Demi Agama!" Dengan cara yang serba lepas ia coba jelaskan tentang rakyat yang miskin akibat diperas, tapi terperangkap dalam judi dan pelacuran.
Mantri polisi dan demang menganggap Entong Gendut sudah keterlaluan. Namun mereka tak berani meski sekompi pasukan dengan senjata lengkap ikut dibawa. Lagi pula Entong Gendut sepertinya sudah siap. Sambil menghunus sebilah golok ia mengancam, "Gua gedruk nih tanah, maka nih tanah bakalan jadi laut!" Tanpa dikomando, dari semak-semak bermunculan jawara-jawara lain yang sebelumnya tak nampak.
Orang Betawi Condet memang terkenal adatnya yang keras, mungkin memang sudah diwariskan dari leluhurnya yang menurut catatan sejarah adalah orang-orang
bui-an Belanda, seperti para pejuang Laskar Banten pimpinan Pangeran Purbaya,
dan orang-orang Makassar pengikut Dato Tonggara atau Kapitan Daeng Matara.
Tidak heran apabila di Tanah Condet kelak setelah itu, bermunculan para
pemberontak yang sangat membenci Belanda. Bukan cuma itu, Condet juga merupakan
basis para pendekar silat Betawi dari berbagai aliran, mulai dari Sapu Angin,
Bandul, Lima Pancer, Ki Atu, Ki Jrimin, Muara Condet, Bongkot, Al Jabbar, Pletak
Pletik hingga ke Silo Macan.
Karena keberpihakannya pada petani dalam sekejap pendukung Entong Gendut semakin bertambah banyak. Wedana jadi gundah. Ia menyuruh asistennya turun tangan langsung mengepung rumah Entong Gendut di hari-hari berikut.
Usaha itu mendapat perlawanan dari Entong Gendut Cs. Pada 9 April 1916 Entong Gendut menawan Asisten Wedana. Aksi-aksinya tersebut menimbulkan keresahan di kalangan penguasa kolonial, termasuk Asisten Residen tentunya.
Oleh karena itu pada tanggal 10 April 1916 Asisten Residen berserta dengan pasukannya mencoba menangkap Entong Gendut. Ketika tiba di lokasi, Asisten Residen berteriak, menyuruh Entong Gendut supaya keluar.
"Gua bakalan keluar setelah sembahyang barang sebentar!" Entong Gendut menyahut dari dalam. Dan ia pun keluar, bersama tombak, sebilah golok, dan bendera merah dihiasi bulan sabit putih. Ia tidak tunduk pada apapun, juga kepada Belanda. "Gua cuma tunduk sama Allah!" tegasnya garang. Di belakangnya telah bersiap pula 40 orang pengikutnya.
Asisten Residen menyuruh polisi menangkap Entong Gendut dan pengikutnya. Namun tanpa diduga oleh marsose (polisi Belanda) yang mengepungnya, Entong Gendut dan anak buahnya menyerang mereka sembari meneriakkan sabilillah.
Teriakan-teriakan “Allahu Akbar! Sabilullah! Gua kagak takut!” menggema ke seantero Condet, mewakili genderang perang jihad menegakkan amar makruf nahi munkar.
Hal ini membuat pihak Belanda marah dan mengerahkan bala bantuan dari Batavia. Pemberontakan berhasil ditumpas. Haji Entong Gendut gugur. Kelihaiannya bermain jurus silat Silo Macan, tidak menghalangi hujaman peluru Belanda yang deras mengarah ke dadanya. Dia tersungkur tertembak ketika terpancing Belanda untuk menyeberangi kali Ciliwung. Konon, menurut cerita rakyat, kekebalan Entong Gendut akan luntur apabila terkena air sungai.
Asisten Resident Meester Cornelis yang kala itu memimpin penumpasan rakyat Condet,
memerintahkan untuk membawa Entong Gendut ke Rumah Sakit Kwini (kini RSPAD Jakarta).
Namun, di tengah perjalanan dia menghembuskan nafasnya yang terakhir. Satu persatu para pengikutnya ditangkapi.
Setelah pemberontakan itu, tindakan tuan tanah dan Kompeni terhadap rakyat
Condet semakin kejam, sehingga tidak ada seorang pun orang dewasa yang berani
tinggal di Condet. Mereka semua melarikan diri dari kejaran Belanda.
Bahkan di jalan-jalan Batavia sampai tidak ada yang berani mengaku orang Condet. Kala itu banyak pemuda Condet yang ditangkap dan pulang tinggal nama. Situasi
mencekam itu digambarkan dalam pantun rakyat Condet yang cukup terkenal :

Ular kadut mati di kobak
Burung betet makanin laron
Entong gendut mati ditembak
Orang Condet pada buron

Sementara itu beberapa pendekar lain seperti Maliki, Modin, Hadi, dan Dullah melarikan diri ke arah timur, yaitu Rawa Binong (sekarang termasuk Kelurahan Lubang Buaya, Kecamatan Cipayung, Jakarta Timur). Di daerah itu mereka membangun basis perjuangan, menyalakan kembali api pemberontakan dengan mendidik rakyat Rawa Binong menjadi pendekar, melahirkan buaya-buaya yang disegani tidak hanya oleh para tuan tanah, melainkan juga oleh kompeni. Hingga di tempat itu kemudian hari dikenal dengan sebutan Lobang Buaya, yang berarti sarangnya buaya-buaya silat atau jawara.(Sep)*