Senin, 31 Oktober 2016

Menengok Masjid Peninggalan Pangeran Jayakarta



Di Kelurahan Jatinegara Kaum, Kecamatan Pulogadung, Jakarta Timur terdapat sebuah masjid tua. Sekilas, masjid ini tampak tak berbeda dengan masjid-masjid lainnya. Hanya saja masjid ini hampir setiap hari didatangi orang yang tak hanya sekedar untuk sholat dan pengajian.

Orang-orang itu datang dari berbagai tempat di Jakarta. Banyak juga yang datang dari  luar daerah. Mereka yang datang umumnya untuk berziarah ke makam Pangeran Jayakarta. Pangeran Jayakarta adalah Penguasa Jakarta di masa lalu yang makamnya berada di lingkungan komplek masjid tersebut.
Seperti penampilan masjid tua lainnya, Masjid As-Salafiyah saat ini lebih terlihat lapang. Penampilannya pun terkesan mewah dengan keramik dan marmer menutupi hampir seluruh temboknya. Persis sama dengan masjid-masjid seumurnya, tampaknya ukuran asli As-Salafiyah hanya seluas empat pilar dengan selasar sepanjang 5 meter di setiap sisinya –separuh bagian barat bangunan. Masjid tua ini banyak memiliki makam di sisi selatan, barat, dan utara.

Riwayat Pangeran Jayakarta
Pangeran Jayakarta bukanlah nama seseorang melainkan gelar bagi Penguasa Jakarta. Pangeran Jayakarta yang dimakamkan di Jatinegara Kaum bernama Pangeran Akhmad Djaketra. Pangeran Jayakarta mewarisi kekuasaan atas Jayakerta dari Ratu Bagus (Tubagus) Angke, yang sebelumnya memperoleh kekuasaan itu dari Fatahillah, yang memutuskan pulang ke Banten (sekarang Banten Lama) setelah berhasil merebut pelabuhan Sunda Kalapa dari Kerajaan Pajajaran pada pertengahan Februari 1527.
Pangeran Akhmad Djaketra bergelar Pangeran Jayakarta III. Ia adalah putra dari  Pangeran Sungerasa Jayawikarta dari Kesultanan Banten yang merupakan Pangeran Jayakarta II. Pangeran Jayakarta II ini juga dikenal sebagai Pangeran Jayakarta Wijayakrama. Sedangkan pemangku gelar Pangeran Jayakarta yang pertama yaitu Ratu Bagus (Tubagus) Angke alias Pangeran Hasanuddin. Tubagus Angke merupakan menantu Fatahillah atau Falatehan yang konon menantu Syarif Hidayatullah alias Sunan Gunung Jati, peletak dasar Kesultanan Cirebon dan Banten.
Tercatat dalam sejarah di bawah kepemimpinan Pangeran Jayakarta kota bandar itu maju pesat. Terutama di bidang perdagangan hasil bumi. Hal itu membuat Belanda, melalui perusahaan dagang Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC), ingin membuka usaha perdagangan di sana. VOC sebelumnya sudah malang-melintang dan menguasai perdagangan rempah-rempah di Maluku.
Pada November 1610, Belanda berhasil memperoleh ijin dari Pangeran Jayakarta Wijayakrama untuk membangun loji (gudang) di atas tanah seluas 94 meter persegi di sisi timur muara Kali Ciliwung. Sebagai imbalan, kepada Pangeran Jayakarta Belanda membayar sebesar 2.700 florin atau 1.200 real. Namun, di pelabuhan yang ketika itu juga disebut Jakatra, Belanda mempraktikkan sistem dagang monopoli yang licik, yang merugikan Pangeran Jayakarta. Perselisihan pun pecah dan merebak antara tahun 1610-1619.
Dalam konflik itu, Pangeran Jayakarta Wijayakrama dibantu pasukan kiriman Sultan Banten yang juga merasa dicurangi serta pasukan Inggris. Inggris ikut berperang di pihak Jayakarta karena berharap dapat mengusir Belanda yang merupakan pesaing bisnisnya dalam penguasaan perdagangan rempah-rempah di Nusantara. Di Jayakarta, Inggris mendirikan kantor dagangnya yang terletak di sisi barat muara Ciliwung.
Tak tahan dikeroyok, Gubernur Jenderal Belanda Jan Pieterszoon Coen kabur ke Ambon, meminta tambahan pasukan. Saat Coen masih di Maluku dan pasukan kompeni (VOC) sudah terpojok, muncul konflik baru antara Banten dan dan Jayakarta. Pangeran Ranamanggala yang saat itu menjabat sebagai wakil sultan Banten merasa tidak suka dengan kerjasama yang dijalin Pangeran Jayakarta dengan VOC. Pangeran Jayakarta Wijayakrama pun ditarik ke Banten sampai wafatnya. Pangeran Jayakarta II ini dimakamkan di Tanah Hara (Tanara) Banten Sementara Inggris yang tadinya mendukung Banten dan Jayakarta, berbalik gagang melawan Banten dan Jakarta, yang berakhir dengan terusirnya Inggris dari Jayakarta.
Pada saat yang sama, JP. Coen tiba-tiba muncul lagi dengan membawa pasukan yang masih segar dari Ambon. Mengusung semboyan “despereet niet” (jangan putus asa) Coen langsung memorak-porandakan pasukan koalisi Banten-Jayakarta yang sudah loyo gara-gara pertempuran dengan Inggris. Bala tentara Banten melarikan diri ke arah barat dan selatan, sementara pasukan Jayakarta yang saat itu dipimpin Pangeran Akhmad Jaketra atau Pangeran Jayakarta III, mundur ke arah tenggara. Setelah menguasai Jakerta pada 12 Maret 1619, Coen mengganti nama kota pelabuhan itu menjadi Batavia.
Walaupun terusir dari Jakerta, Pangeran Jayakarta III belum menyerah. Ajakan Belanda untuk berdamai selalu ia tolak. Pangeran Jayakarta III bahkan terus melancarkan perlawanan. Dalam sebuah pertempuran yang terjadi di daerah Mangga Dua, ia kehilangan Syekh Badar Alwi Alaydrus, panglima perangnya yang tertangkap dan dikuliti anak buah JP Coen.
Pada bulan Mei 1619, dalam sebuah pertempuran pasukan Pangeran Jayakarta dikabarkan terdesak. Mereka dikepung pasukan Belanda dari arah Senen, Pelabuhan Sunda Kelapa, dan Tanjung Priok.
Menurut Raden Suprijadi Rosjid, salah seorang keturunan Pangeran Jayakarta kakek moyangnya itu berhasil mengelabui tentara kompeni dengan melepas jubah dan sorbannya, yang lantas dibuang ke dalam sebuah sumur tua di Mangga Dua. Belanda yang menyangka Pangeran Jayakarta bersembunyi ke dalam sumur lantas menembaki jubah dan sorbannya itu. Mengira Pangeran Jayakarta telah tewas ke dalam sumur tua itu, Pasukan Belanda menghentikan pengejaran dan menimbun sumur itu dengan tanah. Sumur tersebut kini berada di Jalan Pangeran Jayakarta dan dikenal sebagai keramat Pangeran Jayakarta.

Masjid As-Salafiyah, Pusat Aktivitas Masyarakat
Melihat situasi yang tidak memungkinkan untuk kembali, Pangeran Jayakarta dan sisa pengikutnya meneruskan perjalanan terus ke selatan. Setelah beberapa lama berjalan, sampailah mereka ke sebuah hutan jati yang lebat. Untuk sementara mereka beristirahat di tepi sebuah sungai yang membelah hutan itu.  Sungai itu adalah Kali Sunter yang bermuara ke Teluk Jakarta.
Seterusnya Pangeran Jayakarta dan pengikutnya menetap dan membangun perkampungan baru di tempat itu. Perkampungan itu kemudian dinamakan Jatinegara Kaum. Jatinegara artinya negara yang sejati. Sedangkan kata kaum, menunjukkan bahwa mereka adalah golongan bangsawan. Setelah beberapa waktu lamanya, perkampungan kecil itu berkembang dengan hadirnya para pendatang lainnya.
Pada tahun 1620, Pangeran Jayakarta  membangun sebuh masjid yang berbentuk masjid kecil dengan empat tiang pokok dan satu cungkup (atap masjid). Lalu pada tahun 1700 Pangeran Sageri melakukan pemugaran. Pemugaran juga dilakukan oleh Tubagus Aya Kasim pada tahun 1884.

Dirahasiakan
Akan tetapi, selama tiga abad sejarah Masjid As-Salafiyah dirahasiakan rapat-rapat. Begitu juga dengan keberadaan makam Pangeran Jayakarta di masjid ini. Hal tersebut dilakukan untuk menjaga amanah dari Sang Pangeran.
“Pangeran Jayakarta berwasiat kepada keturunannya agar tidak memberitahukan keberadaannya baik saat ia hidup maupun meninggal kecuali jika Belanda sudah tidak berada di negeri ini,” kata Raden Rosjid yang mendapat amanah untuk meneruskan ‘estafet’ pemeliharaan makam dan masjid.
Wasiat tersebut dijaga ketat oleh pada keluarga maupun keturunan yang merupakan amanah dari Pangeran Jayakarta semasa hidup. Bahkan untuk menjaga wasiat Pangeran Jayakarta, keturunan Pangeran Jayakarta tidak menikah dengan orang lain di luar keluarga Pangeran Jayakarta. Mereka pun memberikan tanggung jawab memelihara mereka menjaga masjid dan makamnya secara turun temurun.
Akibatnya, hanya mereka yang tahu bahwa Pangeran Jayakarta dimakamkan di tempat ini. Orang di luar keturunannya mengira makam Pangeran Jayakarta ada di Mangga Dua, tempat dimana Belanda menyangka ia tewas dahulu.
Setelah Indonesia merdeka tepatnya pada tahun 1960-an, barulah keturunan Pangeran Jayakarta memberitahu kepada masyarakat bahwa keberadaan makam Pangeran Jayakarta yang sebenarnya ada di Masjid As-Salafiyah. Kini, masjid Assalafiyah ditetapkan menjadi cagar budaya dan suaka peninggalan sejarah. Pengelolaannya berada di bawah Dinas Kebudayaan dan Permuseuman DKI Jakarta.
Rosjid yang tadinya adalah pengusaha mebel rela menomorduakan usahanya demi menjalankan amanah sebagai juru pelihara masjid dan makam. Pria dengan delapan anak dan tiga cucu ini lebih banyak mengandalkan pendapatan dari honor sebagai juru pelihara masjid dan makam. Lagipula, di usianya yang menginjak 58 tahun ia merasa sudah saatnya ia pensiun dari usaha mebelnya.
Rosjid mengatakan, perhatian Pemerintah kepada keberadaan bangunan bersejarah ini sudah baik. “Setiap Gubernur pasti memasukkan anggaran untuk pemugaran Masjid Assalafiyah di setiap periodenya”, ujarnya.
Keluarga Jatinegara Kaum sendiri juga secara swadaya melakukan pemugaran pada tahun 1933. Setelah merdeka, pemerintah mulai mengambil alih urusan pemugaran ini. Pada tahun 1968 Gubernur Ali Sadikin melakukan pemugaran yang cukup besar. Masjid Assalafiyah diperluas ke belakang, lalu dibangun dua lantai, dan dibangun menara baru.
Pada masa kepemimpinan Gubernur Surjadi Sudirdja, Pemprov DKI Jakarta sempat memugar masjid ini sebanyak dua kali, yaitu pada periode 1992-1993 dan periode 1994-1995. Masjid ini terakhir kali dipugar oleh Gubernur Sutiyoso pada periode 2003-2004.
Walaupun sudah banyak dipugar, bangunan Masjid Assalafiyah masih sangat mempertahankan keasliannya, yaitu bangunan asli yang terdiri dari empat pokok, masih dipertahankan dari mulai pokok dari kayu jati hingga atapnya. Bahkan gentingnya pun masih asli.
Sayangnya, tangan jahil dan sifat jahat masih saja tak bisa menghargai nilai sejarah. Tercatat beberapa peninggalan sejarah masjid ini hilang tak ketahuan rimbanya. Yang tersisa hanya empat tiang penyangga dan sebuah kaligrafi Arab berbentuk sarang tawon di dalam plafon menara masjid. Padahal, peninggalan sejarah itu merupakan harta budaya milik umat yang harus dijaga secara bersama pula.**







Tidak ada komentar:

Posting Komentar