Di
Kelurahan Jatinegara Kaum, Kecamatan Pulogadung, Jakarta Timur terdapat sebuah
masjid tua. Sekilas, masjid ini tampak tak berbeda dengan masjid-masjid
lainnya. Hanya saja masjid ini hampir setiap hari didatangi orang yang tak
hanya sekedar untuk sholat dan pengajian.
Orang-orang itu
datang dari berbagai tempat di Jakarta. Banyak juga yang datang dari luar daerah. Mereka yang datang umumnya untuk
berziarah ke makam Pangeran Jayakarta. Pangeran Jayakarta adalah Penguasa
Jakarta di masa lalu yang makamnya berada di lingkungan komplek masjid
tersebut.
Seperti
penampilan masjid tua lainnya, Masjid As-Salafiyah saat ini lebih terlihat
lapang. Penampilannya pun terkesan mewah dengan keramik dan marmer menutupi
hampir seluruh temboknya. Persis sama dengan masjid-masjid seumurnya, tampaknya
ukuran asli As-Salafiyah hanya seluas empat pilar dengan selasar sepanjang 5
meter di setiap sisinya –separuh bagian barat bangunan. Masjid tua ini banyak
memiliki makam di sisi selatan, barat, dan utara.
Riwayat
Pangeran Jayakarta
Pangeran
Jayakarta bukanlah nama seseorang melainkan gelar bagi Penguasa Jakarta.
Pangeran Jayakarta yang dimakamkan di Jatinegara Kaum bernama Pangeran Akhmad
Djaketra. Pangeran Jayakarta mewarisi kekuasaan atas Jayakerta dari Ratu Bagus (Tubagus)
Angke, yang sebelumnya memperoleh kekuasaan itu dari Fatahillah, yang
memutuskan pulang ke Banten (sekarang Banten Lama) setelah berhasil merebut
pelabuhan Sunda Kalapa dari Kerajaan Pajajaran pada pertengahan Februari 1527.
Pangeran Akhmad
Djaketra bergelar Pangeran Jayakarta III. Ia adalah putra dari Pangeran Sungerasa Jayawikarta dari Kesultanan
Banten yang merupakan Pangeran Jayakarta II. Pangeran Jayakarta II ini juga
dikenal sebagai Pangeran Jayakarta Wijayakrama. Sedangkan pemangku gelar
Pangeran Jayakarta yang pertama yaitu Ratu Bagus (Tubagus) Angke alias Pangeran
Hasanuddin. Tubagus Angke merupakan menantu Fatahillah atau Falatehan yang
konon menantu Syarif Hidayatullah alias Sunan Gunung Jati, peletak dasar
Kesultanan Cirebon dan Banten.
Tercatat dalam
sejarah di bawah kepemimpinan Pangeran Jayakarta kota bandar itu maju pesat.
Terutama di bidang perdagangan hasil bumi. Hal itu membuat Belanda, melalui
perusahaan dagang Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC), ingin membuka usaha
perdagangan di sana. VOC sebelumnya sudah malang-melintang dan menguasai
perdagangan rempah-rempah di Maluku.
Pada November
1610, Belanda berhasil memperoleh ijin dari Pangeran Jayakarta Wijayakrama
untuk membangun loji (gudang) di atas tanah seluas 94 meter persegi di sisi
timur muara Kali Ciliwung. Sebagai imbalan, kepada Pangeran Jayakarta Belanda
membayar sebesar 2.700 florin atau 1.200 real. Namun, di pelabuhan yang ketika
itu juga disebut Jakatra, Belanda mempraktikkan sistem dagang monopoli yang
licik, yang merugikan Pangeran Jayakarta. Perselisihan pun pecah dan merebak
antara tahun 1610-1619.
Dalam konflik
itu, Pangeran Jayakarta Wijayakrama dibantu pasukan kiriman Sultan Banten yang
juga merasa dicurangi serta pasukan Inggris. Inggris ikut berperang di pihak
Jayakarta karena berharap dapat mengusir Belanda yang merupakan pesaing
bisnisnya dalam penguasaan perdagangan rempah-rempah di Nusantara. Di
Jayakarta, Inggris mendirikan kantor dagangnya yang terletak di sisi barat
muara Ciliwung.
Tak tahan
dikeroyok, Gubernur Jenderal Belanda Jan Pieterszoon Coen kabur ke Ambon,
meminta tambahan pasukan. Saat Coen masih di Maluku dan pasukan kompeni (VOC)
sudah terpojok, muncul konflik baru antara Banten dan dan Jayakarta. Pangeran
Ranamanggala yang saat itu menjabat sebagai wakil sultan Banten merasa tidak
suka dengan kerjasama yang dijalin Pangeran Jayakarta dengan VOC. Pangeran
Jayakarta Wijayakrama pun ditarik ke Banten sampai wafatnya. Pangeran Jayakarta
II ini dimakamkan di Tanah Hara (Tanara) Banten Sementara Inggris yang tadinya
mendukung Banten dan Jayakarta, berbalik gagang melawan Banten dan Jakarta,
yang berakhir dengan terusirnya Inggris dari Jayakarta.
Pada saat yang sama,
JP. Coen tiba-tiba muncul lagi dengan membawa pasukan yang masih segar dari
Ambon. Mengusung semboyan “despereet niet” (jangan putus asa) Coen
langsung memorak-porandakan pasukan koalisi Banten-Jayakarta yang sudah loyo
gara-gara pertempuran dengan Inggris. Bala tentara Banten melarikan diri ke
arah barat dan selatan, sementara pasukan Jayakarta yang saat itu dipimpin
Pangeran Akhmad Jaketra atau Pangeran Jayakarta III, mundur ke arah tenggara.
Setelah menguasai Jakerta pada 12 Maret 1619, Coen mengganti nama kota
pelabuhan itu menjadi Batavia.
Walaupun terusir
dari Jakerta, Pangeran Jayakarta III belum menyerah. Ajakan Belanda untuk
berdamai selalu ia tolak. Pangeran Jayakarta III bahkan terus melancarkan
perlawanan. Dalam sebuah pertempuran yang terjadi di daerah Mangga Dua, ia
kehilangan Syekh Badar Alwi Alaydrus, panglima perangnya yang tertangkap dan
dikuliti anak buah JP Coen.
Pada bulan Mei
1619, dalam sebuah pertempuran pasukan Pangeran Jayakarta dikabarkan terdesak.
Mereka dikepung pasukan Belanda dari arah Senen, Pelabuhan Sunda Kelapa, dan
Tanjung Priok.
Menurut Raden
Suprijadi Rosjid, salah seorang keturunan Pangeran Jayakarta kakek moyangnya
itu berhasil mengelabui tentara kompeni dengan melepas jubah dan sorbannya,
yang lantas dibuang ke dalam sebuah sumur tua di Mangga Dua. Belanda yang
menyangka Pangeran Jayakarta bersembunyi ke dalam sumur lantas menembaki jubah
dan sorbannya itu. Mengira Pangeran Jayakarta telah tewas ke dalam sumur tua
itu, Pasukan Belanda menghentikan pengejaran dan menimbun sumur itu dengan
tanah. Sumur tersebut kini berada di Jalan Pangeran Jayakarta dan dikenal
sebagai keramat Pangeran Jayakarta.
Masjid
As-Salafiyah, Pusat Aktivitas Masyarakat
Melihat situasi
yang tidak memungkinkan untuk kembali, Pangeran Jayakarta dan sisa pengikutnya
meneruskan perjalanan terus ke selatan. Setelah beberapa lama berjalan, sampailah
mereka ke sebuah hutan jati yang lebat. Untuk sementara mereka beristirahat di
tepi sebuah sungai yang membelah hutan itu. Sungai itu adalah Kali Sunter yang bermuara ke
Teluk Jakarta.
Seterusnya
Pangeran Jayakarta dan pengikutnya menetap dan membangun perkampungan baru di
tempat itu. Perkampungan itu kemudian dinamakan Jatinegara Kaum. Jatinegara
artinya negara yang sejati. Sedangkan kata kaum, menunjukkan bahwa mereka
adalah golongan bangsawan. Setelah beberapa waktu lamanya, perkampungan kecil
itu berkembang dengan hadirnya para pendatang lainnya.
Pada tahun 1620,
Pangeran Jayakarta membangun sebuh masjid yang berbentuk masjid kecil
dengan empat tiang pokok dan satu cungkup (atap masjid). Lalu pada tahun 1700
Pangeran Sageri melakukan pemugaran. Pemugaran juga dilakukan oleh Tubagus Aya
Kasim pada tahun 1884.
Dirahasiakan
Akan tetapi,
selama tiga abad sejarah Masjid As-Salafiyah dirahasiakan rapat-rapat. Begitu
juga dengan keberadaan makam Pangeran Jayakarta di masjid ini. Hal tersebut
dilakukan untuk menjaga amanah dari Sang Pangeran.
“Pangeran
Jayakarta berwasiat kepada keturunannya agar tidak memberitahukan keberadaannya
baik saat ia hidup maupun meninggal kecuali jika Belanda sudah tidak berada di
negeri ini,” kata Raden Rosjid yang mendapat amanah untuk meneruskan ‘estafet’
pemeliharaan makam dan masjid.
Wasiat tersebut
dijaga ketat oleh pada keluarga maupun keturunan yang merupakan amanah dari
Pangeran Jayakarta semasa hidup. Bahkan untuk menjaga wasiat Pangeran
Jayakarta, keturunan Pangeran Jayakarta tidak menikah dengan orang lain di luar
keluarga Pangeran Jayakarta. Mereka pun memberikan tanggung jawab memelihara
mereka menjaga masjid dan makamnya secara turun temurun.
Akibatnya, hanya
mereka yang tahu bahwa Pangeran Jayakarta dimakamkan di tempat ini. Orang di luar
keturunannya mengira makam Pangeran Jayakarta ada di Mangga Dua, tempat dimana
Belanda menyangka ia tewas dahulu.
Setelah
Indonesia merdeka tepatnya pada tahun 1960-an, barulah keturunan Pangeran
Jayakarta memberitahu kepada masyarakat bahwa keberadaan makam Pangeran
Jayakarta yang sebenarnya ada di Masjid As-Salafiyah. Kini, masjid Assalafiyah
ditetapkan menjadi cagar budaya dan suaka peninggalan sejarah. Pengelolaannya
berada di bawah Dinas Kebudayaan dan Permuseuman DKI Jakarta.
Rosjid yang
tadinya adalah pengusaha mebel rela menomorduakan usahanya demi menjalankan
amanah sebagai juru pelihara masjid dan makam. Pria dengan delapan anak dan
tiga cucu ini lebih banyak mengandalkan pendapatan dari honor sebagai juru
pelihara masjid dan makam. Lagipula, di usianya yang menginjak 58 tahun ia
merasa sudah saatnya ia pensiun dari usaha mebelnya.
Rosjid
mengatakan, perhatian Pemerintah kepada keberadaan bangunan bersejarah ini
sudah baik. “Setiap Gubernur pasti memasukkan anggaran untuk pemugaran Masjid
Assalafiyah di setiap periodenya”, ujarnya.
Keluarga
Jatinegara Kaum sendiri juga secara swadaya melakukan pemugaran pada tahun
1933. Setelah merdeka, pemerintah mulai mengambil alih urusan pemugaran ini.
Pada tahun 1968 Gubernur Ali Sadikin melakukan pemugaran yang cukup besar.
Masjid Assalafiyah diperluas ke belakang, lalu dibangun dua lantai, dan
dibangun menara baru.
Pada masa kepemimpinan
Gubernur Surjadi Sudirdja, Pemprov DKI Jakarta sempat memugar masjid ini
sebanyak dua kali, yaitu pada periode 1992-1993 dan periode 1994-1995. Masjid
ini terakhir kali dipugar oleh Gubernur Sutiyoso pada periode 2003-2004.
Walaupun sudah
banyak dipugar, bangunan Masjid Assalafiyah masih sangat mempertahankan
keasliannya, yaitu bangunan asli yang terdiri dari empat pokok, masih
dipertahankan dari mulai pokok dari kayu jati hingga atapnya. Bahkan gentingnya
pun masih asli.
Sayangnya,
tangan jahil dan sifat jahat masih saja tak bisa menghargai nilai sejarah. Tercatat
beberapa peninggalan sejarah masjid ini hilang tak ketahuan rimbanya. Yang
tersisa hanya empat tiang penyangga dan sebuah kaligrafi Arab berbentuk sarang
tawon di dalam plafon menara masjid. Padahal, peninggalan sejarah itu merupakan
harta budaya milik umat yang harus dijaga secara bersama pula.**
Tidak ada komentar:
Posting Komentar