Senin, 31 Oktober 2016

BABAD INDRAMAYU



Prakata
 

Bila membaca tulisan ini, akan anda jumpai  beberapa kejadian yang menurut logika“tidak masuk akal” atau “mustahil, tetapi jangan berprasangka bahwa peristiwa tersebut tidak pernah terjadi. Seseorang yang telah mencapai derajat mumpuni (insan kamil),lebih banyak menggunakan akal batin (intuisi) dari pada akal lahir (ratio), karena kedekatan dengan Tuhan Yang Maha Esa. Maka orang tersebut dalam perbuatannya mampu menggunakan unsure kebatinan (magis/mistik) dan kesaktian (supranatural), seperti yang banyak dilakukan oleh para Wali dalam penyebaran Agama Islam.
Tetapi kebatinan dan kesaktian bukan hanya milik para Wali.Pengantar Pada abad ke-4 M, di tepi sungai Cimanuk telah berdiri sebuah kerajaan lokal yang bernama Kerajaan Manukrawa. Permaisuri dari Raja Indraprahasta ke-3 Prabu Wiryabanyu (421M – 444 M) yang bernama Nyi Mas Ratu Nilam Sari, berasal dari Kerajaan Manukrawa. Tetapi dalam sepuluh abad berikutnya tidak ada berita perihal kerajaan ini. Diduga telah terjadi musibah besar, kerajaan diterpa banjir bandang sungai Cimanuk, yang kadang-kadang terjadi dan masih terjadi sampai abad ke-19 M. (yang terakhir adalah 1850 M). Pada abad ke-14 M, baru terdengar adanya tempat pemukiman kecil penduduk, jauh di sebelah timur sungai Cimanuk, yaitu di desa Bungko, yang pada 1471 M dikunjungi Sunan Gunung Jati Syarif Hidayatullah dalam da’wah Agama Islam. Kecuali tempat tersebut, kawasan muara sungai Cimanuk sampai abad ke-15 kembali menjadi hutan belantara.


Padepokan Gunung Sumbing
Pada 1500 M, Aria Wiralodra berusia sekitar 17 tahun. Dia adalah Putra Adipati Bagelen Dalem Singalodra. Keluarga Sang Adipati yang beragama Islam, memihak Demak sejak memisahkan diri dari Majapahit.Sebagai putra Adipati, pada usia tersebut dia wajib melaksanakan pendidikan kesatria seperti ilmu keta-tanegaraan dan keprajuritan,termasuk ilmu kanuragan, bela diri dan bela negara. Sedangkan ilmu Agama Islam dilaksanakan lebih awal yaitu pada usia tujuh tahun. Kesemuanya itu telah dilaksanakan.
Kemudian untuk meningkatkan “kemampuandiri”, baik lahiriah maupun batiniyah, Aria Wiralodra memilih Padepokan Gunung Sumbing untuk berkhalwat.Di padepokan ini dimakamkan leluhurnya,pendiri Bagelen Nagari, Ki Betara. Oleh karena itu dinamakan pula Padepokan Ki Betara.“Serat Babad Dermayu”Macapat Pupuh Sinom :

Anang Sainggiling malaya Tempat ingkang sanget werit Gumuling ana ing kisma Anenuwun ing Yang Widi Sore’ at tarekat mangkin Hakekat ma’ ripat waa Tan sanes ingkang tumingal Amandeng ing wujud Tunggal Jaba-jero supaya dadi satunggal Tinggal sareh miwah dahar tigang taun lami neki Kantun gagra lan usika Sampun ical wujud neki Medal caya ingkang bening Tanda tinarimang Agung Kang den suwun ing Yang Sukma Mugia antuk ridho Gusti Saturune Mugia antuk Raharja 

Kini Sang Pertapa telah mendapatkan“kekuatan” yang tinggi, apa yang disebut sebagai mumpuni, yaitu memiliki kemampuan batin (magis) dan kesaktian (supranatural).Ketika Aria Wiralodra mohon diri kepada Sang Wiku Padepokan untuk kembali ke Bagelen,dia mendapat tiga buah senjata Pusaka Gunung Sumbing, berupa sebuah cakra yang bernama Cakra Udaksana Kiai Tambu, dan dua buah keris yang bernama Gagak Handaka dan Gagak Pernala.Pusaka-pusaka tersebut buatan Empu Warih(Anak Empu Bondan), dibuat masa Kerajaan Kediri abad ke-12 M (sekarang disimpan di Kabupaten lndramayu).Setelah tertegun mendapat tiga pusaka utama,(yang merupakan idaman para pertapa Gunung Sumbing) yang tidak diduganya, Aria Wiralodra sujud syukur kepada Yang Maha Esa dan menyampaikan terima kasih berulang-ulang kepada Sang Wiku Padepokan. Kemudian mohon diri dan Aria Wiralodra kembali ke Kadipaten Bagelen. Dipanggil Sultan Demak,Tiba di Dalem Agung Bagelen, Aria Wiralodra sungkem pada ayahanda Adipati. Sang ayah memandanginya dari kepala sampai ke kaki,kemudian katanya: “Wira, kulihat engkau sangat kurus, tetapi bercahaya, apa engkau telah mendapat petunjukNya?”Sambil mengangguk Sang Putra menjawab:
“Berkat restu Rama, Ananda sekarang telah siap untuk mengabdi kepada Agama dan Negara.”
“Wira,” menyambung Sang Ayah, “Dengarlah,sejak setahun yang lalu semua pemuda, putra-putra adipati, tumenggung dan demang yang telah selesai melakukan pendidikan kesatriaan dengan nilai baik, dipanggil Sultan Demak dan diberi tugas. Sementara mengenai engkau,telah kulaporkan sedang berada di padepokan
Ki Betara Gunung Sumbing. Beliau sangat mengerti dan berpesan kepadaku agar engkau menghadapnya segera setelah kembali. Tetapi sekarang pulihkan dulu badanmu.” Belum genap satu bulan Aria Wiralodra telah minta izin Ayahanda untuk menghadap Sultan Demak Raden Fatah.Tanpa mendapat kesulitan, Aria Wiralodra diterima Sultan di ruang khusus.

 Berkata Raden Fatah: “Wira, mendekatlah, aku ingin menanyakan beberapa hal yang engkau ketahui dan yang engkau pikirkan. Singkat saja. Pertama, apa pendapatmu tentang Kerajaan Majapahit.”Setelah menggeser maju duduknya,
Aria Wiralodra menjawab: “Gusti, karena kelemahan pemerintahan raja-raja setelah Prabu Hayam Wuruk, maka Majapahit, sebagai kerajaan Nusantara, akan segera runtuh.Bahkan saat ini lontar abad 15 M. Datanya dipakai untuk penulisan buku ini.Selat Malaka, pintu perniagaan mancanegara,sudah tidak dikuasainya dan Bangsa Portugis telah membuat benteng di Malaka.
”“Bagus,” sahut Sang Sultan gembira, kemudian sambungnya: “Aku telah menyuruh Yunus anakku untuk persiapan menyerang benteng tersebut. Kemudian yang kedua, bagaimana
dengan Pajajaran?”Setelah diam sejenak, 

Aria Wiralodra menjawab: “Sama saja Gusti. Cipamali,pelabuhan paling timur di Brebes telah ditinggalkan dan kini tinggal pelabuhan Cimanuk, yang masih dikuasainya.”
“Bagus, bagus!” Sang Sultan memotong. “Aku menyuruhmu kemari untuk maksud itu, untuk tugas Agama dan Kesultanan Demak. Aku memberi tugas engkau untuk jadi penguasa Pelabuhan Cimanuk, di bawah kekuasaan Pajajaran. Caranya terserah. Kemudian hari,pada saatnya Armada Laut Demak menyerang
Pajajaran, Pelabuhan Cimanuk akan menjadi sangat penting. Aku memberi tugas ini tidak disertai prajurit, melainkan engkau Dipanggil Sultan Demak sendiri. Apa engkau mengerti?

”“Gusti,” jawab Wiralodra: “dengan segala kemampuan hamba, tugas akan hamba laksanakan. Hamba mohon do’ a restu!”
“Wira!” berkata Sang Sultan, “Ingat! Tidak boleh ada yang tahu mengenai tugasmu,kecuali tentu saja aku akan memberi tahu Sultan Caruban, Syarif Hidayatullah.” 


perjalanan Yang Panjang Keberangkatan Aria Wiralodra dari Bagelen untuk mencari muara Sungai Cimanuk disertai seorang pengiring yang bernama Ki Tinggil, dan digambarkan dalam serat Babad Dermayu berbentuk Macapat Pupuh Kinanti, sebagai berikut:
Kaidinan sampun kondur Saking Ibu Rama neki Sami medal toga waspa Andres mijil den tangisi Kalayan kang pandakawan Kiai Tinggil wasta neki Medal ngidul pinggir gunung Malebet dateng wanadri Lali turn miwah dahar Apan dereng antuk warti Cimanuk kang den pilala Ning pundi panggenan kali..

     Lebih dari setahun Aria Wiralodra dan Ki Tinggil merambah hutan belukar, maka pada suatu hari sampailah di tepi sungai yang sangat lebar. Airya deras bergelombang, mengalir ke arah utara.Sambil duduk di batu memandang arus air,Wiralodra berbincang dengan Ki Tinggil.“Paman! Aku sangsi apakah ini sungai Cimanuk atau bukan, tetapi aku menduga tanah di sini bekas kebun atau masih menjadi milik orang.Lihat ada banyak pohon dukuh dan manggis.”“Raden benar, semoga kita bertemu dengan pemiliknya atau siapa saja yang bisa ditanya.”Belum habis Ki Tinggil bicara, tiba-tiba terdengar sayup-sayup suara orang bersenandung Pupuh Kinanti.:
Punika Kali Citarum Karawang bagian neki Sampun kalintang pan tebah Kedah wangsul malih kaki Amesisir lampah dika Ngeler ngetan lampah neki..
Aria Wiralodra tidak dapat menangkap kata-kata tembangnya, tetapi gembira karena akan bertemu seseorang. Maka cepat-cepat dia berdiri sambil menepuk Ki Tinggil, katanya:
“Paman! Suara itu datang dari arah sana,”
dengan diikuti oleh mata Ki Tinggil ditunjuknya sisi hutan yang agak ke pinggir sungai. Dugaan Aria Wiralodra tidak meleset, karena tepat dari balik semak-semak yang baru ditunjuknya itu, tiba-tiba muncul seorang tua yang langsung mendatanginya. Maka tanpa pikir panjang Aria Wiralodra bergegas menyambut.
Disalaminya orang tua itu sambil berkata :“Sampurasun wahai Kakek, tolonglah kami !”
Orang tua itu tersenyum dan dengan isyarat tangannya Aria Wiralodra dipersilakan duduk di bebatuan yang agak lebar. Setelah menyalami Ki Tinggil, diapun duduk di sisi Aria
Wiralodra.Dengan tidak sabar, kembali Aria Wiralodra berkata: “Kakek, kami pengembara dari Bagelen Nagari, telah lebih setahun menjelajahi hutan belantara mencari Sungai Cimanuk. Akhirnya kami sampai di sini bertemu dengan kakek, manusia pertama yang kami jumpai selama perjalanan. Dapatkah Kakek memberitahukan apakah sungai ini yang bernama Cimanuk?”
Perjalanan Yang Panjang Kembali sang kakek tersenyum, setelah berdehem baru menyahut. “Cucuku! Engkau bertanya padaku tentang sungai ini? Inilah sungai Citarum, termasuk wilayah Karawang.Sungai Cimanuk yang engkau cari, telah jauh terlampaui. Engkau berdua harus kembali ke timur dan ambilah jalan pesisir utara!”Selesai ucapan katanya yang terakhir Sang kakek menghilang Aria Wiralodra tertegun,
katanya: “Paman, aku menyesal belum sempat tanya nama dan asalnya.”Ki Tinggil menyahut gugup: ‘ Telah paman duga sejak kehadirannya, tetapi apapun yang terjadi kita beruntung mendapat warta. Oleh karena
itu Raden, sebaiknya kita segera berangkat!”Aria Wiralodra mengiyakan, maka berangkatlah mereka kembali ke timur arah utara, merambah hutan belukar, Dua bulan
telah berlalu, kemudian ketika kelelahan sampai pada puncaknya, secara kebetulan
mereka menjumpai sumber air. Maka berkata Aria Wiralodra: “Paman. kita berhenti dahulu,
aku lihat ada sumber air jernih.

”Ki Tinggil mengangguk lesu: “Benar, silahkan Raden mandi dahulu.” Sementara Aria Wiralodra mandi, Ki Tinggil telah tertidur di bawah pohon…. 
(di kemudian hari tempat ini bernama Pasir Ucing, dengan sumber airnya yang dikeramatkan orang). Seminggu lamanya mereka melepaskan lelah, kemudian melanjutkan perjalanan...

pada suatu hari sampailah mereka pada tempat yang terbuka. Di luar dugaan tanah tersebut memang dibuka orang. Di sana-sini terdapat pohon-pohon roboh bekas tebangan kapak. Maka bukan main girangnya Aria Wiralodra. 

Katanya kepada Ki Tinggil: “Paman kita akan ketemu orang. Lihat padi gogo,palawija, dan pohon tebu.Mari kita cari peladangnya!”
‘Tunggu!” sahut Ki Tinggli sambil melompat ke arah sebatang pohon dan memanjatnya.
“Ha! sambungnya kemudian, “lihatlah dia orangnya, lebih ke utara!” Sementara itu nampaknya kedatangan mereka telah diketahui si peladang, karena ketika Aria Wiralodra dan Ki Tinggil baru akan mencari jalan, peladang itu telah tiba di hadapannya,
sambil berseru: “Kisanak, selamat datang di daerahku!” 
“Terima Kasih!” sahut Aria Wiralodra cepat sambil mengulurkan tangannya bergantian dengan Ki Tinggil.Hendak ke manakah Kisanak sampai kesasar kemari? Mengapa cuma tinggal berdua? Ada malapetaka? Mana sisa rombongan yang lain?
”Sang Peladang bertanya tidak sabar. “Kanda!”sahut Aria Wiralodra, “kami hanya berdua,namaku Wiralodra dan ini Paman Ki Tinggil,kami berasal dari Bagelen.”
“Tunggu!” sela Sang Peladang. “Dari Bagelen?Apa ada hubungan dengan Tumenggung Wirakusuma dari Banyuurip?”
“Itulah kakak kakekku,” sahut Aria Wiralodra tidak ragu-ragu. Sang peladang tampak
terkejut lalu merangkul sambil berkata terharu: “Adikku! Engkau saudara misanku.Namaku Wirasetro. Marilah ke pondokku.berceritalah di sana.”Di pondoknya, Raden Wirasetro menjamu
tamunya luar biasa. Nasi huma yang wangi,panggang ayam hutan dan sayur bunga tebu,
dihidangkan. Raden Wirasetro membuka pembicaraan dengan menguraikan perjalanannya bersama rombongan sampai ke daerah ini, yang bernama Pegaden (yang dikemudian hari Raden Wirasetro menurunkan dalem-dalem Pegaden), kemudian iaberkata:
“Nah sekarang berceritalah adikku! Mengapa engkau sampai di sini?”
Kini giliran Aria Wiralodra menguraikan suka-duka perjalanannya. “Oleh karena itu,” kata Ki
Tinggil, “Paman mengusulkan agar kita tinggal yang lama di sini, mau mengembalikan daging
paman yang pergi, yang rupanya tidak krasan diisi dedaunan saja.”
“Bagus!” sahut Raden Wirasetro, kebetulan di rombonganku ada seorang tukang masak,
besok akan kuhidangkan nasi gurih, acar ikan tambak, dendeng rusa dan sayur asin.”
Sementara Raden Wirasetro bicara, Ki Tinggil mulutnya komat-kamit dan tangannya
mengusap-usap perut. Maka hampir bersamaan ketiganya terlawa lebar.Setelah sebulan lamanya, maka pada pagi hari,Aria Wiralodra dan Ki Tinggil minta diri sambil berjanji akan berkunjung kembali ke Pegaden pada suatu ketika, apabila maksudnya telah tercapai. Lalu mereka

pun berangkat.Dengan arah ke timur, kembali Aria Wiralodra dan Ki Tinggil memasuki hutan belantara dengan segala penghuninya. Akhirnya sampailah di tepi sungai yang lebar. 
Maka berkata Aria Wiralodra: “Paman kuduga inilah sungai Cimanuk!”
Ki Tinggil membenarkan, katanya: “Baik Raden,semoga kita dapat segera menjumpai orang.
Mari kita menyusuri tepi sungai ini ke utara,ke hilir.”
Namun alangkah kecewa mereka karena setelah berhari-hari perjalanan tidak seorangpun manusia yang dijumpai, bahkan setelah lebih dari satu bulan lamanya. Baru setelah Ki Tinggil mengeluh, sampailah mereka ke suatu tempat dimana ada tanda-tanda daerah itu dihuni manusia dan benar demikian. Tidak sampai seratus depa ke depan, tampaklah kebun yang subur. Aneka tanaman palawija tumbuh bersama: ubi emas,jagung, timun, lobak dan cabe ditanam berbaris berselang seling.Setelah yakin tidak ada di kebun, lalu diikutinya jalan setapak yang menuju ke tepi sungai, dugaan mereka tidak salah, dekat pada tepi sungai ada wisma kecil yang indah dikelilingi bunga srengkuni; di kanan -kiri pintu wismanya ada bunga tongkeng ; agak ke muka lagi berjajaran bunga mandakaki. 

Dan alangkah terkejutnya Aria Wiralodra dan Ki Tinggil karena baru setelah dekat sekali tampaklah pemiliknya yang sedang duduk sambil menganyam bubu penangkap ikan ….
Orangnya telah tua, tetapi tubuhnva tampak tegap kuat dengan otot-otot yang menonjol. Sudah pasti kedatangan mereka telah diketahui, maka tak ayal lagi segera Aria Wiralodra bersalam: “Sampurasun Kakek,bolehkah kami datang berkunjung?”
Setelah sekian lama tidak ada sambutan,kembali Aria Wiralodra bersalam: 

“Kulonuwun Kakek, aku mohon sukalah bermurah hati,ingin kutanyakan wilayah ini dan nama sungainya.”Di luar dugaan si kakek yang tetap duduk menjawab dengan bengis: “Hai dua ekor babi,mau apa kau ini, baru datang sudah berani memeriksa. Apakah tidak tahu inilah aku Si Kaki Tani Malihwarni, pemilik kebun ini. Apa kau berdua mau coba merampokku?”
Kemasygulan Aria Wiralodra dimaklumi Ki Tinggil, maka cepat- cepat katanya, 

“Raden! Pamanpun baru menjumpai orang tidak mengenal sopan santun macam ini, tetapi hendaknya kita maklum karena dia manusia hutan.”
       Sadar akan hal ini, Aria Wiralodra melangkah lebih dekat sambil berkata: “Wahai Kakek,tolonglah kami, jauh dari Bagelen Nagari.Tidak lain yang kami cari ialah Sungai Cimanuk. Bila benar ini Sungai Cimanuk,izinkanlah kami turut berkebun. Di mana saja kami diperbolehkan?”
Kembali Kaki Tani Malihwarni membentak:
‘Tidak sudi aku menolong, aku cukup punya rakyat, lekas mampuslah kau berdua , tak sudi
aku melihatmu!”
Aria Wiralodra tidak dapat menahan amarahnya, maka serunya:
“Hai tua bangka, orang macam apa engkau ini,tidak punya hati baik mengenai kebunmu ini sekarang aku rampas, cobalah engkau melawan!”
Dengan beraninya Kaki Tani Malihwarni berdiri bertolak pinggang, kemudian berteriak lebih nyaring sambil menunjuk, “Aku tidak takut anak kecil macam kau ini, semula kau tanya daerah ini, lalu tanya sungai akhimya kau akan merampas semuanya, benar-benar berandal!”
Segera Aria Wiralodra meloncat maju dan dengan gerakan yang cepat menyambar  pergelangan tangan Malihwarni yang masih menunjuk. 

        Tetapi ternyata Si Tua cukup gesit.Mendapat serangan kilat yang demikian itu,tangannya dilempar ke samping kanan, diikuti putaran badannya, sedang kaki kirinya dari samping menendang ke leher Aria Wiralodra.Sementara mengagumi kelincahan lawannya,Aria Wiralodra segera merendahkan diri dan dengan meng-gunakan ujung-ujung jari tangannya menyerang pinggang lawan. 
Insyaf tendangannya gagal dan pinggangnya terbuka,Malihwarni lompat ke samping. Kaki kanannya ditekuk rendah ke muka, tangan kiri melindungi pinggangnya sedang tangan kanannya langsung memukul muka lawan,tetapi dengan mudah pukulan ini dapat ditangkis Aria Wiralodra dengan kibasan ke luar tangan kiri. Tidak sabar Malihwarni melanjutkan serangannya. Kaki kirinya menendang ke perut lawan dengan sepenuh tenaga. Aria Wiralodra tidak menghindar, kedua tangannya menyilang,mengacip pergelangan kaki Sang Malihwarni,
menangkapnya dan menyentakkannya ke atas,membuat seluruh tubuh Malihwarni melayang di udara, Aria Wiralodra menunggu jatuhnya Malihwarni ke tanah yang tidak kunjung tiba...


         Wiralodra dari heran menjadi terkejut,karena Sang Malihwarni menghilang . Wismanya juga menghilang . Kebunnya juga menghilang,daerah itu menjadi hutan.Aria Wiralodra cepat menguasai diri dan segera menyadarkan Ki Tinggil yang terpana. Seperti dugaannya, kemudian sayup-sayup terdengar kembali orang bersenandung Pupuh Kinanti :
yang lirih membelai ….
Eh Wiralodra putuku Mbok ora weruh ing mami Buyut Sidwn jeneng ingwang Pan dudu Cimanuk kali Lan pinasti kersaning Yang Besuk dadi desa kal-ci Pamanukan ingkang dusun Cipunegara kang kali Enggal sira anyabranga Mengko lamun sira manggih Kidang – mas inten kang soca Enggal burunen pan kaki Ing
pundi icale ivau Yaitu Cimanuii kali Benjang lamun kaki babad Poma kaki wekas mami Tetapaha qja nendra Pasti turun Ira mukti 

         Ingat akan pengalamannya di tepi Sungai Citarum, Aria Wiralodra memusatkan pendengarannya kata demi kata hingga dapat memaklumi maksudnya. Maka katanya pada Ki Tinggil: “Paman, dua kali kita telah ditolong Buyut Sidum. Pertama di tepi sungai Citarum dan kini di tepi sungai Cipunegara. Semoga kita segera dapat menjumpai kidang yang dimaksud.”
“Raden!” sahut Ki Tinggil sambil bangkit,“Marilah kita berangkat!”
Dalam perjalanan, Aria Wiralodra menebak-nebak siapa Buyut Sidum itu. Tetapi tidak dapat mengingatnya. Maka katanya dalam hati:
“Orang baik itu tidak ingin dikenali, maka biarlah demikian.”
Buyut Sidum atau Ki Sidum, nama aslinya adalah Ki Purwakali dan sebutannya Kidang Pananjung. Dia adalah salah seorang pengasuh Prabu Siliwangi. Dan seperti pengasuh yang lain adalah orang bijak yang mumpuni (sakti).

Setelah mengundurkan diri dari Istana Pakuan(Pajajaran), dia kemudian mengembara ke bekas Kerajaan Tarumanagara (sungai Citarum).Di saat mudanya Ki Sidum punya saudara seper-guruan yang bemama Gagak Wirahandaka yang kemudian menjadi Tumenggung di Majapahit. Gagak Wirahandaka adalah kakek Aria Wiralodra.Setelah mengamati dan tahu bahwa Aria
Wiralodra cucu saudara seperguruannya, Ki Sidum menganggap sebagai cucunya juga,sesuai kaidah perguruan. Maka dengan caranya sendiri dia ingin memberi petunjuk kepada sang cucu menuju sungai Cimanuk.Lontar Babad Darma Ayu ( Abad XV M ) memberi penjelasan sebagai berikut: 

Pamoali sakehing iku Buyut Sidum tiang karihin Kidang Pananjung kan asma Pajajaran
asli neki Tumenggung Sri Baduga Kang katah jasa hireki 


Pada hari ketiga, Aria Wiralodra dan Ki Tinggil sampai di daerah yang terbuka, pohon-pohonan jarang dan rendah bergerumbul di sana sini. Mereka dapat memandang jauh-jauh sambil mengharap munculnya kidang yang berbulu emas dan bermata intan …. 
Tetapi berlawanan dengan harapannya , tiba-tiba saja muncul harimau belang yang sangat besar yang disebut macan Lodaya, dan tampak sangat garang. Ki Tinggil terkejut sambil berteriak: “Raden! Ke mana kita menghindar?”
“Paman!” tukas Aria Wiralodra. “Akan aku tanya dahulu.”Ditatapnya sang raja hutan itu sebentar,kemudian katanya: “Hai Kiyai! Apa maksudmu menghalangi perjalanan kami ?”
Harimau itu menggeram, kedua kakinya menggaruk-garuk tanah dengan kukunya dan
tiba-tiba saja , dengan sebat lompat menerkam Aria Wiralodra. Aria Wiralodra telah siaga ,
sambil menggeser ke kiri, kaki kanannya menendang lambung si Loreng. Maka tak ayal lagi harimau itu mental dan jatuh di balik belukar.
Ki Tinggil yang sementara itu sudah bersenjata sebatang kayu, mengejarnya. Di luar dugaan Ki Tinggil menghadapi bahaya lain. Dalam jarak dua depa di balik belukar tadi baru terlihat
olehnya seekor ular besar dan langsung meluncur ke arahnya. Tetapi Ki Tinggil cukup gesit, batang kayunya diputar dan jatuh dengan derasnya di kepala ular yang segera terpelanting ke dalam sungai yang lebar. 

Ki Tinggil melompat mundur dan menancapkan kakinya ke samping Aria Wiralodra, katanya gugup: “Raden! Darimana datangnya sungai yang besar itu ?”
Aria Wiralodra tidak menjawab, berfikir sejenak, kemudian diambilnya Sang Cakra Udaksana dan dibuka sarungnya. Kemudian dengan ayunan keras Sang Cakra cepat meluncur menerjang permukaan air. Hasilnya telah dapat diduga, sungai itu lenyap dan kembali menjadi belukar. Aria Wiralodra bergegas memungut senjatanya.Belum sempat Aria Wiralodra berpikir , tiba-tiba muncul seorang wanita muda yang cantik luar biasa. Dan dengan tidak ragu-ragu berlenggang mendekati Aria Wiralodra, sambil bersenandung Pupuh Sinom:
Pan kola maksih hakenya
Dereng anglapahi laki
Larawana wasta kula
Mangga jandika turuti
Sakarsa sampean niki
Kula sanggup bade tulung
Kasugian kadigjayan
Arsa kula dipun kawin
Mangga raden tampinen nyeti kaula
 

Setelah dekat dan berhadapan, si mojang berkata lembut: “Aduhai Sang Perkasa,kujumpai tuan di sini, di rimba, mau mencari apa? Namaku telah kukatakan tadi , Larawana,masih gadis, belum pernah bersuami .Terimalah lamaranku, jadilah suamiku, nanti akan kupenuhi semua yang tuan inginkan.”
Ki Tinggil cepat bertindak disentuhnya Aria Wiralodra sambil berkata, “Raden, ingatlah di mana kita kini sedang berada.”
“Aku sadar Paman,” sahut Aria Wiralodra dan sambil menghadap Larawana dia menyahut:
“Nyai! Engkau gadis ayu, sangat cantik ,membuat jantungku berdebar sampai ke hati. Hanya saja tidaklah pantas, bagi wanita secantik engkau dan masih gadis pula, tinggal di dalam hutan seorang diri. Mengenai lamaranmu, aku menyesal menolaknya, karena masih panjang perjalananku. Perkara kawin bagiku, kelak kalau sudah mulia.”
“Ah!” jawab Larawana kecewa. “Apa yang tuan katakan, kalau sudah mulia, pada saat itu sudah tidak rupawan lagi, sudah tidak perkasa lagi, sudah jadi kakek-kakek.” Kemudian suara Larawana meninggi,Sambungnya: “Kalau sudah demikian aku tidak mau, aku mau sekarang saja.”
“Menyesal, cab. ayu,” sahut Aria Wiralodra.“Jawab-anku sudah kuucapkan.”
Larawana marah, mukanya bersemu dadu,katanya geram: “Baru kujumpai, laki-laki sesombong engkau, akan kutangkap engkau berdua, hai Wiralodra!” Kata-kata Larawana diikuti tindakannya. Tangan kanannya meraih ke tenggorokan, tangan kirinya meluncur ke ulu ati, sedangkan kakinya menyiku, membuat kuda-kuda.

            ia Wiralodra telah siaga, serangan ini ditangkis dengan kibasan tangan kiri ke luar,sedang tangan kanannya menangkap pergelangan tangan kiri Nyi Larawana. Tidak terduga tangan Larawana licin seperti belut.Maka dengan sentakan kuat Larawana melepaskan diri dengan melompat mundur.Begitu kakinya menjejak tanah lalu maju lagi dengan cepat dan tangan kanannya berkelebat ke arah kepala lawan.
Aria Wiralodra menghindar dengan menundukan kepala sambil mementang kedua tangannya. 

Kesempatan ini tidak disia-siakan Larawana. Kelima jarinya yang berkuku tajam meluncur ke arah perut. Aria Wiralodra cepat miring sambil maju merapat, dan bagaikan kilat Aria Wiralodra menangkap pinggang Larawana dari samping . Bukan main terkejutnya Larawana, segera kedua kakinya diangkat dan berbareng menendang dada lawannya sekuat tenaga.Akibatnya adalah pertunjukan yang indah.Sementara Aria Wiralodra teguh pada kuda-kudanya, Larawana melesat belasan depa ke belakang, setelah berputar sekali di udara,Larawana menginjakkan kakinya dengan ringan di tanah bagaikan bidadari turun dari kayangan. Di tangan kirinya tergenggam sebuah busur dan di tangan kanannya anak panah yang berantai emas, lalu berseru
lantang:
“Hai Wiralodra, lihatlah senjata ranteku ini,akan kuikat engkau kini!”
Sementara ia bicara, busurnya telah dipentang kemudian melesatlah sang anak panah.Laksana besi beradu dengan baja, letupan bunga api memercik, anak panah itu patah terpental dari dada Aria Wiralodra.
“Ah Raden. Aria bagus yang Gunasakti,” kata Larawana lembut. “Aku telah bertekad mati bila tidakjadi sejoli, maka walau aku tidak dapat menangkapmu, belum tentu engkau dapat mengalahkanku. Oleh karena itu cobalah membalas dengan senjata pula. Aria Wiralodra mengambil Cakra Udaksana.Sementara Ki Tinggil menghampirinya seraya berkata: “Raden, jangan ragu-ragu, yang telak,jangan sampai meleset, perjalanan kita masih belum ada ketentuan.”Setelah mengangguk , Aria Wiralodra mementang cakra, kemudian melesat menerjang Larawana , kena ketebas lalu lenyap….
           Beberapa saat lamanya keadaan jadi sunyi. Aria Wiralodra belum mengetahui bahwa Larawana hilang. Pada saat-saat terakhir tadi dia memejamkan matanya, karena betapapun dia maklum akan diri Larawana, tetapi wujudnya adalah wanita, dia tidak sampai hati untuk menyaksikan kehancurannya.
Maka betapa dia terkejut ketika membuka matanya, bukan karena hilangnya Larawana yang telah dia pastikan, tetapi munculnya di tempat tersebut seekor kijang berbulu kuning keemasan dengan sinar matanya berkilauan bagaikan intan.“Paman, itulah Kidang Kencana!” serunya gembira pada Ki Tinggil. Lalu cepat-cepat dia mengambil cakranya. Kemudian ditolehnya Ki Tinggil yang tampak sedang menepuk-nepuk perutnya kegirangan, sambil berteriak: “Tak salah lagi, memang itulah dia!”
Merekapun bergegas membuntuti sang kidang yang lari ke arah timur.Perburuan ini memakan waktu berminggu-minggu. Walau demikian kelelahan tidak terasa karena sang kidang mengerti benar bila pemburunya memerlukan istirahat . Pada saat-saat itu sang kidang merebahkan diri menunggu pada jarak yang cukup dekat ….
Pada suatu hari yang cerah, tiba-tiba Kidang Kencana menghilang dan tidak sampai setengah hari perjalanan tampaklah sebuah sungai yang besar. Airnya deras mengalir dari selatan ke utara. Tidak diragukan lagi itulah Sungai Cimanuk. Setelah puas memandangi sungai. Aria Wiralodra dan Ki Tinggil merebahkan diri di bawah pohon Kiara. Angin lembut membuat rasa mengantuk dan dalam keadaan setengah sadar kembali terdengar senandung yang tidak asing lagi, suara Ki Buyut Sidum, hanya berganti Pupuh Sinom:
Eh, putulcu Wiralodra
Iki bogus apan kali
Cimanuk kang den pilala
Wis bagjamu kaki benjing
Ing turun-turun sireki
Karsane Yang Maha Agung
Mapan oleh kamuktian
Wis katrima ing Yang Widi
Age nglilir Ki Tinggil lan Wiralodra
 

Secara serentak Aria Wiralodra dan Ki Tinggil tersadar, lalu bersama-sama sujud syukur memanjatkan puji pada Tuhan Yang Maha Esa.
“Paman!” berkata Aria Wiralodra kemudian kepada Ki Tinggil, “di sinilah rupanya tanah yang dijanjikan itu . Alangkah bahagiaku.”
“Raden!” sahut Ki Tinggil. “Pertolongan Ki Sidum luar biasa, paman pernah mendengar dari eyangmu Gusti Sepuh Wirahandaka perihal saudara seperguruannya yang mengabdi ke Kerajaan Pajajaran, sedangkan beliau ke Majapahit. Paman menduga dialah orangnya.Maka itu Paman nanti akan menanyakannya.
Paman hafal ciri-ciri Ki Sidum. Sekarang Raden, marilah kita cari tempat untuk kita menetap.”
Setelah melihat kesana-kemari, akhirnya terpilih tanah yang datar dan luas di sebelah barat sungai (sekarang desa Sindang).


Kerajaan Siluman Pulo Mas
 

Di tanah datar dan luas itu Aria Wiralodra dan Ki Tinggil membuat pondok untuk tempat tinggal, kemudian mulailah pekerjaan besar membuka hutan. Suasana menjadi berubah dari kesunyian menjadi hingar bingar dengan runtuhnya pohon-pohon dan suara-suara binatang penghuni hutan yang ketakutan.
Keadaan menjadi lebih hiruk-pikuk dengan suara teriakan-teriakan marah bangsa makhluk
halus yang ketenteramannya merasa diusik.
Mereka langsung menyerang Serat Babad Dermayu melukiskannya dalam bentuk Macapat Pupuh Sinom:
Sampun andamel kang wisma Ki Tinggil damelan neki
Anulya amesuh raga Raden Wiralodra mangkin
Anggene babad wanadri Sima banteng warak wau
Mapan bibar katawuran Paribasa panas atis
Setan iblis prayangan bibar sedaya Senapatt Budipaksa
Miwah Patih Bubarawis Angumpul sabalanira
Miwah para kang prqjurit Kaliyan saking Tuk Giri
Gede muara Cimanuk Kalangkung sanget dukanya
Saking bala bubar mangkin Kenging Raden Wiralodra babad wana
Siluman lan jurubiksa Sakehe para dedemit
Saking gedeng Girimuka Sadaya pan sami dugi
Sangking Wangkang Bqjulrawis Cemara pan Giribqjid
Tempalang Bedawangkara Pan rame Pqjuning Jurit
Sami tempuh ing yuda lan Wiralodra
 

Keributan antara Aria Wiralodra dengan makhluk halus itu diketahui oleh penguasa Lautan Selatan Nyi Mas Dewi Ratu Kidul, yang segera mengutus Kalacungkring, hulubalang dari Tunjung Bang, untuk menyelesaikan perselisihan.Sang Hulubalang segera menemui Raja Pulo Mas Werdinata.Di bawah ini, lagi satu bait lainnya dari Serat Babad Dermayu (Macapat Pupuh Sinom):
Dugi anang Werdinata
Aja pada den ganggoni
Iku Raden Wiralodra
Krana turun Majapahit
Becik den raksaha iki
Pada akunen sedulur
Krana masih pernah canggah
Ratu Kidul Gusti mami
Nulya enggal Werdinata caos ngarsa
 

Bergegas Raja Werdinata menghadap Aria Wiralodra.Sementara itu . melihat rajanya datang, seluruh bala siluman duduk di tanah.Sambil berlutut. berkata Raja Werdinata:
“Raden! Maafkan kelancangan wadyabalaku.Aku.…Werdinata. Raja Pulo Mas Muara Sungai
Cimanuk menghaturkan salam bhakti.”
Masih dalam keheranan, Aria Wiralodra menjawab: “Werdinata! Bangunlah ! Akusungguh sangat gembira berjumpa denganmu dan aku maafkan para prajurit yang memerangiku”.
Sambil bangun Raja Werdinata berkata:“Terima kasih, kulihat Raden begitu tulus,maka aku mohon sukalah Raden bermurah hati untuk mengangkat saudara denganku seketurunan masing-masing.

”Aria Wiralodra terdiam, kemudian katanya lembut, “Werdinata, pahami kesulitanku,
karena menurut ketentuan agama yang aku anut yaitu Islam tidak bisa mengangkat saudara
dengan yang bukan Agama Islam.”Di luar dugaan, cepat Raja Werdinata menjawab: “Raden, Islamkan aku sekarang juga!” Aria Wiralodra terperanggah kemudian katanya gembira: “Subhanallah! Baiklah, Paman Tinggil jadi saksi. Kemarilah Werdinata!”
Sambil melangkah maju, Raja Werdinata berseru kepada Wadyabalanya: “Kepada rakyatku yang akan masuk Agama Islam,duduk di belakangku!” Maka seluruh Wadyabala Siluman bergeser dan duduk bersimpuh di belakang Sang Raja. Setelah upacara peng-Islaman dan pengangkatan
saudara selesai, Aria Wiralodra berkata nyaring:
“Raja Werdinata sejak saat ini menjadi Sultan Werdinata, daerah kekuasaannya dinamakan Kasultanan dan rakyatnya disebut Bangsa Jin.”Kemudian sambungnya lembut pada Sang Sultan: “Pengangkatan Sultan ini harus disyahkan oleh kekha-lifahan bangsa Jin di Turki, mintalah ke sana, kapan saja engkau ada waktu.”
Setelah minta ijin kepada Aria Wiralodra, Sang Sultan menyuruh rakyatnya bubar, sehingga tinggallah mereka bertiga.Kemudian kepada Sang Sultan, Aria Wiralodra menceritakan asal-usul dirinya. Setelah itu dia berkata:
“Saudaraku Sultan, sekarang ceritakan asal-usulmu!”
Maka Sultan Werdinata membuka kisahnya:
“Raden, aku adalah Qarin-pendamping dari seorang kesatria berbudi luhur-yang bernama Jaran Sari pada tiga abad yang lalu, yaitu pada masa awal kerajaan Majapahit. Jaran Sari ikut perlombaan ilmu Kanuragan Kerajaan untuk memperebutkan putri raja dan Pangkat Senopati Agung.
“Dia memenangkannya, tetapi karena kelicikan saudara kembarnya yang bernama Jaran Purnama, dia tewas. Aku bersumpah untuk tidak meninggalkan jasadnya sebelum menjadi rusak. Kemudian ‘aku’ dilarung di atas rakit ke sungai, lalu ke laut, yang akhirnya terdampar di dekat muara sungai Cimanuk.Aku melihat banyak sebangsaku di sana yang beramai-ramai menyeretku ke tepi pantai,mereka tidak melihatku, kemudian mereka melapor kepada Sang Penguasa Ki Buyut Keci di Dalem Agung Pulo Mas.
“Tidak berapa lama datanglah dia dan langsung melihatku seraya berkata, ‘Menyatulah dan
bangunlah anakku!’
“Setelah aku bangun dia berkata: ‘Namamu sekarang Werdinata. Engkau akan kukawinkan dengan anakku Si Andayasari, yang telah mimpi jadi jodohmu. Tak usah khawatir, engkau pasti
suka, anakku sangat cantik.’ Dan kata-kata Ki Buyut Keci benar; putrinya sangat cantik , lalu
aku kawin. Kemudian aku dijadikan Raja Pulo Mas*), menggantikan mertuaku Ki Buyut Keci.
Catatan KakiLetak Bangunan Istana Agung Pulo Mas di Kramat Krapyak-Pulo Mas, Sentigi Kulon.

Tepatnya dari jalan utama antara Sentigi Kulon-Cangkring. Pada blok Karang Balong, ada jalan
masuk ke arah tenggara di tepi Kali Kepiting ;ditandai dengan sebuah gumuk pepohonan
betah satu rumpun dengan pohon beringin.Keraton Kaputren Nawang Wulan terletak di Pulo Karas, 1 Km ke arah timur Pulo Mas sebelum Pulo Kuntul. Jalan menuju Pulo Karas bisa langsung dari Sentigi Wetan atau Sentigi Sawah. (Ki Jongkara tinggal juga di sini).
Keraton Kaputren Wiragora terleak di muara sungai Cimanuk (Ki Budi Paksa juga tinggal di
sini).“Dalem Agung Pulo Mas aku bangun menjadi bentuk istana yang besar, seperti Istana Majapahit. Peme-rintahanku meniru Kerajaan Majapahit, Wilayahku diperluas sehingga meliputi pantai dan hutan rawa, serta sungai-sungai yang mengalir ke pantai Laut Jawa bagian barat.
“Aku punya anak perempuan dan laki-laki yang kuberi nama Nawang Wulan dan Wiragora. “Itu saja Raden perihal diriku.”
 

Pengakuan Dari Galuh Nagari

Beberapa minggu setelah membuka hutan dan menanam palawija Pondok Aria Wiralodra kedatangan tamu tujuh orang, dari Dukuh Bungko secara bersama-sama. Berturut turut bernama: Pulaha, Wanasara, Bayantaka,Puspahita, Jayantaka, Surantaka, dan Puspataruna.
Mereka bercerita, bahwa kakek dan ayah mereka bermukim tidak jauh dari tempat ini, sebagai petani, peternak dan nelayan.Tanahnya subur dan ikannya melimpah, tetapi,mereka selalu ketakutan oleh gangguan jurubiksa dari muara Sungai Cimanuk.
Sekalipun sudah banyak sesaji tetapi tetap saja diganggu, bahkan pada siang hari sering memperlihatkan diri. oleh karena itu mereka pindah.
Seminggu yang lalu mereka mendengar dari si pemberani Pulaha, yang sedang berburu rusa, bahwa ada yang sedang membuka hutan di dekat bekas pemukiman kakeknya. Mereka ingin menanyakan, apakah para pembuka hutan tidak diganggu prayangan?
Aria Wiralodra menceritakan apa yang terjadi dan menjamin mereka tidak diganggu kalau mereka mau tinggal di sini. Maka hanya dalam waktu satu tahun penduduk telah mencapai
200 jiwa. Kemudian dibentuklah pemerintahan lokal dengan Ki Tinggil sebagai lurah, dibantu oleh para bakusuku, yaitu: Pulaha, Puspahita,Wanasara, Bayantaka, Surantaka, dan Puspataruna.
Selesai mengatur pimpinan dusun, Aria Wiralodra pergi ke Galuh Nagari, di kaki Gunung Cereme, menghadap “Gubernur”Pajajaran wilayah timur, Hyang Prabu Cakraningrat. Aria Wiralodra diterima di Istana oleh Sang Gubernur dengan sangat ramah. Setelah Aria Wiralodra menguraikan jati-dirinya, Sang Prabu berkata: “Wiralodra, aku senang engkau menghadapku. Aku tidak menduga hutan Cimanuk telah berpenduduk lagi. Lebih dari setahun pelabuhan Cimanuk ditinggal pergi begitu saja oleh syahbandar dari pusat kerajaan Pajajaran, sehingga kini menjadi tanggung jawabku, tetapi aku belum siap dengan orang-orangku,”
Berhenti sebentar, kemudian lanjutnya:
“Berapa rakyatmu di sana sekarang?”
“Seratus sembilan puluh lima orang, termasuk anak-anak, Yang Mulia.”
“Cukup,” kata Sang Prabu. Kemudian Sang Prabu memanggil Patih Bangong.
Katanya: “Paman Patih, persiapkan penobatan Adipati Praja Cimanuk besok di Balairung !”
Lalu katanya kepada Aria Wiralodra: “Sekarang istirahatlah!”
Setelah Aria Wiralodra menyampaikan terima kasih atas kepercayaannya, dia diantar dayang
dayang ke Wisma Dalem.Sementara itu , dipimpin oleh Mantri Dipasara,balairung dipersiapkan untuk upacara besar.Keesokan harinya, di balairung Istana Galuh Nagari, pelantikan dilaksanakan dan berlangsung sangat megah.
Aria Wiralodra mendapat gelar Aria Indrawijaya dari Hyang Prabu Cakraningrat. Kemudian Sang
Indrawijaya diiring Patih Bangong, Senapati Surabangsa dan Mantri Dipasara menuju tempat duduk para Sang Hyang untuk menerima restu dari Sang Hyang Pande Wawangi, Sang Hyang Sutem, Sang Hyang Pundi Wungsi, Sang Hyang Egal, Sang Hyang Gempol,Sang Hyang Dora dan Sang Hyang Bugel.
Upacara berlanjut dengan kesenian sampai siang hari (ini terjadi pada tahun 1432 Saka atau 1510M).
Setelah semua acara usai, Aria Wiralodra mohon diri. Bersama Aria Danujaya dari Istana Galuh Nagari, yang akan menjabat sebagai Patih, merekapun berangkat.
Lontar Babad Darma Ayu (abad ke XV M)
mengenai peristiwa ini menulis :
Bismillahir rokhmanir rokhim
Aum awignan astu
Akala noma Prabu Cakraningrat
Hong jian siwah bqja
Bayanalca tamar swana maswala
Mara sia jama sujana manta slano slaha
Ahang kona restikane sedia hayu
Swan Wiralodra peparab Indrawijaya
 

Setiba di Dukuh Cimanuk, Aria Wiralodra mengu-mumkan bahwa mulai saat ini Dukuh Cimanuk menjadi daerah Keadipatian Galuh Nagari dan dia ditunjuk sebagai Sang Adipati.
Lontar yang sama menulis lebih lanjut sebagai berikut:
Akyana ataking srana
Wiralodra mangun nagri
Dukuh Cimanulc namanya
Sakulon Cimanuk kali
Aparawira hireki
Mangadi sentana wau
Raja Galuh Cakraningrat
Prabu Angukus Prqja Sri
Apta aswara ing candra sangkala nira
Awit wijiling locana
Bermara angleng ing tawing
Kang lembu pedet nusunya
Jong layar semengkeng wukir
Kuda ngerap pandengan ing
Candraning sengkala taun
Amangun nagara Nira
Nulya Wiralodra kaki
Hqjejuluk Prabu Indrawijaya
Raja Galuh Gusti Nira
Danujaya apepatih
Pulaha Lan Wanasara
Bayantaka Surantaki
Puspataruna tumali
Puspahita Bahusuku
Ki Tinggil kang dadi lurah
Sedaya samiya prapti
Nulya den tilar Gusti nira caos jeng Rama


Tamu Agung dari Kerajaan Palembang
 

Setelah secara resmi Aria Wiralodra menjadi penguasa Praja Cimanuk, dia akan melapor kepada Sultan Demak. Maka pada suatu hari,Sang Penguasa memanggil KiTinggil, katanya:
“Paman, aku bermaksud akan pergi ke Bagelen, sudah terlalu lama meninggalkan Ibu dan Rama. Sementara tinggallah Paman di sini.Bila datang orang mau berladang atau berkebun, Paman terimalah. Aturlah di mana mereka ditempatkan dan bantulah bergotong royong membuat rumahnya. Jangan sampai ada yang ditolak.”
“Raden,” sahut KiTinggil, “Painan harap jangan terlalu lama. Karena apabila penduduk makin
bertambah-tambah juga, maka Paman Tinggil akan terlalu sibuk.”
“Paman,” Aria Wiralodra memberi petunjuk,
“apabila penduduk belum mencapai 500 orang Paman yang menjadi lurah dan angkatlah beberapa bakusuku sesuai kebutuhan.Sedangkan bila lebih banyak lagi, angkatlah lurah sesuai ketentuan, tetapi sesaat sebelumnya Paman kuangkat jadi demang secara langsung tanpa menunggu aku.”
“Akan Paman laksanakan,” sahut Ki Tinggil.
Kemudian Aria Wiralodra minta Ki Tinggil bijak dan hati-hati menjaga penduduk.
Setelah siap segala sesuatu yang akan dibawa,maka berangkatlah Aria Wiralodra menuju Demak untuk memberi laporan, kemudian baru ke Bagelen.
Sepeninggal Aria Wiralodra, pendatang-pendatang baru menjadi makin bertambah banyak. Rombongan demi rombongan datang dari berbagai dusun yang jauh di sebelah timur seperti Junti dan lain-lain.
Maka hanya dalam beberapa bulan saja Praja Cimanuk telah mencapai cacah jiwa 500 orang.
Hal ini bisa dimaklumi karena kesuburan tanahnya mulai dikenal, akibat lumpur dan humus yang dibawa oleh banjir bandang sungai Cimanuk masa lampau.
Perumahan mulai diatur menurut pola Kotapraja di Majapahit, jalan-jalan besar kecil lurus-lurus dengan gardu-gardu penjagaan di tiap mulut jalan masuk.
Penduduk bersuka-cita dengan peraturan-peraturan yang rapih dan hidup dalam serba kecukupan.
Maka pada suatu hari, datanglah ke rumah Ki Tinggil, seorang wanita langsing, berkulit kuning langsat, yang cantik luar biasa, dengan pengiringnya sepasang suami istri, menggotong padi dan gundem. Mereka diantar oleh penjaga gardu yang setelah menunjukan rumah Ki Tinggil segera kembali ke tempat tugasnya.
Ki Tinggil yang kebetulan ada di rumah, segera menyambut, katanya: “Nyai dan pengiringnya
silahkan masuk!”Setelah duduk, kembali Ki Tinggil berkata:
“Bagi tamu yang baru datang, bolehkah Paman mendapat tahu nama, asal serta maksud
kedatangan Nyai?”
“Paman,” sahut wanita itu , “namaku Endang Darma dan pengasuhku ini bernama Ki Tana dan Nini Tani. Kami pengembara dan bermaksud, kalau diperbolehkan ingin melihat tanah di sini untuk berkebun atau berladang.”
KiTinggil segera menjawab: “Nyai Endang serta engkau Tana dan Tani, dengan senang hati kami terima. Silahkan mau pilih tanah di mana saja, di sebelah barat sungai yang sudah berpenduduk atau sebelah timur. Sungguh sayang sekali Gustiku Raden Aria Wiralodra sedang ke Bagelen, tetapi begitulah perintahnya agar semua pendatang harus diterima.”
Ki Tinggil melihat kekecewaan di wajah tamu cantiknya. Tentu saja pikirnya, ini sebab “tiadanya Gustiku tadi”. Oleh karena itu Ki Tinggil makin curiga siapa tamunya kali ini,karena terlalu jelas kebangsawanannya. Ki Tinggil mengharap semoga akan menjadi garwa gustinya.
Dia agak terkejut karena lamunannya dipecah suara Nyi Endang Darma: ‘Terima kasih Paman,
kami akan segera mencari sendiri dan nanti kami akan melaporkannya.”
Pujian dan angan-angan Ki Tinggil dilukiskan dalam Babad Dermayu/macapat Pupuh Sinom:
Ayu mulus kang salira Mandanapa gusti mami
Kangge garwane bendara Nanging benjing
ndara mami Yen ngrawui anang riki Tamtu aku
nuli matur Manda bungae Bendara Ningali
wong ayu luwih
Mapan sampun Endang Darma damel wisma


Nyi Endang Darma memilih tanah di sebelah timur sungai agak jauh ke utara. Kemudian minta diijinkan untuk mendirikan rumahnya yang terpencil di sana.
Karena Ki Tinggil mempunyai gagasan “calon garwa gustinya” maka permintaan Nyi Endang
Darma dikabulkan.Pilihan tanahnya tepat, karena ternyata beberapa bulan kemudian ladangnya lebih unggul dari yang lain. Maka banyaklah orang-orang tani minta petunjuknya. Di luar dugaan
orang banyak, Nyi Endang Darma adalah pula seorang pendekar wanita, guru silat. Maka pada akhirnya lebih banyak orang yang datang kepadanya untuk berguru silat dari pada belajar bercocok tanam.
Hal ini membuat tambahan teka-teki bagi Ki Tinggil, siapa sebenarnya Nyi Endang Darma ini. Namun demikian Ki Tinggil, merasa senang karena silat adalah bagian dari ilmu bela negara, bila kelak diperlukan. Oleh karenanya Perguruan Silat Nyi Endang Darma mendapat dukungan Pemerintah Ki Lurah Tinggil.Maka pada suatu hari, dengan tidak diduga merapatlah di dermaga Sungai Cimanuk sebuah kapal Kerajaan Palembang yang cukup besar Kecurigaan kapal tersebut dikuasai perompak dapat dimengerti, karenaberita perompakan di laut sering terjadi. Makasetelah Ki Tinggil mendapat laporan, dengan cepat barisan penduduk bersenjatakan tombak
dan panah yang dipimpin oleh bahusukunya masing-masing, membuat setengah lingkaran terhadap dermaga, Ki Tinggil sendiri memimpin pasukan induk di tengah-tengah.
Tidak berapa lama, keluarlah tiga orang utusan dari kapal yang segera disambut oleh Ki Pulaha. Salah seorang utusan itu berkata dengan nyaring: “Gusti Sepuh mantan Sultan Palembang, Pangeran Guru Arya Dila ingin bertemu dengan pesirah dusun ini!”
Ki Tinggil terkejut mendengar disebutnya nama Pangeran Guru Arya Dila. Maka katanya:
“Pulaha mundurlah, aku akan menemuinya!”Sementara Ki Tinggil keluar dari barisannya,
Aria Dila pun keluar dari kapalnya. Lalu bertemu di tepian dermaga. Setelah saling memberi hormat dan bicara sebentar, Aria Dila dan Ki Tinggil masuk ke dalam kapal.
Sepemakan nasi kemudian Ki Tinggil telah keluar lagi dari kapal.
Dengan isyarat tangannya para bahusuku segera berkumpul, kemudian katanya singkat:
“Bubarkan seluruh lasykar dan semua bahusuku segera berkumpul di rumahku!”
Dengan tidak menunggu lagi Ki Tinggil bergegas pulang.
Dalam waktu yang singkat semua bahusuku telah berkumpul. Maka segera berkata Ki Tinggil: “Duduklah saudara-saudaraku! Karena apa yang akan kusampaikan ini kisahnya agak panjang.”
Dengan gelisah para bahusuku menanti apa yang akan diutarakan lurahnya.
Kemudian Ki Tinggil melanjutkan ceritanya:
“Jadi, benarlah yang tadi keluar dari kapal itu adalah mantan Sultan Palembang, yang aku mengenalnya sebagai Pangeran Guru Aria Dila.Dia adalah putra Raja Majapahit Prabu Wikrama Wardana dengan selir Putri Cina yang bernama Endang Sasmitapura.
“Pangeran Aria Dila diangkat oleh Sang Prabu jadi ‘Raja’ Palembang dan mendapat selir Putri
Cina yang sedang mengandung, yang ketika lahir di Palembang diberi nama oleh ibunya JinBun, tetapi oleh Pangeran Aria Dila diberi nama Raden Fatah.
“Beliau juga terkenal sebagai pendekar silat sejak remaja dan menjadi guru besar Perguruan Silat disamping sebagai Sultan Palembang.
“Membantu Raden Fatah setelah dewasa,Pangeran mendirikan Kerajaan Islam Demak dengan pengerahan tenaga-tenaga ahli dan prajurit-prajurit Palembang secara besar-besaran.
“Pangeran kemudian turun tahta, dipecat oleh Majapahit Sang Prabu Girindrawardana atas tuduhan merebut istri orang dan memihak musuh Majapahit, yaitu Demak. Sekarang Pangeran Aria Dila dalam perjalanan pulang ke Demak dan singgah ke tempat kita, Dusun Cimanuk, dengan tujuan menangkap Nyi Endang Darma. Tuduhannya, ‘melanggar hukum persilatan’ yaitu mengajarkan silat untuk para wali, raja -raja dan para pangeran kepada rakyat biasa apalagi penduduk dusun-hutan.’
“Aku tidak mengerti, entah darimana Pangeran Guru mengetahui bahwa di Dusun Cimanuk ini ada guru silat wanita mengajarkan jurus-jurus silatnya sama dengan silat perguruan sang guru.
“Sebelum kapalnya sandar, kemaren, seorang murid utamanya diturunkan dari kapal dengan
perahu dayung untuk mencuri lihat murid-murid Nyi Endang Darma berlatih silat.
Hasilnya meyakinkan, benar silatnya sama.“Menurut silsilah keluarga, Pangeran Guru Aria Dila,
adalah kakek samping Gusti kita Aria Wiralodra. Aku membujuk, bahwa Nyi Endang Darma seorang muslimah yang taat dan sangat kasih kepada sesama. Suka menolong dan membela yang benar, bila ada terjadi perselisihan di antara rakyatku. Pada akhirnya dia memberi kesempatan, lolos dari hukuman mati apabila memberi penjelasan siapa nama gurunya.
“Aku putus asa, karena aku yakin Nyi Endang,hanya mau membuka rahasia, kepada Gusti
kita.
“Akupun tidak bisa mengetahui jati diri dan tujuannya.”
Ki Tinggil kemudian merenung cukup lama lalu katanya: “Aku tahu. Nyi Endang bukan hanya
pesilat ulung, tetapi juga punya kesaktian kelas satu. Lihatlah kedua pengiringnya Ki Tana dan Nini Tani, berdua adalah sepasang pendekar yang sulit dicari tandingannya.
Secara tidak sengaja aku melihat mereka berlatih. Tetapi aku masih merasa Pangeran Guru bukan tandingan Nyi Endang.
“Maka kalau Nyi Endang kena ditangkap Pangeran Guru, aku sangat kecewa. Secara jujur aku ingin membantunya melawan Pangeran Guru.
“Selain itu melihat besarnya kapal mereka,lasykar yang dibawa sekitar seratus orang dan ini seimbang dengan kekuatan murid Nyi Endang Darma.”
Di pihak Palembang, mereka adalah prajurit ahli perang yang juga pesilat-pesilat. Di pihak Nyi Endang, mereka jua pesilat-pesilat yang tangguh yang secara langsung dibawah pimpinan Tri Tunggal.
Ki Tinggil diam sebentar, kemudian bertanya:
“Saudara-saudaraku, apa pendapat kalian ?”
Mendapat pertanyaan seperti itu semua bahusuku terdiam, kemudian sekali Pulaha berkata: “Ki Lurah, apakah tidak lebih baik kita menyusul Gusti Aria Wiralodra?”
Ki Tinggil mengangguk, katanya: “Pulaha benar, cuma saja laporan kepada Gustiku haruslah lengkap,harus sudah ada kepastian bagaimana akhir persoalan ini. Perjalanan ke Bagelen akan
memakan waktu, sehingga tidak menolong persoalannya. Maka terpaksa kita menunggu dan melihat saja.


jadi kepada Pangeran Guru aku telah menyatakan para petinggi dusun tidak akan mencampuri persoalan selagi tidak menjadi rusuh dan baru akan bertindak bila warga dusun kami terancam dan Pangeran Guru hanya memandangku dengan tersenyum Pada saat Ki Tinggil mengadakan pertemuan dengan para bahusuku di rum army a, maka di lain tempat Pangeran Guru dengan dikelilingi oleh 24 orang pendekar utama, yang bersenjatakan belati di pinggang kiri dan kanan serta diiringi 50 orang prajurit bersenjata tameng di tangan kiri, tombak di tangan kanan dan pedang di pinggang,bergerak maju ke wisma Nyi Endang Darma.
Melihat gerakan Pangeran Gum menuju ke arah wisma Nyi Endang Darma, maka tanpa ada yang memerintah, murid-murid Perguruan Nyi Endang, mendahului untuk menjaga wisma Sang Gum secara tersembunyi.
Tamu Agung telah tiba lebih dahulu daripada Ki Lurah Tinggil serta para bahusuku.
Kebetulan Nyi Endang Darma sedang berada di wismanya, maka bukan main terkejutnya didatangi para bangsawan beserta barisan prajurit. Terbata-bata dia menyambut, katanya:
“Beruntung hamba mendapat kunjungan tamu agung. Hamba persilahkan masuk!”
Pangeran Guru tertegun melihat kecantikan Nyi Endang Darma, maka katanya tidak sadar:
“Sayang … sungguh sayang … Nyi Endang Darma tidak mengerti.”
Maka sahut Nyi Endang Darma: “Maafkan Tuan, hamba merasa cemas atas kedatangan Tuan, maka bolehkah hamba mengetahui siapakah Tuan, dari negeri mana, dan apa maksud Tuan, yang nampaknya mau maju perang?”
Arya Dila tidak menjawab, dia melangkah masuk diikuti oleh empat orang murid utamanya.
Bersamaan dengan itu rombongan Ki Lurah Tinggil datang dan tanpa bicara dia ikut masuk sambil berseru: “Nyi Endang, aku juga datang!”
Dengan muka cerah Nyi Endang menjawab:
“Paman, aku sangat gembira atas kedatangan Paman.”
Kemudian Ki Tinggil duduk di sampingnya.Dengan menghadap kepada Nyi Endang .
Pangeran Guru mulai membuka pembicaraan:
“Nyai Ayu, namaku Arya Dila dan orang-orang menamakan Sultan Sepuh atau Pangeran Guru.
Asalku dari Palembang Nagari. Setengah tahun yang lalu aku mendengar namamu dari salah
seorang muridku nakhoda kapal layar yang singgah di sini untuk membeli perbekalan. Dia mencuri lihat muridmu sedang berlatih silat dan terkejut karena jurusnya sama seperti ajaranku. Kemudian dia melapor padaku. Kemaren, sebelum kapalku sandar, kusuruh muridku mencuri lihat muridmu berlatih,maka aku menjadi yakin kebenaran laporan itu. Selanjutnya engkau tahu pertanyaanku.”
Setelah berhenti sebentar katanya:
“Pertanyaanku:
“Pertama. Mengapa demikian lancang mengajarkan silat yang hanya boleh terhadap golongan terbatas, kepada rakyat biasa?
“Kedua. Siapa nama guru silatmu, apakah disuruhnya atau tanpa sepengetahuannya?
“Ketiga. Apa maksud dan tujuanmu yang sebenamya?
“Keempat. Pihak mana atau siapa yang akan engkau hadapi sebagai lawan?
“Kelima. Siapa dua orang tua di belakangmu itu, tugas dan asal usulnya?”
Setelah terdiam agak lama, dan perhatian semua orang tertuju pada Nyi Endang Darma,
dia menjawab lirih: “Hamba, Endang Darma minta maaf karena tidak dapat menjawab satupun dan lima pertanyaan tadi,karena hamba sudah bersumpah hanya akan menyampaikan perihal ini kepada Gustiku Adipati Aria Wiralodra yang punya kekuasaan di negeri ini, yang sementara ini hamba sedang menunggunya.”
Pangeran Guru marah besar, mukanya merah kelabu, katanya lantang: “Benar dugaanku, menggunakan kecantikan untuk menarik murid, kecantikan dayang umbaran!”
Nyi Endang adalah seorang guru, dihina demikian rupa, darahnya mendidih, hanya karena dirinya dibilang cantik, maka amarahnya sedikit mereda, katanya hambar:
“Pangeran Arya Dila adalah Guru dari negeri besar Palembang, sayang tidak punya sopan santun, tetapi aku tidak menghendaki keributan, aku menghormati Ki Lurah Tinggil, maka dipersilahkan Pangeran beserta pengikutnya meninggalkan pondokku!”
Babad Dermayu menggambarkan perdebatan tersebut di atas dalam keindahan Pupuh Sinom sebagai berikut:
Kari-kari Endang Darma Paksa lumancang awani
Dadi guru kaya ingwang Apa kadiran sireki
Wong ayu tur lenjang kuning Oranana pada
nipun Kaya ayune Ndang Darma Dayang
umbaran sireki Ora nganggo tatakramaning
wanodya Kqji sakti – saktia sira Utawa guna
luwihi Lancange kaliwat-liwat Tan karuan nagri
neki Tanana manusia iki Kaya tingkah pan
sireku Ambales sabda Nyi Endang Duh eman
ning rupi Gusti
Langkung sae pideg sarupi sumbada
Ananging sugal wecana
Boten wonten basa liri
Mungguh pandakwa pangeran
Matur esta kang sayekti
Bade punapa Gusti
Mapan wisma datan nyambut
Utawi ka reh ning karya
Ning wengkon paduka gusti
Bade napa sumangga derek pUcersa
Endang Darma datan serab
Utawi qjrih ningali
Sakayu kayu ning adang
Semah neda den sugui
Bedama pucuking keris
Utawi sakti ning guru
Mangga gusti kersandika
Sagending abdi ladosi
Lamun kawon mapan kula ora wirang
 

“Endang Darma, tutup mulutmu!” teriak Arya Dila sambil memberi isyarat kepada salah seorang muridnya, maka melompatlah seorang yang bernama Wisanggeni, menangkap Nyi Endang Darma. Tetapi dengan lincahnya Nyi Endang lolos dan melesat ke luar wisma sambil berseru:
“Para tamuku yang ingin dijamu ujung wrayang, majulah!”
Maka berlompatanlah para murid Arya Dila keluar dan segera mengurung Nyi Endang Darma. Tetapi lingkaran yang rapat itu buyar kembali, karena dari setiap penjuru tiba-tiba bermunculan pengikut-pengikut Nyi Endang Darma yang telah siaga tempur. Murid-murid Arya Dila mundur secara rapih, lalu membentuk barisan perang.
Sementara itu Nyi Endang menimbang-nimbang dalam hatinya: ‘Murid-murid Pangeran Arya
Dila bukanlah orang-orang sembarangan.
Kecuali Tana dan Tani, mereka bukanlah tandingan murid-muridku yang masih baru. Maka kalau dibiarkan seluruh murid - muridku bertempur, akan banyak kerugian di pihakku, ini berarti kerugian tenaga bagi Dusun. Berarti pula aku bersalah pada Ki Lurah Tinggil yang baik hati.’
Memikir demikian maka dia mengambil keputusan berhadapan dengan musuhnya bersama Ki Tana dan Nini Tani. Kemudian serunya: “Murid muridku tidak diper-bolehkan membantu, ini urusan kami bertiga.”
Perintah gurunya segera ditaati, satu persatu segera mereka mundur, lalu mengambil tempat di belakang gurunya, sambil mewaspadai barisan prajurit yang membuat barisan setengah lingkaran di belakang Pangeran Arya Dila. Sedangkan Ki Tana dan Nini Tani telah siaga di kanan-kiri Nyi Endang.Sementara kedua belah pihak masih dalam persiapan tempur, Ki Tinggil maju ke depan
sambil berseru: “Hormatilah perang tanding secara kesatria!” Lalu dia kembali bergabung dengan bahusukunya.
Kemudian lima orang murid Arya Dila yang bernama Wisanggeni, Bramakendali,Bratakusuma, Kramadenta dan Sumalaga telah menghunus pedang lantas saja maju menyerang satu sasaran, yaitu Nyi Endang.
Karena Ki Tana maupun Nini Tani melangkah mundur, walaupun tidak menurunkan kewaspadaan. Suatu keputusan yang salah menganggap terlalu rendah murid-murid utama Pangeran Guru .
Nyi Endang coba merampas pedang Bramakendali, tetapi Bramakendali termasuk murid tertua Arya Dila. Pedangnya diputar mengarah sambaran tangan Nyi Endang dan langsung menebas. Baru saja Nyi Endang berhasil mengelak, empat pedang menyambar dari segala arah, maka terpaksa dia menjatuhkan diri dan dengan sebat selendangnya dikebut melilit tangan Wisanggeni, kemudian ditarik ke arah ujung-ujung pedang. Tentu saja keempat murid Arya Dila yang lain menjadi terkejut dan cepat-cepat menarik kembali pedang-pedangnya.
Kesempatan ini dipakai oleh Nyi Endang untuk melesat bangkit sambil mencabut patrem dari
gelung rambutnya, tetapi di lain pihak murid-murid Arya Dila yang telah terlatih dalam ilmu perang, kemudian secara serentak mencabut belati dan melontarkannya.
Nyi Endang mahir berkelahi tetapi tidak mengerti ilmu perang, maka mendapat serangan lima belati secara hampir bersamaan,dia hanya bisa lolos dari dua belati,menyampok dua yang lain dengan patremnya dan bret … satu belati dapat merobek bajunya cukup lebar, dengan luka tipis tergores di pinggangnya.
Ki Tana dan Nini Tani tersadar membiarkan Nyi Endang bertempur sendirian, mereka lengah
karena mengawasi para pembokong. Kini trio pendekar turun ke arena membuat bentuk
segitiga dalam jarak dua depa. Sementara itu Nyi Endang yang merasa terhina tangannya
menggetar, patremnya mendesing dan hanya beberapa gebrakan kemudian, Bramakendali
yang melontar belati tersebut telah roboh binasa …
.

tewasnya Bramakendali menimbulkan kemarahan yang besar di kalangan murid-murid Arya Dila. Tidak kepalang tanggung segera sepuluh orang lagi maju melibatkan diri dalam pertempuran, dan lantas saja serang menyerang jadi tambah gencar. Nyi Endang tidak lagi menganggap rendah murid-murid Arya Dila, maka gerakannya jadi gesit luar biasa. Tubuhnya berkelebatan ke segala arah,menikam ke muka, menendang ke belakang,memukul ke samping, menangkis sambil berguling ke tanah ataupun melesat jumpalitan di udara. Setiap kali satu atau dua bahkan tiga
sekaligus murid Arya Dila roboh tewas.Ki Tana dan Nini Tani hanya mempunyai tugas melindungi Nyi Endang , maka tidak menyerang musuh hingga tewas. Nini Tani membuat perlindungan bagi Nyi Endang dengan gerakan tangannya, yang berputar seperti payung pelindung. Gerakan-gerakan yang dilakukan dengan kecepatan tinggi ini tidak lepas dari mata Ki Tinggil. Maka tidak sadar mulutnya mengucap: “Ah, Ni Pohaci berpayung emas.”
Kemudian ketika giliran Ki Tana yang diawasi,sekali lagi terucap: “Simah rempag; ah setengah hati!”
Kini ada titik terang bagi Ki Tinggil untuk menebak, siapa sebenarnya mereka.
Ki Tana dan Nini Tani dapat dipastikan menggunakan Silat Pajajaran. Kesimpulannya baru separuh: Silat Pajajaran-Walangsungsang- Nyi Endang Darma.
Lalu apa tugasnya, kemudian diputuskannya sendiri. ‘Nanti saja, aku harus perhatikan
jalannya pertempuran,’ kata Ki Tinggil dalam hati.
Setelah Bramakendali tewas, berturut-turut atau bersamaan tewas adalah Akhmad, Khusen,
Rakhmat, Ngali, Winata, Adinegara, Girinata,Singantara. Kusumanata, Sumalaga,Kramasuganda, Muralim, Nitikusuma,Bramatanaya, Jakakusuma, Bramabrata.Kramadenta, Bramakesuma, Kusumadilaga,Bramawijaya, Bratakusuma dan Wisanggeni.
Kejadian ini di luar dugaan Pangeran Guru Arya Dila, maka bukan kepalang gusarnya,dengan suara nyaring dia berseru: “Endang Darma, tahan dulu dan murid -muridku mundur!”
Nyi Endang memenuhi seruan tersebut.Dengan berdiri di satu kaki dan badan masih berputar, selendang di tangan kirinya masih dilecut menimbulkan suara ledakan beruntun ,sedangkan patrem di tangan kanannya perlahan-lahan diselipkan kembali ke gelung rambut kepalanya. Dengan sangat waspada pandangannya mengikuti gerakan mundur murid-murid Pangeran Arya Dila. Sementara itu murid-murid Pangeran tidak kehilangan semangat, melangkah ke belakang secara teratur sebagai layaknya prajurit-prajurit yang mengundurkan diri dari tekanan musuh yang lebih kuat.
Arena menjadi sepi, Nyi Endang menghentikan gerakannya dan berdiri di tengah-tengah 24 sosok tubuh manusia yang telah menjadi mayat berlumuran darah.
Kemudian tanpa menoleh kepada Pangeran Arya Dila, Nyi Endang Darma melompat mundur lalu membalik dan masuk ke dalam wismanya. Segera murid-murid Nyi Endang membentuk barisan penjagaan.
Di lain pihak Pangeran Arya Dila sibuk meredakan kemarahan murid-muridnya yang masih terbakar oleh semangat tempur yang meluap-luap katanya: “Murid-muridku tahan amarahmu, relakan saudara-saudaramu gugur sabilillah.”Setelah menarik napas panjang Pangeran Arya
Dila menoleh kepada jasad murid-muridnya,katanya hambar: “Inna lillahi wainaillahi rojiiun….”
Kemudian suasana menjadi hening. Semua sisa murid Pangeran Arya Dila menunduk mengikuti gurunya membaca do’ a dengan lirih:“Robbanaggfir lanna dzunubanna wa isyraafanaa fieamrinnaa wa tsabit aqdaa mana wanshurnaa alal qaumil kafirin….”
Sore itu juga seluruh jenazah dikuburkan.
Pangeran Guru sangat berduka. Jika saja matahari belum terbenam dia akan menerjang
Nyi Endang Darma. Tetapi peraturan kesatria,hanya boleh bertempur pada saat matahari terbit hingga matahari terbenam. Maka keesokan harinya saat matahari memperlihatkan diri, Pangeran Guru sudah berada di muka wisma Nyi Endang Darma,tekadnya sudah bulat membunuh Nyi Endang Darma.
Kedatangan Pangeran Guru di luar pintu wisma telah diketahui Nyi Endang, maka katanya dari
dalam: “Dengan setulus hati hamba mohon agar Pangeran meninggalkan kami!”
Mendengar nasehat ini, Pangeran Guru menjawab geram: “Semenjak Nabi Adam,manusia mana yang tidak pernah mati, anakku Khusen kemaren mati. Maka bila engkau yang tidak mati, akulah yang akan mati, tetapi untuk keduanya hidup tidaklah mungkin. Endang Darma keluarlah …!”
Bagaikan anak panah lepas dari busumya, Nyi Endang Darma melesat dari dalam wismanya langsung menyerang Pangeran Guru.Pangeran Guru meloncat ke samping ,kemudian terjadilah “perang tanding” yang langsung dahsyat seperti dalam cerita pewayangan.
Pangeran Guru segera menggempur dengan tangan kanan bagaikan kilat dan belum sampai
ke sasarannya tangan kirinya menyusul lebih dahulu menyambar, Nyi Endang cepat menunduk ke samping , tetapi Pangeran Guru tidak memberi kesempatan, kaki kanan dan kirinya menendang bergantian. Sekali lagi Nyi Endang menghindar sambil melompat ke belakang. Bagaikan kalap, Pangeran Guru ,menyerang lebih gesit. Tinjunya menyambar-nyambar seperti tangannya ada empat.Laksana terbang Nyi Endang menghindar dengan mengibaskan wrayangnya, membelah
udara, menyibak embun pagi.Menyadari serangan-serangannya tidak berhasil, Pangeran Guru mencabut pedangnya,tidak diduga pedang merupakan lawan yang cocok untuk wrayang Nyi Endang, yang terbuat dari sutra halus itu seperti berubah menjadi lempeng baja tipis, sehingga ketika beradu dengan pedang Pangeran Guru, suaranya berderit dengan memercikan bunga -bunga api.
Pangeran Guru memperlihatkan permainan pedang yang indah aliran Majapahit yang terkenal “Tiada Kulit Melainkan Isi”. Setiap gerakannya cepat dan mematikan. Tempur pedang Majapahit adalah salah satu bagian ilmu perang untuk membela negara, maka kalau saja bukan Singa-Betina Nyi Endang yang dihadapi ….Kini kedua pendekar ulung beradu senjata.
Daun-daun rontok kena angin kebutan wrayang Nyi Endang dan berkali-kali terdengar letupan berantai akibat bentrokan senjata dan gesekannya.
Udreg pedang – pinendang, sakalih panpunjul,tan wonten asoring yuda. tiang surak kadya rengatin burnt suka aningalana Pertandingan ini memang disaksikan rakyat selama hampir satu bulan. Dari matahari terbit sampai terbenam.
Babad Dermayu melukiskan dalam macapat Pupuh Sinom (satu dari delapan bait):
Kalangkung rameh ing yuda Anggene pajuning
jurit Tandange Nyi Endang Darma Kalayan
pawongan neki Gamanne pan patrem manik
Saking cucuk gelung ipun Kalayan senjata
wrayang Oranana teguh sakti Datan kiat sedaya para Pangeran
 

Mengukur kemampuan sendiri dan lawan, Nyi Endang lebih banyak bertahan. Pangeran Guru
sudah sepuh, sehingga daya tahannya di bawah Nyi Endang. Maka lama waktu yang akan menentukan siapa yang akan keluar jadi pemenang. Perhitungan Nyi Endang benar.
Semakin hari gerakan silat Pangeran Guru semakin menurun, maka pada suatu hari
Pangeran Guru setelah bertempur sepanjang hari, tiba-tiba gerakannya makin gesit tetapi tidak terarah. Kemudian berdiri tegak dan terdiam laksana obor kehabisan minyak ….
Nyi Endang melompat mundur karena Pangeran Guru telah wafat dalam posisi berdiri tegak ….
Sementara Nyi Endang Darma membalik dengan kepala tertunduk dan berjalan menuju wismanya, Ki Tinggil bergegas merangkul sosok Pangeran Guru Arya Dila sambil mengucapkan:
“Innalilahi wa Innailahi rojiun.”
Tanpa bersuara, sisa murid Pangeran Guru,maju ke depan membantu Ki Lurah Tinggil merebahkan jenazah Pangeran Guru,beralaskan jubah Ki Tinggil kemudian ditutup dengan jubah Pangeran Guru sendiri. Tanpa ada yang memerintah semua orang yang hadir duduk, termasuk barisan prajurit Palembang.Kemudian Ki Lurah Tinggil berdiri menghadap pada pengikut Pangeran Guru, katanya:
“Saudara- saudaraku dari Palembang, Pangeran Guru telah wafat, persoalan ini akan kusampaikan kepada penguasa nagari ini,Adipati Aria Wiralodra, yang saat ini sedang berada di Bagelen. Aku sendiri yang akan ke sana.“Bagi saudara-saudara ada dua pilihan.Pertama. Melanjutkan pergi ke Demak dan melapor kepada Gusti Sultan. Tetapi ingat kemungkinan besar saudara-saudara akan digantung, karena hukum Demak, yaitu saudara saudara harus membela Gustimu sampai mati.
“Kedua. Tinggal di sini menjadi penduduk Praja Cimanuk, para prajurit bisa meneruskan menjadi prajurit nagari ini. Lapangan kerja lain terbuka, untuk jadi petani, nelayan, pedagang atau apa saja . Tanah untuk rumah dan pertanian diberikan secara cuma-cuma.
“Nah saudara-saudaraku dari Palembang siapa yang akan melanjutkan perjalanan ke Demak.
harap berdiri!”
Ternyata tidak seorangpun yang berdiri. Maka berkata pula Ki Tinggil:
“Baiklah, mari kita makamkan jenazah Pangeran Guru bersama murid-murid yang telah mendahuluinya (di belakang Masjid Dermayu yang terkenal dengan nama Pemakaman Pangeran Selawe).”Yang paling berduka atas tewasnya Pangeran Guru Arya Dila beserta 24 orang Pangeran muridnya,adalah Ki Lurah Tinggil. Maka keesokan harinya semua bahusuku dipanggil.
Kepada para bahusuku Ki Lurah Tinggil berkata: “Saudara-saudaraku, sesuai ketentuan jumlah penduduk, maka pada hari ini jabatanku demang dan engkau semua: Pulaha,Bayantaka,Jayantaka, Surantaka, Sanasara dan
Puspahita adalah lurah. Angkatlah untuk membantu, bahusuku sesuai dengan jumlah penduduk seperti yang telah diatur.
“Besok aku akan ke Bagelen untuk laporan.Dan Pulaha menjabat Demang sementara aku belum kembali. Jagalah keamanan dan kesejahteraan rakyat!”
Ketika Aria Wiralodra meninggalkan Praja Cimanuk menuju Demak, saat itu menunjukkan akhir 1517 M. Dengan menggunakan kuda pilihan, perjalanan menjadi lebih cepat. Maka sesampainya di Demak, dia langsung menuju Kesultanan. Aria Wiraloda diterima Sultan Raden Fatah dengan gembira.
Aria Wiralodra melaporkan berdirinya Kadipaten Praja Cimanuk, di bawah Galuh Nagari dengan semua peris-tiwanya yang terjadi.
Setelah Sang Sultan memuji keberhasilannya,kemudian memberi petunjuk bagaimana komunikasi harus ditempuh untuk menjaga kerahasian.
Setelah selesai membicarakan “Cimanuk”,Sultan berkata: “Wira! Sekarang di sini sedang terjadi pem-berontakan, tetapi ini bukan tugasmu melainkan tugas ayahmu, kubebaskan engkau untuk menilai.”Setelah selesai jamuan makan yang diselenggarakan oleh Istana, Aria Wiralodr apun mohon diri untuk terus ke Bagelen.
Tiba di Bagelen Aria Wiralodra, disambut oleh keluarga dengan tangis kegembiraan. Tetapi
dia tidak dapat menikmati masa istirahat melepas lelah setelah bekerja keras membangun nagara, karena Bagelen menghadapi “kerusuhan”. Lima Kadipaten berontak melawan Demak yaitu: Banyubiru,Pamigit, Karangjati, Banyuurip dan Karanganyar. Aria Wiralodra akan menghadapinya.
Lontar Babad Darmaayu (abad XV M) menulis sebagai berikut:
Kamatyan Wiralodra
Angunggang Rama buneki
Hing Bagelen kang nagara
Sadaya katur pawarti
Dukuh ing Cimanuk kali
Bu-rama samya ngungwx
Wicaksana Wiralodra
Amangun nagara neki
Saksana kawedar pangadikane rama
Katambetan Wiralodra
Sakawane Putra mami
Saiki pan kaki sira
Mengkuha Bagelen nagri
Ana prang ingjurit
Supaya dadi kaweruh
Banyubiru lawan Demak
Peregreg ing Pamigit
Karangjati Banyuurip lan Karanganyar
 

Aria Wiralodra bersama saudara-saudaranya Raden Wangsanagara, Raden Tanujaya dan Raden Tanujiwa memimpin Lasykar Bagelen bersama-sama Pasukan Demak memadamkan pemberontakan. Peristiwa ini membuat Aria Wiralodra tinggal cukup lama di Bagelen .Pada saat itu (1522 M ) Aria Wiralodra akan kembali ke Praja Cimanuk, tiba -tiba Ki Tinggil datang.
Kedatangan Ki Tinggil di Bagelen,menimbulkan tanda tanya, khususnya Aria Wiralodra yang menduga tentu telah terjadi sesuatu di Praja Cimanuk. Maka setelah melepas lelah. Ki Tinggil duduk dikerumuni keluarga Singalodra.
Duduk menghadap Gusti Sepuh Singalodra, Ki Tinggil bercerita: “Gusti! Sepeninggal Den Wira, rakyat pedukuhan Praja Cimanuk dalam keadaan sejahtera. Rencana pembuatan jalan,gang dan saluran air telah dilaksanakan.
‘Tiba-tiba saja, pada suatu hari datang seorang wanita cantik bernama Nyi Endang Darma
diiringi oleh pa-wongannya suami istri bernama Ki Tana dan Nini Tani,minta izin untuk mukim di Dukuh Cimanuk.
Sudah tentu hamba beri izin, sesuai pesan Den Wira.
“Kemudian ternyata Nyai Endang bukan saja cantik dalam rupa tetapi juga dalam perbuatan. Suka membantu atau menolong orang yang dalam kesulitan; memberi petunjuk cara bercocok tanam yang lebih baik,cara berdagang yang menarik minat pembeli ,cara para gadis atau ibu-ibu berbusana sederhana tetapi menarik dan lain-lain.
“Akhirnya yang mengejutkan hamba, Nyi Endang Darma seorang sakti. Pandai menggunakan berbagai senjata sebagai seorang prajurit dan bersilat tangan kosong sebagai pendekar, Nyi Endang membuka perguruan silat tanpa imbalan.
“Hamba biarkan penduduk berguru silat karena akan berguna kelak dalam wajib bela negara. Hamba berfikir alangkah pantasnya menjadi garwa Den Wira ….
“Demikianlah dan hari ke hari murid -murid Nyi Endang Darma bertambah, bersama bertambahnya kemakmuran penduduk Cimanuk.”
Kemudian diuraikanlah kedatangan Pangeran Gum Aria Dila beserta murid-murid dan prajurit Palembang secara terperinci sampai timbulnya huru-hara yang menyedihkan.
Karena pandainya Ki Tinggil mengisahkan peristiwa-peristiwa yang terjadi maka suasana
menjadi sangat sunyi mencekam. Semua terdiam, sampai Adipati Singalodra berkata:
“Wira, Pangeran Guru Aiya Dila adalah masih
kakekmu dari Majapahit. Selain dari pada itu,kalau kita melindungi Nyi Endang Darma, kita
akan berhadapan dengan Gusti Sultan Demak.Maka tangkaplah dia! Bawalah kedua adikmu
Tanujaya dan Tanujiwa untuk membawa Nyi Endang Darma ke Demak!”
Dengan menggunakan kuda-kuda terbaik Aria Wiralodra, Raden Tanujaya, Raden Tanujiwa
dan Ki Tinggil berangkat dari Bagelen menuju Dukuh Cimanuk.
Tiba di Dukuh Cimanuk disambut oleh para lurah, bahusuku dan rakyat, yang banyak di antara mereka belum mengenal Gustinya.
Hanya Nyi Endang yang tidak hadir, hatinya risau, tidak tahu apa yang harus dia perbuat.
Maka jalan satu-satunya dia tetap tinggal di wismanya.
Pada keesokan harinya Aria Wiralodra mengutus Ki Tinggil dan Ki Pulaha memanggil
Nyi Endang. Nyi Endang sangat gelisah kedatangan mereka hatinya gugup: “Paman,silahkan masuk dan duduklah!”
Beberapa saat lamanya dia tidak dapat membuka mulut, tapi kemudian katanya lagi:”
Paman, Endang Darma merasa bersalah,sampai Paman pergi ke Bagelen karena perbuatanku. Kini, kiranya Paman telah kembali, khabar apa yang Paman bawa?”
“Nyai,” sahut Ki Tinggil, “benar, Paman telah kembali dari Bagelen beserta Gusti Wiralodra
bahkan dua saudaranya ikut serta. Paman kemari janganlah membuat Nyai terkejut.Tidak lain Nyai diminta datang sekarang menemuinya!”
“Paman!” sahut Nyai Endang Darma, “kalau begitu perkenankanlah Endang Darma berpakaian dahulu.”
Beberapa saat kemudian Nyi Endang keluar dari kamamya, mengenakan pakaian miliknya
yang terbaik dan menggunakan minyak wangi yang harurn lembut. Bagaikan bidadari yang
keluar dari pintu Dalem Pawidadaren, Endang Darma yang cantik menjadi lebih cantik lagi
dimata para penjemputnya.
Serat Babad Dermayu, melukiskannya dalam pupuh Kinanti seperti berikut:
Nyi Endang ngandika arum Mangga bade
dangdos krihin Nyi Endang ngrasuk busana
Pinaes lenga asuri
Rema cemang andan andan Kulit kuning nemu
giring Dedeg sedeng langkung ayu Datan ana
sakeng estri Kadi rupi Endang Darma
Sakancane kaki Tinggil Nderek Endang Darma
Kadi putri Widadari


Ki Tinggil dan Ki Pulaha bam tersadar, setelah tertegun cukup lama. Bagaikan mimpi, mereka
melihat Nyi Endang Darma yang cantiknya makin bertambah dengan busana yang serasi.
Berkata Nyi Endang: “Mari Paman Tinggil, mari Paman Pulaha!”
Dengan gugup Ki Tinggil mempersilahkan Nyi Endang berjalan di muka. Setibanya di Wisma
Agung, Nyi Endang Darma disambut Aria Wiralodra.
Nyi Endang memberi hormat dengan membungkuk dan duduk bersimpuh sambil menundukkan kepala, tidak berani memandang wajah Aria Wiralodra. Hatinya msuh melihat seorang satria yang sangat menarik, tegap dan tampan.
Tidak berbeda dengan Nyi Endang, Aria Wiralodra hatinya tergetar melihat wanita yang sangat cantik ini.
Aria Wiralodra membuka kata: “Bagea Nyai! Aku tamu yang bam datang ingin sekali berjumpa dengan Nyai, karena itu aku suruh Paman Tinggil menjemput.”
“Gusti! Yang menjadi tamu menumpang hidup adalah hamba. Hamba telah mohon kepada Paman Tinggil ikut menetap di sini,” kata Nyi Endang.
“Nyai,” sahut Aria Wiralodra, “engkau punya hak untuk tinggal dan membangun penghidupan di sini.” Setelah hening sejenak,lanjutnya: “Nyai, ada sesuatu yang aku ingin mendengar langsung dari Nyai mengenai peristiwa tewasnya Pangeran Guru dan 24 orang muridnya.
Ceritakanlah yang sebenarnya terjadi!”Dengan paras muka yang sayu, Nyi Endang Darma berkata: “Gusti, hamba bersumpah dengan menyebut nama Allah Yang Maha Mengetahui, hamba akan bicara yang sebenarnya, tidak berani menambah atau mengurangi.”
Maka diceritakanlah oleh Nyi Endang apa yang telah terjadi dan dibenarkan oleh Ki Tinggil
dan Ki Pulaha. Lama Aria Wiralodra termenung, kemudian katanya: “Eyang Guru yang salah, aku tidak memihaknya. Tetapi Nyai diminta kesediaannya bertanding dengan saudara-saudaraku. Aku ingin melihat cara bagaimana engkau dapat menjatuhkan Eyang Guru.”
Nyai Endang menjawab lirih: “Gusti, hamba tidak berani, ampunilah hamba!”
Aria Wiralodra, seorang satria Pinandita,nuraninya dapat membaca pikiran Nyi Endang Darma, yang diucapkan tidak seperti yang dipikirkannya, maka katanya sambil tersenyum:
“Nyai! Ini perintahku, dan termasuk sayembara, tetapi tidak boleh saling melukai.”
Kata-kata ini mengandung arti agar Nyi Endang Darma tidak menurunkan pukulan telak. Tetapi
di luar dugaan, Raden Tanujaya telah berdiri.Katanya nyaring: “Nyai! Cah ayu marilah!”
Maka sambung Aria Wiralodra: “Nyai,dengarlahjagoku telah berkokok marilah kita semua ke ‘arena latihan prajurit’.”Di tempat duduk, Aria Wiralodra menempati kursi deretan komandan pelatih, di samping kanan Nyi Endang Darma bersama Ki Tana dan Nini Tani. Sedangkan di sebelah kiri Ki Tinggil bersama Raden Tanujaya dan Raden Tanujiwa.
Sementara penonton terbatas hanya dari Dalem Agung .
Kemudian Aria Wiralodra berseru: “Sayembara bisa segera dimulai!”
Dengan gembira Raden Tanujaya turun ke gelanggang diikuti Nyi Endang Darma. Maka setelah
berhadapan dengan jarak tiga depa, Raden Tanujaya sekali lagi berseru: “Nyai! Cah ayu!
Bila engkau kalah, jadilah istriku, akan kubawa ke Bagelen!”
Nyi Endang Darma tidak senang mendengar Raden Tanujaya berteriak di tengah gelanggang
seperti itu, maka dari jauh selendangnya dikebut yang menimbulkan arus angin deras menerpa muka Raden Tanujaya. Betapapun cepat Raden Tanujaya mengelak, tidak urung kuping kirinya tersambar yang langsung berubah warna, menjadi merah-biru.
Kini Raden Tanujaya tidak main-main , dia cepat pasang kuda -kuda dan sambil membentak keras meloncat, langsung menjambret pundak Nyi Endang Darma. Tetapi sebelum tangannya sampai ke pundak, dia merasa ada angin berkesiur dari kiri dan kanan. Maka dengan cepat tangan kiri dan
kanannya menangkis. Inilah kesalahannya.
Nyi Endang Darma sengaja dengan gerakan selendangnya membuat reaksi lawan agar pertahanan dada menjadi terbuka. Maka ketika kesempatan ini terjadi, kaki kiri Nyi Endang menerjangnya. Tidak pelak lagi, Raden Tanujaya terpental lima depa ke belakang….
Orang yang paling khawatir atas keselamatan Putra Adipati Bagelen Singalodra adalah Ki Tinggil. Semua orang tahu Ki Tinggil adalah seorang Panakawan, tetapi banyak yang tidak tahu bahwa dia adalah pengasuh dan guru sekaligus.
Maka bagaikan burung elang, Ki Tinggil menyambar Raden Tanujaya yang hampir terbanting ke tanah. Tidak urung Raden Tanujaya pingsan. Napasnya menyesak, tanpa diketahui orang banyak, Ki Tinggil telah mengurut dan menyadarkannya.
Melihat saudara kembarnya celaka, Raden Tanujiwa meloncat langsung ke arena.
Tindakannya ringan, maka orang menduga akan terjadi pertarungan yang seru.
Seperti saudaranya, ternyata kata-kata Raden Tanujiwa lebih usil, setelah memuji kecantikannya kemudian katanya: “Aja inda duh wong ayu, pengen ngemek bae Nyai!”
Sementara bicara Raden Tanujiwa melesat dan berhenti di belakang Nyi Endang , tangan kanannya langsung menyambar tengkuk Nyi Endang. Tanpa memutar tubuhnya, Nyi Endang
menangkis. Gagal dengan pukulannya,Tanuwjiwa melanjutkan dengan tendangan lurus ke depan. Nyi Endang menghindar,sambil berbalik balas menendang. Raden Tanujiwa lompat mundur.
Nyi Endang melecut selendangnya ke kanan dan ke kiri tubuh Raden Tanujiwa secara bergelombang, maka tidak ada jalan lain kecuali mundur. Ketika mundur ke “arah”
tempat duduk Aria Wiralodra untuk melompat mundur, Nyi Endang dengan cepat menggeser
ke samping lalu melontar selendangnya melingkar tubuh Raden Tanujiwa dan bersamaan dengan lompatan mundur Raden Tanujiwa, selendang Nyi Endang yang telah melilit tubuhnya dan langsung disentakkan mengikuti arah lompatan . Tak ayal lagi Raden Tanujiwa melayang ke arah Aria Wiralodra.
Ki Tinggil, Sejak awal sudah melihat gelagat ini tetapi ukuran jaraknya yang tidak tepat, maka
tubuh Raden Tanujiwa melayang di atas kepalanya.
Beruntung, Raden Tanujiwa memiliki ilmu ringan tubuh yang cukup baik, sehingga tidak jatuh terbanting. Tetapi tidak urung dia terjerembab dan terhenti dalam posisi sujud kepada …. Aria Wiralodra.Berlawanan dengan gusar, Aria Wiralodra tertawa nyaring, katanya: “Aku membawa jago terbaik dari Bagelen, berkokok sepanjang jalan tetapi baru diadu dengan babon sudah jatuh
bergulingan!”
Mendengar ejekan tersebut, Raden Tanujiwa berteriak: “Cobalah Kanda tangkap dia! Aku heran, Nyi Endang punya ilmu apa? Pendekar-pendekar para pemberontak di Demak,aku jatuhkan tidak sampai 10 jurus!”
Tanpa menghiraukan ocehan adiknya, Aria Wiralodra menghampiri Nyi Endang Darma dan katanya lembut: “Nyai, kulihat barusan suatu pertunjukan yang menyenangkan hati, rasanya
aku ingin mencoba macam apa pedasnya tamparan Nyai. Karena itu mau tidak mau besok pagi kuminta Nyai melawanku, tidak di tempat ini yang sempit, melainkan di Alun-alun!”
Nyi Endang Darma tertegun, walaupun Aria Wiralodra sudah menduganya. Tetapi ketika mendengar permintaan ini mulutnya rasanya terkunci. Sebagai seorang pendekar, dia tidak
takut, tetapi hatinya terkait sejak saat pandangan pertama, laksana besi purasani bertemu dengan besi baja.
Setelah lama terdiam dia sadar dan merasa jengah sendiri, mukanya … bersemu dadu disembunyikan dengan menunduk. Yang tidak dapat bersembunyi adalah Aria Wiralodra,
dengan tidak berkedip memandang keelokan Nyi Endang Darma.Ki Tinggil cepat bertindak, dihampirinya Nyi Endang Darma, maka seperti mendapat jalan,berkata Nyi Endang Darma: “Aduhai Paman,apa yang harus kuperbuat. Endang Darma hanya memohon hidup di sini. Mengapa harus melawan Gusti Wiralodra?”
Dengan penuh kasih tapi bersuara nyaring Ki Tinggil berkata: “Nyai, Den Wira tidak akan
melukaimu, kalau sampai Nyai terluka, Paman akan minggat. Tetapi juga kalau Den Wira yang
terluka, Paman tidak mau lagi bicara sama Nyai.”
ata-kata Ki Tinggil yang diucapkan tidak sungguh-sungguh tetapi terasa memperingatkan, yang sebetulnya juga tidak perlu dikatakan. Ki Tinggil dapat melihat cara mereka saling pandang, kemudian katanya:
“Nyai mari Paman antar pulang dan besok akan Paman jemput lagi Keesokan harinya, tanpa ada pengumuman hampir seluruh penduduk, baik pria, wanita maupun anak-anak memadati tepi alun-alun.U Duajago yang tiada taranya masa itu akan berhadapan.
Di wismanya Nyi Endang Darma pagi-pagi telah memakai busana pendekarnya.
Dengan hati gelisah, bertanya kepada pengasuhnya. “Kaki …. Nini…, cara bagaimana aku harus merobohkan Gusti Wira agar tidak terluka?” katanya setengah tidak sadar.
Kedua pengasuhnya bukannya menjawab melainkan tersenyum. Maka Nyi Endang bertambah bingung, sambungnya, ” Nini …Engkau menertawakan aku?”
“Nyai,” berkata Ki Tana, “Kaki dan Nini kemaren melihat pertandingan. Bukan lawan-lawan Nyai, tetapi Gusti Wiralodra dan Ki Tinggil. Kedua orang itulah yang dapat menandingi kita, situa Tinggil lawanku bersama Nini dan Gusti Wira lawan Nyai.
Perkiraanku tepat, pada akhirnya Nyai akan diminta untuk menghadapi Gusti Wira.”
Kemudian Ki Tana menarik napas panjang.
Katanya perlahan, “Salah satu pusakayang dipajang di Dalem Agung adalah senjata cakra,maka dapat dipastikan pemiliknya mengusai ilmu Triwikrama, penguasaan Bawana-Buntala-Gegana. Dalam pewayangan Sri Kresna seorang diri menggegerkan bukan hanya negeri Hastina, bahkan Suralaya tempat para Dewa.
Maka janganlah Nyai memikir bagaimana merobohkan Gusti Wira tanpa terluka!”
Nyi Endang Darma tersadar rahasia hatinya diketahui Ki Tana. Terlebih Nini Tani yang nampak terus tersenyum.
Ki Tana melanjutkan: “Nyai, lawanlah Gusti Wira sekuat tenaga, kerahkan seluruh ilmu yang Nyai miliki!”
Beberapa saat kemudian Ki Tinggil tiba untuk menjemput. Maka berangkatlah mereka bertiga langsung menuju panggung alun-alun dimana Aria Wiralodra telah menunggunya.
Kemudian Ki Tinggil, Kaki Tana dan Nini Tani berunding bagaimana menilai hasil pertandingan.
setelah itu semua turun Ke gelanggang.Setelah sampai di tengah lapangan. Para wasit mengundurkan diri pada jarak yang cukup jauh. Sedangkan kedua pendekar berdiri berhadapan pada jarak lima depa.Nyi Endang Darma membungkukkan badan yang segera dibalas oleh Aria Wiralodra dan segera dia berseru: “Gusti, bersiaplah, Endang Darma akan segera mulai!”
Dijawab Aria Wiralodra: “Nyai tidak usah ragu-ragu, lakukanlah …!”
Nyai Endang menarik ujung selendang dari ping-gangnya dengan kecepatan tinggi,cahayanya berkelebat laksana kilat membelah udara. Inilah wrayang pusaka yang digerakan sepenuh hati . Mula-mula membuat lingkaran di atas kepala kemudian ke depan, ke samping kanan, ke samping kiri dan ke belakang dengan tanpa menoleh, kemudian kembali ke atas kepala, terakhir melilit kembali di pinggangnya.
Ki Tinggil yang terkagun-kagum sejak awal pertunjukan, langsung berteriak: “Nyi Pohaci berpayung emas …. Nyi Pohaci berpayung emas …. Memang benar inilah jurus pembukaan silat Pajajaran untuk wanita.”
Maka tanpa Ki Tinggil berteriakpun Aria Wiralodra telah mengetahuinya, pikirnya:
‘Kalau bukan murid Ki Walungsungsang,setidaknya Nyi Endang pernah belajar kepadanya Aria Wiralodra bersiap-siap mendapat serangan senjata rahasia secara beruntun. Tetapi ini tidak terjadi. Maka Aria Wiralodra maju selangkah dengan kesiapan tangan kosong,tiba-tiba ujung wrayang melesat ke arah muka yang langsung ditebas dengan tangan terbuka.
Di sinilah keunggulan Nyi Endang, ujung wrayangnya melilit tangan dan dengan kecepatan tinggi melilit tubuh Sang Wira seperti seratus laso menjerat seekor kuda.
Aria Wiralodra tidak mau adu kekuatan menarik wrayang, melainkan melompat ke atas tegak lurus sambil berputar seperti gasing dengan arah berlawanan lilitan wrayang.
Sampai lilitan terakhir lepas, Sang Wira masih di udara, kemudian baru turun dengan ringan.
Pertunjukan yang indah disambut sorak-sorai kagum para penonton.
Belum kaki Sang Wira menginjak bumi,serangan Nyi Endang menyusul dengan tangan kosong, membuat lawannya naik turun di udara.
Kini giliran Ki Tana yang tidak bisa menutup mulutnya, katanya nyaring: “Penguasaan gegana yang sempurna Setelah berulangkali menghindar, maka Sang Wira membiarkan telapak kakinya kena dipukul. Akibatnya kedua jago ini terpental hingga berjarak 10 depa.
Berlawanan dengan Sang Wira yang turun hingga menginjak bumi dengan tegak, Nyi Endang jatuh terguling, kemudian sambil bangkit patrem Nyi Endang melesat dengan kekuatan penuh ke arah tubuh Sang Wira.Apa yang terlihat seperti patrem (tusuk konde) itu sebetulnya adalah rencong mini yang terbuat dari baja putih (platina). Salah satu dari pusaka Walisanga, milik seorang wali senior,Syekh Maulana Malik Ibrahim (Maulana Magribi). Saat menjelang wafat pada tahun 1419 M diberikan kepada putranya Makhdar Ibrahim (yang saat itu masih bujang) dengan pesan agar diberikan pada anak perempuannya, adik langsung dari anak laki-lakinya yang pertama. Dialah yang saat ini bernama Nyi Endang Darma.
Senjata itu untuk pertama kali digunakan sebagai senjata rahasia. Sekilas Aria Wiralodra melihat datangnya bahaya yang terlalu cepat maka keris Gagak Handaka yang masih dalam wrangkanya dipergunakan sebagai tameng,menjadi tempat terpusatnya tenaga, tenaga Sang Wira, tenaga Triwikrama.
Maka laksana bunyi seratus petir meledak dan tanahpun bergoyang, penonton terpelanting berhamburan kalang kabut. Ketika tiga wasit tersadar jadi terkejut, karena dua pendekar yang
bertanding lenyap. Tetapi segera berseri karena Nyi Endang Darma tengah duduk di samping Aria Wiralodra dan asyik berbincang-bincang di panggung.
Kemudian ketiga wasit itu mendatanginya, Nyi Endang berseru: “Gusti, walaupun hamba sejauh sampai saat ini kalah, belum tentu dalam kecepatan adu lari!” Dengan kata-kata yang terakhir, Nyi Endang Darma melompat turun. Tetapi dengan selendangnya yang berkibar, maka tampaknya seperti terbang melayang.
Aria Wiralodra tersenyum, serunya, “Nyai aku kejar!” Sambil melompat Aria Wiralodra membuntuti Nyi Endang Darma, dan hanya dalam sekejap kedua pendekar telah lenyap dari pandangan orang banyak .
Kaki Tana dan Nini Tani memburu, tetapi dihalang-halangi oleh Ki Tinggil. Nini Tani marah dan akan segera menyerang, tetapi Kaki Tana yang segera tersadar, menarik istrinya.
Kemudian ketiganya tertawa gembira ….Di suatu tempat yang bernama Ujungjaya, Nyi
Endang Darma berhenti dan duduk di batu yang bertebing batu padas, kemudian segera
diikuti oleh Aria Wiralodra. Sambil memandang sekeliling Nyi Endang berkata: “Gusti, tempat
ini indah dan hamba ingin bersuci wudhu untuk solat dhuhur, hanya sayang tidak ada air.”
Aria Wiralodra mengerti, dia sedang diuji,maka katanya: “Nyai, pertama-tama jangan lagi
pangil aku ‘Gusti’ , panggillah ‘Mas’ atau sebut namaku saja dan berhenti menyebut diri
sendiri ‘hamba’ ganti dengan ‘aku’. Yang kedua, akan aku periksa tebing padas itu tampaknya lembab.”
Sampai di tepi tebing, Aria Wiralodra mengepalkan tangan kanannya dengan keras sambil pasang kuda -kuda. Sesaat kemudian,“bles” seluruh lengan kanannya amblas ke dalam tebing padas dan terdengar seperti suara batu bentrok berantai ke dalam perut bukit. Tidak terlalu lama menunggu, dari lobang bekas lengan tersebut menyembur air jemih seperti pancuran. Dan menggenangi cekungan seluas sepuluh depa persegi sehingga merupakan kolam. Tanpa berkata apapun mereka bersuci dan mengambil air wudhu kemudian salat dhuhur….
Sambil memandang kolam Nyi Endang Darma berkata: “Mas Wira, aku punya bibit ikan!”
Sementara bicara tangannya memetik daun-daun dari berbagai tumbuhan dan sekuntum
bunga “Dewi Uma” yang sedang mekar, lalu ditaburkan ke dalam kolam ….
Sekarang kolam telah berpenghuni ikan hias,dan seekor di antaranya yang berwarna kuning
dengan sirip panjang laksana berselendang sutra.
Kolam ini di kemudian hari disebut orang “Kolam Keramat Ujungjaya”.
Kemudian ketika Aria Wiralodra lengah, Nyi Endang Darma telah lari ke arah selatan tanpa
meninggalkan jejak.
Aria Wiralodra terperangah dengan tingkat ilmu Nyi Endang Darma yang bisa mengimbanginya.
Kesaktian (supranatural) digunakan Walisanga yang termasuk ilmu sejati atau ilmu hakiki,ilmu untuk mencapai derajat manusia sempurna (insan kamil), yang lebih mengutamakan akal batin (intuisi) daripada akal lahir (ratio), sehingga disebut “ajaib” atau “mustahil” bagi akal-lahir. Tetapi kesaktian bukan hanya milik para wali.
Setelah Aria Wiralodra mengikuti arah lari Nyi Endang Darma, sampailah dia ke celah bukit
dimana ada seekor serigala sedang memejamkan matanya. Sang pemburu melihatnya dan berseru “serigala!” .Maka Serigalapun melompatdan menghilang ke dalam semak-semak (sekarang bukit ini disebut Pasir Anjing). Kembali Sang Pemburu melihat di gua berbatu ada seekor harimau betina dan seruan berkumandang, “harimau”,membuat Sang Ratu Hutan lari (bukit besar itu sekarang bernama Pasir Maung).
bosan di perbukitan pindan Ke pohon jambu yang lebat daun maupun buahnya. Lagi-lagi Sang Pemburu berteriak: “Ada burung ketilang mau makanjambu!” Jadilah sekarang tempat itu Desa-Tarung Jambu.
Itulah yang terakhir dilakukan Nyi Endang Darma, sebab selanjutnya dia duduk di bukit batu yang terlindung (sekarang Desa Nyalindung).
Di bawah ini satu bait Pupuh Durma dari serat Babat Dermayu yang melukiskan saat-saat
sebelum Nyi Endang Darma mengakhiri pelariannya:
Mapan Raden Saktinya kaliwat-liwat
Ingsun umpetan pinanggih
Ing endi paran ingwang
Nyi Endang eweding manah
Raden apan anututi
Saparan nira
Nalia ing pinggir ukir

Kemudian mereka berdua bersama-sama mencari tempat yang terbaik untuk beristirahat. Tempat yang terpilih adalah Bukit Marongge.
Di Bukit Marongge Aria Wiralodra membuka percakapan: “Nyai, sebelum aku bicara soal lain, ada yang lebih penting dari yang terpenting, yaitu suatu pertanyaan pribadi dari aku kepada Nyai.”Kemudian setelah ditatapnya muka Nyi Endang cukup lama, Aria Wiralodra berkata lagi, “Aku melamarmu untuk jadi istriku, apakah engkau menerima?”
Nyi Endang Darma menunduk,menyembunyikan mukanya yang memerah karena debar jantungnya lebih cepat. Terdiam cukup lama, berusaha untuk tidak menjadi gugup. Akhirnya keluar jawaban pendek: “Mas Wira, aku menerima lamaranmu.”
Dengan penuh rasa kasih, Aria Wiralodra melanjutkan: “Nyai, nanti setelah kita selesai berbincang, aku akan membawamu ke Pegaden dan kita menikah di sana agar saudara misanku Dalem Wirasetro menjadi saksi.”
Nyi Endang Darma mengangguk .Dalam suasana seperti ini tidak nampak keperkasaan pendekar, melainkan kelembutan, baik dalam tutur kata maupun tingkah laku.
Berkata Aria Wiralodra, “Nyai, aku hanya dapat menyebut nama-nama seperti: Pangeran Walangsungsang, Sunan Gunung Jati Syarif Hidayatullah, dan Fadillah Khan, Wong Agung Paseh; tetapi apa tujuan dan tugas Nyai, aku tidak bisa menebak .”
“Mas Wira,” sahut Nyai Endang halus, “aku akan berkisah.
“Aku dilahirkan di Pasai Aceh dengan nama Gandasari, punya seorang kakak laki-laki bernama Fadillah Khan. Ayahku Makdar Ibrahim adalah Ustad di Istana Kerajaan.
Kakekku Maulana Malik Ibrahim adalah anggota Walisanga yang paling tua.
“Ketika pecah perang dengan Portugis tahun 1521 M, Pasai menderita kekalahan. Istana dan
rumah-rumah di kota termasuk tempat tinggalku hancur. Ayah dan ibuku tewas.
“Aku bersama kakakku berlayar ke Pulau Jawa menghadap Sultan Demak Adipati Yunus .
Kakakku mendapat tugas ke Timur Tengah dan aku diangkat menjadi murid Sunan Gunung Jati
Syarif Hidayatullah yang kebetulan sedang menghadiri sidang Walisanga di Demak.
“Ketika Sunan Guruku kembali ke Caruban,aku ikut dan tinggal di Dalem Agung Pakungwati, aku berguru dalam ilmu agama dan Ilmu Kanuragan.
“Dalam hal kanuragan, ilmu silatku yang dari Pasai tetap dilanjutkan. Sunan hanya melatih
tenaga dalam yang disebut Jurus Sunan’ yang berjumlah 13 jurus.
“Saat ini aku diberi tugas oleh Sunan, guruku untuk mencuri pusaka utama Galuh Nagari
berupa patung ular yang dibuat dari emas.Rakyat Galuh Nagari, khususnya para Sang Hyang, percaya pada pusaka utama ini,sehingga bila hilang, mereka yakin bahwa Galuh Nagari akan sima.
“Dengan kepercayaan seperti ini, semangat juang prajurit Kerajaan akan rendah sehinggga
mudah ditaklukan.“Aku minta pada Sunan Guruku seorang teman pria, tetapi beliau bilang ‘Cari sendiri!’.
“Makanya aku kemari, karena aku memilih Mas Wira. Itulah aku dan tugasku. Mengenai Kaki Tana dan Nini Tani adalah orang kepercayaan Rama Walungsungsang untuk menjagaku Aria Wiralodra terdiam, kemudian bertanya,“Nyai, aku ada di Praja Cimanuk, mengabdi kepada Galuh Nagari, Hyang Prabu Cakraningrat.
“Adalah tugas rahasia dari Sultan Demak dalam rangka pengembangan agama Islam. Semula aku diberi tugas oleh Sultan Raden Patah,setelah wafat kini Sultan Adipati Yunus. Gurumu Sultan, tahu mengenai ini.“Jadi kecuali Sultan Demak hanya Nyai dan gurumu Sunan yang mengetahui.
“Tujuannya nanti pada saat armada laut Demak menyerang Pajajaran, aku di sini menyediakan
pangkalan dan perbekalan.“Nah sekarang Nyai mengerti. Adalah tidak mungkin aku bersama Nyai ke Galuh Nagari untuk tugas seperti itu. Aku terlalu dikenali mereka.
“Aku ada saran untuk Nyai, yaitu, adakan saja sayembara pertarungan untuk memperebutkan
gelar Pendekar Kelas Satu dari Caruban Nagari.”
“Mas Wira!” memotong Nyai Endang, “Orang Jawa bukan pendekar Cina. Budaya Jawa adalah
budaya padi yang tidak ingin pamer.“Ada satu cara yang bisa diadakan oleh penguasa Nagari, yaitu Sayembara memperebutkan putri penguasa seperti: Putri Raja, Putri Adipati atau Putri Temenggung.Tentu saja putrinya harus cantik. Kata Mas Wira aku cantik. Maka judul perlombaan adalah “Sayembara Pibu mencari jodoh”.
Hanya saja, apakah kalau sudah dari Pegaden,aku diizinkan oleh suamiku!”
“Sudah, sudah, tidak,” kata Sang Wira, “nanti saja dibicarakan setelah pulang dari Pegaden.”
Keesokan harinya sepasang calon pengantin berangkat menuju Pegaden. Perjalanan
panjang yang tidak me-lelahkan ….Tiba di Pegaden Aria Wiralodra dan Nyi Endang Darma disambut dengan hangat oleh Dalem Raden Wirasetro beserta garwanya .
Pada malam hari, Aria Wiralodra menuturkan suka dukanya membangun Praja Cimanuk.
Kemudian sekalian, disampaikan keinginan pernikahan mereka dilakukan di Pegaden.
Raden Wirasetro dengan senang hati setuju dan akan dilaksanakan secara besar-besaran. Namun
dengan sungguh-sungguh Aria Wiralodra meminta agar tidak ada pesta sama sekali.
Maka dengan terpaksa Dalem Wirastro menurutinya dan pernikahan dilaksanakan pada malam itu juga.Lontar Babad Darma Ayu (Abad XV M) menulis perihal pernikahan ini sebagai berikut:
Nyi Endang Darma ing besuk Daup Kagarwa ing krami Kalian Ki Wiralodra Nanging ingeta ing weling Ora kena kacatuma Iku sakehing pamali

Sedangkan perihal waktu pemikahannya disimpulkan pada 1525 M, sesuai dengan Candrasangkala pada lontar yang sama,“disembunyikan”, pada kata “genira mangun
nagari” di bawah ini.Dewa Jeksa gung Sangkawa Ana Sapta prang ing siti Papat catur ing sagara Palwa remek klem toyadi Bumi eka ing gumingsir Karya sabda mmuhun Wahana ika Ki Wira Genira mangun nagari Nulya Kaki Wiralodra Angandika Dalam perjalanan dari Pegaden ke Praja
Cimanuk, tiba di Bukit Marongge, kedua mempelai sepakat. Nyi Endang akan mencari “pengawal” untuk tugasnya dengan cara menyelenggarakan sayembara.
Kemudian Aria Wiralodra mengatakan bahwa kedua pengasuhnya akan diberi tahu. Akhirnya
Nyi Endang turun menyeberangi sungai kecil sambil menyipratkan minyak asuri yang harum lembut, sampai hilang di balik bukit (sekarang Desa Darmawangi).
Setelah berdiri selama sepemakan nasi, Aria Wiralodra kembali ke Praja Cimanuk, dan langsung menuju Wisma Nyi Endang Darma.
Setelah memberitahukan Ki Tana dan Nini Tani bahwa Nyi Endang Darma telah menjadi istrinya dan sekarang sedang menuju ke Caruban untuk menyelenggarakan sayembara,Aria Wiralodra minta agar pengasuhnya merahasiakan hal ini.
Tiba di Dalem Agung, Aria Wiralodra disambut oleh kedua saudaranya yang langsung menanyakan Nyi Endang. Dikisahkan oleh Aria Wiralodra bahwa Nyi Endang hilang di Tuk
Sungai Cimanuk dan minta kepada dua saudaranya agar hal ini dilaporkan kepada Ayahandanya di Bagelen.
Yang Gagal dan yang Berhasil Adipati Kuningan, Aria Kamuning (Suranggajaya) adalah putra Prabu Luragung (Jayaraksa) anak angkat Putri Ong Tin.
Dia mendapat tugas dari Sang Ayah Angkat Sunan Gunung Jati Syarif Hidayatullah untuk menjaga keamanan daerah perbatasan Caruban-Galuh.
Di daerah ini banyak pondok pesantren yang didirikan. Bentrok senjata sering terjadi di daerah ini, membuat Sang Adipati tidak sabar menunggu misi Nyi Mas Ratna Gandasari (Nyi Endang Darma) mencuri pusaka utama Galuh Nagari “Sarpa Kandaga”. Maka dengan menggunakan kuda bernama “Si Windu Aji”,Adipati memimpin 300 lasykar Kuningan masuk lebih jauh dan menggempur pertahanan Galuh Nagari di Gempol (Palimanan). Lasykar ini terjebak di tempat terbuka Tegal Sirawat,dimana Pasukan Galuh Nagari dari Palimanan dipimpin oleh Adipati Arya Kiban, yang mengendarai gajah bernama Si Liman Bango melabraknya (dalam cerita wayang kulit Cirebonan disebut “Palagan Tegal Sirawat”).
Lasykar Kuningan ditarik mundur dalam kejaran pasukan Galuh Nagari sampai ke “perbatasan”. Adipati Arya Kiban menghentikan pengejaran dan menarik mundur pasukannya.
Beruntung bagi Caruban, serangan balik lawan tidak dilanjutkan sampai ke pusat kota, bahkan
ditarik mundur Arya Kiban khawatir dengan berita bahwa di Caruban ada sejumlah 700 orang pasukan Demak yang bukan saja bersenjata api tetapi juga meriam. Dia tidak memperoleh info
bahwa pasukan Demak telah diberangkatkan menuju pusat kekuatan Angkatan Perang Pajajaran di Banten Girang.
Situasi “perbatasan” aman kembali, tetapi kejadian ini membuat Galuh Nagari percaya diri dan dengan semangat tinggi mempersiapkan perang.
Maka tugas Nyi Mas Ratna Gandasari (Nyi Endang Darma) dipercepat….
Sementara itu Nyi Endang Darma yang telah menggunakan kembali nama Nyi Mas Ratna Gandasari. Dari Bukit Marongge dengan naik kuda, dia menyusuri jalan hutan menuju
Caruban. Jauh di luar kota, dia mengambil jalan “Cimanuk-Caruban”, dan mulai memberi
tanda-tanda pada batu atau pohon, yang hanya dapat dibaca oleh Ki Tana dan Nini Tani. Maka
dengan mudah mereka bertemu di Panguragan.Di Desa ini Nyi Mas Ratna Gandasari bersama
Ki Tana dan Nini Tani dengan bantuan seorang wiku terkenal Ki Selapandan,menyelenggarakan Sayembara Pibu Mencari Jodoh.
Pesilat di Caruban Nagari yang mencoba turut serta. (nama-namanya tercatat dalam Babad Cirebon, seperti : Pangeran Rudamala, Dipati Rangkong, Jaka Supetak, Ki Demang Paluamba.
Jaka Pekik, Ki Jungjang. Ki Plered dll).Hanya ada seorang yang dapat menandinginya, yaitu seorang pendatang dari Negeri Siam.
Yang bernama Pangeran Remagelung atau lebih terkenal dengan nama Jaka Soka.
Dia adalah murid Sunan Gunung Jati Syarif Hidayatullah sejak setahun yang lalu, ketika
baru tiba di Caruban Nagari dan belajar ilmu Tauhid kepada Sunan.
Di bawah ini penuturan Dalang Macak atau Tukang Kanda, yang biasa diiringi gamelan terbatas atau hanya sebuah kecapi.Pupuh Burma :
Nulya medal sayagi ing yuda nira
Remagelung Gandasari
Sampan ayun-ayunan
Anggene angadu jaya
Prawantu sakalih sakti
Kawicaksanan
Pan sami angimbangi

Pertarungan itu dilaksanakan di atas panggung terbuka diawasi secara cermat oleh Ki Tana
daan Nini Tani Sementara itu di antara penonton ada seorang lagi pengwas gelap yang menyamar sebagai seorang petani, Aria Wiralodra, Sang Suami.
Setelah pilihanjatuh pada Jaka Soka, Nyi Mas Ratna Gandasari sengaja menerima tendangan
yang ditahanoleh kedua telapak tangan dan dengan sentakan kakinya yang kuat melompat
mundur sehingga jatuh di kerumunan penonton di luar arena. Ini berarti dia kalah dalam sayembara.
Pada saat yang sama, Ki Tana dan Nini Tani membuat keonaran, yang menghasilkan lolosnya Nyi Mas Ratna Gandasari hilang dari pandangan penonton, Sementara Jaka Soka yang mengetahui arah kemana lawannya meloloskan diri dan akan mengejar terhalang oleh dua orang “penonton” yang kelihatan bingung.
Pada jarak sekitar 100 depa, baru Jaka Soka terlepas dari penghalang dan mengejar lawannya. Akan tetpi ada seorang penonton lagi yang melesat lari melewati Jaka Soka dan menyusul Nyi Mas Ratna Gandasari. McngHnliui slapa yang lari di sampingnya, Nyi Mas Ratna Gandasai berseru, “Mas, aku ke guruku Sunan di Pakungwati!”
Mengetahui tujuannya, sang penonton melesat ke depan dan tiba di muka gerbang Agung
Pakungwati, kemudian duduk menyandar pada pohon laban di tepi jalan. Tidak lama kemudian tiba Nyi Mas Ratna Gandasari yang dikenali prajurit jaga dan langsung masuk.
Sedangkan Jaka Soka yang tidak berani masuk minta kepada prajurit jaga agar dilaporkan ada
murid Sunan yang bernama Jaka Soka ingin menghadap.
Di luar dugaan Sang Guru Syarif Hidayatullah sendiri yang keluar dan memanggil Jaka Soka
untuk masuk.Melihat semua ini, orang yang duduk menyandar di bawah pohon laban menghilang
tidak diketahui kemana perginya.
Sementara itu , jauh di luar kota Caruban, di panggung terbuka Panguragan, Wiku Ki
Selapandan mengumumkan Pangeran Remagelung alias Jaka Soka adalah pemenang sayembara. Sekalipun kalah, Nyi Mas Ratna Gandasari, atas usul penduduk diberi Gelar Nyi Mas Ratu Panguragan. Di Dalem Agung Pakungwati, di ruang pribadinya, Sunan Gunung Jati Syarif Hidayatullah, didampingi Nyi Mas Ratna Gandasari, berkata kepada Pangeran Remagelung: “Jaka Soka engkau telah terpilih oleh Nyi Mas Ratna untuk tugas Negara .
Sayembara yang engkau menangkan itu tadi,adalah caraku untuk mencari pria tangguh,yang akan mendampingi Nyi Mas Ratna dalam tugas mencuri ‘Sarpa Kandaga’ di Istana Sadomas Galuh Nagari. Engkau sudah tahu arti kehilangan Pusaka Utama Negara. Kita tidak usah malu menjadi pencuri, karena hal ini demi prajurit dan rakyat Galuh Nagari sendiri,sekecil mungkin korban yang jatuh dalam perang.”
Remagelung mengangguk, katanya: “Guru,sekarang hamba baru sadar mengapa tadi Nyi Mas Ratna Gandasari berbuat di mata penonton seperti benar-benar kalah. Hanya,menurut ketentuan sayembara yang diumumkan oleh Ki Selapandan di muka penonton yang demikian banyaknya, bahwa yang menang jadi suaminya. Lalu apakah hamba atau Nyi Mas Ratna Gandasari tidak
melanggar hukum janji dalam Islam?”“Jaka Soka,” jawab Sang Guru, “Pertama,ketentuan ini dibuat oleh Ki Wiku Selapandan yang bukan penganut Islam, jadi tidak berlaku bagi kita . Kedua ketentuan di Perguruanku seorang murid laki-laki yang tingkatannya < i i
bawah murid wanita tidak boleh menikahinya.”
“Guru, hamba minta maaf karena tidak mengetahui bahwa Nyi Mas Ratna Gandasari adalah kakak seperguruan hamba, sebab sejak hamba tiba di Caruban dan menjadi murid Guru, Nyi Mas Ratna Gandasari tidak ada,” kata Jaka Soka.
“Benar,” sahut Sang Guru “dia dapat tugas ke Praja Cimanuk. Sekarang begini. Pertama, hasil
sayembara dibatalkan . Kedua bicaralah dengan Nyi Ratna, cara bagaimana melaksanakan tugas.
Apakah engkau bersedia?”
“Guru,” sahut Jaka Soka, “sesudah menjadi jelas masalahnya, maka hamba merasa mendapat kehormatan besar, dipercaya sebagai pendamping Nyi Mas Ratna Gandasari untuk Negara.”
Kemudian Sang Guru bertanya pada Nyi Ratna,
“Mana Ki Tana dan Nini Tani? Suruh masuk!”Nyi Mas Ratna Gandasari yang yakin Ki Tana
dan Nini Tani sudah tiba menjawab cepat, ”
Ada di luar pintu gerbang Guru.” Sementara itu prajurit telah memanggilnya.
Tiba di hadapan Sunan, mereka menyembah lalu duduk. Berkata Ki Tana: “Gusti, hamba
berdua menghadap dan menghaturkan sembah bhakti.”
“Aku terima,” kata Sang Sunan, “begini Tana dan engkau Tani. Ini Pangeran Remagelung,
boleh engkau sebut Pangeran Jaka Soka,adalah muridku yang akan ikut dalam tugas Gustimu Nyi Ratna. Jaga murid-muridku dalam melaksanakan tugas Nagara.”
Setelah menyembah, Ki Tana menjawab:” Titah Gusti akan hamba berdua laksanakan.”
Kemudian mereka minta diri dan dengan mengendarai kuda-kuda milik Istana, berpacu
menuju Praja Cimanuk.
Lontar Babad Darma Ayu (Abad XV M ) menulis dalam bentuk macapat Pupuh Kinanti, sebagai
berikut:
Ana Sayembara besuk Ratna Gandasari Putri
Pinilih Pamanggul Yuda Anggempur Sang Galuh
Nagari Babare ing Palimanan Aja den catuma neki

Memasuki Sarang Naga
Nyi Mas Ratna Gandasari beserta Ki Tana, Nini Tani dan Jaka Soka, tiba di Praja Cimanuk,
“disambut” oleh banyak bendera Nagara yang berwarna Hijau/Kuning dan tulisan “Selamat
Datang di Darma Ayu Nagari” dipasang di mana-mana.
Tulisan inilah yang membuat Nyi Endang Darma terharu, karena pelestarian namanya menjadi
nama Nagari. Sang Adipati telah mengganti dari Praja Cimanuk menjadi “Darma Ayu”
Nagari, singkatan dari Nyi Endang Darma Yang Ayu. Penggantian nama ini dilakukan sejak
pernikahan mereka di Pegaden (1525 M).Hanya selang dua minggu Nyi Endang melepas
rindu dengan suaminya, kemudian dia kembali lagi kerja keras menyusun rencana kerja tugas.
Bersama sang suami Aria Wiralodra, Nyi Endang Darma membentuk pasukan khusus yang pimpinannya diserahkan kepada Jaka Soka.
Pasukan ini terdiri dari para pendekar wisudawan persilatan Nyi Endang Darma yang dilatih sebagai Prajurit Kadipaten Darma Ayu,sejumlah 24 orang.
Ketika saat yang telah diperhitungkan tiba,maka dari Kadipaten Darma Ayu Nyi Endang
Darma yang mengendarai kuda Bima dikawal oleh Ki Tana dan Nini Tani bersama Jaka Soka
beserta 24 prajurit khususnya yang berjalan kaki menuju Galuh Nagari.
Di desa Jagasatru. Leuwikujang, pasukan kecil ini sudah dicegat prajurit Galuh Nagari. Namun
karena mengibarkan bendera Hijau/Kuning yang mereka tahu dari Kadipaten Praja Cimanuk, maka pawang-jalan memandunya sampai batas ibu kota Sadomas. Dari pos jaga Pasirtenjo, kedatangan pasukan kecil yang dipimpin oleh seorang wanita ini telah diketahui dan disambut oleh Pasukan Kawal Istana Galuh Nagari.


Nyi Endang Darma yang menyatakan jatidirinya sebagai Permaisuri Prabu Indrawijaya dari Kadipaten Cimanuk, ingin menghadap Hyang Prabu Cakraningrat; diizinkan hanya bersama
pengasuh dan embannya saja, yaitu Ki Tana dan Nini Tani, masuk ke Dalem Agung .
Sedangkan pasukan pimpinan Jaka Soka ditempatkan di Paseban.
Di hadapan Sang Prabu, Nyi Endang Darma menyembah, kemudian berkata: “Gusti, hamba
istri Indrawijaya dari Kadipaten Praja Cimanuk menghaturkan sembah bakti!”
Jawab Sang Prabu singkat, “B age a Nyai,duduklah!”Setelah duduk, karena khawatir ditanya hal
yang sulit dijawab, maka Nyi Endang Darma segera berkata, “Gusti, suamiku Indrawijaya terpaksa tidak dapat menghadap , karena khawatir rencananya diketahui mata-mata dari Caruban. Maka Praja Cimanuk seolah-olah tidak akan membantu Galuh.
“Yang kami khawatirkan adalah Pasukan Demak yang bersenjata api, sekarang ada di Caruban dalam jumlah yang sangat besar.Mereka akan membalas Galuh atas kekalahan Caruban di Palagan Tegal Sirawat. Orang -orang kami telah disebar di Caruban Nagari untuk mengetahui kapan serangan mereka akan dimulai.
“Suami hamba, melalui hamba, mohon disampaikan kepada Hyang Prabu, katanya:
‘Lasykar Praja Cimanuk akan melakukan penyerangan dari belakang mereka, apabila mereka berhasil mendekati Sadomas.’”
Setelah memberikan laporan, Nyi Endang Darma ; tunduk dan diam.
Segera berkata Sang Prabu dengan gembira :“Nyai,garwa Aria Indrawijaya Adipati Praja Cimanuk,aku sangat senang. Nanti selepas matahari terbenam Nyai diundang ke Ruang Jamuan
untuk menghadiri pesta jamuan makan bersama para menteriku. Kita nanti bicara lagi di sana. Sekarang istirihatlah di Wisma Dalem bersama emban dan pengasuhmu!”
Selagi diantar pelayan ke wisma, tiga pasang mata menjelajahi tata ruang istana ….
Dalam ruang jamuan yang besar, dengan sangat gembira Hyang Prabu Cakraningrat beserta
permaisuri dan sejumlah pengagung Nagari menjamu Garwa Dalem Aria Indrawijaya,Adipati Praja Cimanuk.Pesta ini diakhiri dengan minum tuak, yang walaupun permaisuri ikut minum, tetapi Nyi Endang Darma secara halus, menolaknya, dan diterima dengan baik.
Tengah malam permaisuri yang sudah goyah mengajak Nyi Endang masuk kamar peraduannya, dimana tersedia beberapa tempat tidur. Kemudian permaisuri minta agar Nyi Endang bersedia menempati salah satu tempat tidur yang ada.
Sementara Sang Permaisuri sudah pulas, Nyi Endang Darma telah mengetahui letak “Sarpa
Kandaga” dipajang. o Melalui pintu kamar peraduan Sang Prabu, yang sengaja dibuka
lebar oleh para penjaga, karena Sang Prabu,(yang kamar peraduannya berhadapan dengan
kamar peraduan Sang permaisuri) segera masuk sambil dipayang penjaga karena terlalu
banyak minum. Tidak berapa lama kemudian seluruh penjaga keluar karena Sang Prabu
sudah tertidur.
Saat itulah Sarpa Kandaga dilarikan Nyi Endang Darma.Pasukan Kawal Sang Prabu baru sadar ketika Jaka Soka dengan pasukan khususnya menerobos ke dalam.
Sambil mundur Nyi Endang Darma bersama Jaka Soka bertempur melawan pasukan elite yang paling handal di Galuh Nagari, yang terkenal dengan sebutan Prajurit Domas.
Sementara itu Ki Tana dan Nini Tani bersama lasykar Jaka Soka membuka jalan ke luar istana dengan mendobrak pintu-pintu,melumpuhkan Pasukan Jagabaya serta memadamkan obor-obor penerangan.Kemudian menjebol pintu gerbang. Menculik seorang penjaga, lalu mereka seluruhnya lenyap ditelan kegelapan malam.
Di tempat yang jauh dari Sadomas, dimana ada empat ekor kuda ditambat, rombongan berhenti dan Nyi Endang Darma memeriksa jatidiri tawanannya, lalu berkata nyaring:
“Sarma, supaya kamu melapor pada atasanmu,agar disampaikan kepada Rajamu, bahwa aku
yang menyamar sebagai Garwa Aria Indrawijaya dari Cimanuk adalah Gandasari, murid Sunan
Gunung Jati Syarif Hidayatullah dari Caruban,musuh Galuh Nagari. Lakukan! kalau tidak,nanti engkau akan kucari dan kubunuh.”
Maka Sarmapun segera pergi dengan berlari.Kemudian Nyi Endang bersama ketiga orang pengikutnya naik ke punggung kudanya masing-masing dan kabur menuju Caruban tanpa berhenti. Ketika fajar menyingsing mereka telah tiba di gerbang Dalem Agung Pakungwati.
Saat itu juga prajurit-prajurit jaga mempersilahkan mereka masuk karena mereka telah dipesan oleh Gusti Sunan untuk membangunkannya bila Nyi Mas Ratna Gandasari tiba pada malam hari.
Maka setelah Sarpa Kandaga diserahkan kepada Sang Guru, Nyi Mas Ratna Gandasari bersama kedua penga-suhnya minta izin untuk segera, saat itu juga, kembali ke Cimanuk.
Sedang perincian laporan akan disampaikan oleh Jaka Soka Keluar dari Dalem Agung dan menukar kuda,Nyi Endang Darma bersama Ki Tana dan Nini Tani, berpacu menuju Cimanuk.
Tidak terlalu lama setelah mereka tiba di Darma Ayu Nagari, datang pula 24 orang anggota pasukan khususnya dari Galuh Nagari. Mereka diperintah Nyi Endang Darma agar terus
berlatih karena dalam beberapa minggu lagi,akan mendapat tugas berat, bersama Pasukan
Caruban menyerang Galuh Nagari. 

Galuh Nagari Jatuh Pada pertengahan 1527 M pertempuran Caruban melawan Galuh (Palagan Tegal Sirawat) dimenangkan Galuh. Namun demikian Galuh Nagari memindahkan pertahanannya ke gunung Girinata (Palimanan) yang di depannya terbentang lembah terbuka. Sang Prabu Cakraningrat sebagai Manggala Yuda,memimpin dari atas bukit tersebut. Di puncaknya berkibar bendera Galuh Nagari yang berwarna putih dengan gambar naga berwama biru.
Setelah mendengar info bahwa Caruban sudah siap-siap untuk bergerak, pertahanan Girinata
telah siaga. Di kaki bukit, barisan tombak dan pedang dan di atasnya para pemanah yang berjumlah sangat besar, siap tempur.
Senapati perang Arya Kiban naik gajah besar yang bernama Si Liman Bango dilindungi di sebelah kiri, kanan dan belakangnya oleh prajurit-prajurit unggulan Palimanan. Tetapi keangkeran Sang Senapati tidak tampak,bahkan cenderung muram . Hilangnya Sarpa Kandaga membuat para prajurit kehilangan semangat, bahkan milisi rakyat untuk gelar perang “Gelatik Mabur” tidak memenuhi syarat dalam jumlah.
Namun demikian ketika bendera “Naga Biru”di atas bukit Girinata digoyang-goyang,kecemasan menghilang, semangat prajurit “Bela Negara” timbul. Baik yang di kaki bukit,tebing sampai puncak telah siaga pada posisinya.
Keadaan menjadi tegang ketika musuh semakin mendekat, tetapi aba-aba perang dari puncak
bukit belum ada. Menurut perhitungan ahli pariah (yang memegang tiang bendera) masih
terlalu jauh dari jangkauan anak panah.Tiba-tiba barisan musuh berhenti dan membentuk deretan ke kiri dan ke kanan secara lurus. Mereka adalah pasukan bersenjata api. Kemudian maju ke depan, dua buah meriam ditarik masing-masing seekor kerbau. Setelah kerbau dilepas dan dihalau ke belakang, meriam diputar dengan sasaran tembak yang berbeda. Kejadian ini berlangsung secara cepat, karena dilakukan oleh prajurit-prajurit terampil … bantuan dari
Demak, sebanyak lebih dari 500 orang.
Pasukan gabungan Caruban dan Demak ini dipimpin oleh Senapati Perang senior Pangeran Walangsungsang dibantu oleh Pamanggul Yuda Adipati Kuningan Arya Kamuning (Pangeran Suranggajaya).
Ketika pasukan gabungan Caruban-Demak bergerak maju sekitar 20 depa, genderang di atas Bukit Girinata terdengar jelas dan bendera Naga Biru digoyang ke kiri dan ke kanan.
Maka sejumlah anak panah melesat sebagai percobaan, tetapi jatuhnya masih jauh dari sasaran.
Sebaliknya di pihak musuh, mereka sudah membuat posisinya seperti 20 depa ke belakang. Kemudian bendera merah diangkat dan meriam menyal \*. dengan dua arah peluru yang berbeda yang ledakannya seperti dua petir dipadu. Bendera Naga Biru di atas buMt, hilang dan gajah Si Liman Bango tertembak kemudian kabur ….
Manggala Yuda dan Senapati Perang Galuh Nagari, dalam keadaan yang sangat gawat secara bersamaan, tidak bisa menjalankan tugas. Keadaan sangat kritis. Maka atas prakarsa sendiri prajurit-prajurit yang bersenjata tombak dan yang bersenjata pedang, mereka menyerbu maju untuk perang jarak pendek, satu lawan satu.
Diawali Pasukan Domas, kemudian Pasukan unggulan Palimanan, pasukan maju ke arah musuh. Hanya saja sebagian besar pasukan tewas di tengah jalan, kena tembak senjata api, atau tiba di barisan musuh dalam keadaan luka tembak.
Sementara itu dua meriam terus menyalak,me-nimbulkan kebakaran di lereng bukit Girinata.
Dalam keadaan yang gawat itu tiba-tiba saja ada seorang petani tua berlari seperti Dewa
Angin menerobos menuju meriam prajurit Demak. Dia merobohkan lima orang yang menghalang-halanginya, sambil tak henti-hentinya berujar: “Pembantaian-pembantaian…!”
Begitu tiba di lokasi meriam, dengan cepat dia gulingkan meriam tersebut, dan roda-roda penyangganya dilempar jauh-jauh ke depan,sehingga tidak bisa dioperasikan.
Seperti ketika datang laksana Dewa Angin,demikian pula kembalinya. Belum hilang kekaguman para prajurit Demak atas tenaga raksasa petani tua tersebut, tiba -tiba dia sudah terlihat di lereng Girinata mendaki dengan melompati tebing-tebing dan sampai di puncaknya. Kemudian semua orang melihat ada aba-aba bendera yang diputar mendatar
kemudian menunjuk ke Celah Timur.
“Petani Tua” yang dikenali Sang Prabu Cakraningrat, tampak mengadakan
pembicaraan singkat, kemudian seorang diri turun ke bawah, jauh ke depan dan menutup jalan masuk dengan cara meruntuhkan tebing,seperti terjadi tanah longsor. Kemudian Pasukan Galuh Nagari menuju Kadipaten Talaga untuk menyusun kekuatan baru.
Dalam wayang golek cepak Cirebon, tidak akan dilupakan kata-kata terakhir Hyang Prabu
Cakraningrat sebelum meninggalkan puncak Girinata di pegunungan Kromong.
Sing sapa karep maring dunya oletana ning Gunung Kromong. Nanging ora kanggo Wong
Caruban, ingsun ora idin….
Sementara pasukan gabungan Caruban/Demak terhambat, di ibu kota Sadomas terjadi kepanikan masal. Ada seorang petani tua sambil lari menuju Istana Sadomas memberi tahu bahwa Pasukan Galuh kalah dan dalam waktu setengah hari pasukan musuh akan sampai ke Ibu Kota.
Karena jembatan gantung ke Istana telah putus, maka si petani menyeberangi sungai yang airnya deras itu, dengan cara melompat pada batu-batu yang mencuat di atas air.
Setibanya di seberang dia menghilang ke balik tembok kuta Istana.Istana Galuh Nagari diapit dua sungai yang bermuara satu sama lain yang sulit diseberangi (sungai-sungai Ciwaringin dan Ciputri).
Si petani tua, menerobos ke dalam Istana dengan tidak ada yang memperdulikan karena kepanikan masing-masing sibuk dengan urusannya sendiri. Berbicara singkat dengan permaisuri kemudian keluar Istana menunggu di jembatan rahasia untuk melintasi sungai.
Tidak berapa lama 20 orang kuat melewati jembatan dengan memanggul peti kayu atau keranjang rotan. Di belakang rombongan,permaisuri ditandu dua orang kuat melintas jembatan dengan cepat dan melambai pada si petani.

Selamat di seberang, lalu jembatan dihancurkan si petani, dan dia kemudian menghilang. Tidak berapa lama, tiba Pasukan Khusus Nyi Mas Ratna Gandasari yang hampir bersamaan dengan Pamanggul Yuda Arya Kamuning. Kemudian terjadi percakapan yang lebih merupakan teguran dari Sang Pamanggul Yuda. Arya Kamuning tahu kemampuan Nyi Mas Ratna Gandasari. Dia memerlukannya untuk mengejar si Petani Tua di Girinata, maka katanya: “Nyai, sejak kapan engkau bersama kami, baru sekarang aku melihatmu?”
“Sejak di lembah Girinata,” jawab Nyi Mas Ratna Gandasari tenang, “saat tembakan meriam yang pertama, ketika itu gajah Aria Kiban terluka dan kabur, aku mengejarnya,jauh sampai ke Gunung Sanghyang. Yang aku temui hanya gajahnya saja yang sudah mati.
Lalu aku kembali bergabung.”
“Sudahlah;” kata Sang Pamanggul Yuda“sekarang engkau bersama pasukanmu,menyeberang sungai dengan membawa ujung tali panjang ini. Pada ujung tali yang lain aku ikatkan tali yang cukup besar. Bila sudah tiba di seberang, tariklah sampai ujung tali yang lebih besar di tanganmu dan ikatkan yang kuat pada apa saja. Pasukanku akan menyeberang dengan berpegangan pada tali tersebut.” Nyi Mas Ratna Gandasari cepat mengambil ujung tali itu dan diikuti oleh pasukannya menyeberang sungai seperti yang dilakukan si petani.Terheran-heran Sang Pamanggul Yuda melihat seluruh pengikut Nyi Mas Ratna Gandasari mampu melakukan itu.
Hanya dalam waktu pendek, sudah terbentang tali tambang melintang.sungai.
Sementara menunggu Pasukan Arya Kemuning tiba, Nyi Mas Ratna Gandasari dalam sekilas
dapat melihat bahwa Istana sudah kosong dari penghuni, yang berarti tidak ada lagi benda
berharga yang tertinggal.Dia merenung dan hatinya berkata: “Si Petani Tua yang luarbiasa. tugasku telah diambil alih pada saat yang tepat. Kalau tidak cara bagaimana aku bertindak dengan Arya Kamuning di dekatku?”
Tidak berapa lama, Pamanggul Yuda Arya Kamuning beserta pasukannya tiba dan langsung memasuki Istana dan keluar dengan marah-marah, katanya: “Akan aku selidiki,siapa saja yang memihak musuh.”Tentu saja seruan itu ditujukan kepada Pihak Nyi Mas Ratna Gandasari. Dengan tidak peduli pada sindirannya, Nyi Mas Ratna Gandasari berjalan menuju tepi sungai dan memanjat menara pengawas istana. Dari atas menara dengan sangat jelas Nyi Mas Ratna Gandasari menyaksikan peristiwa bersejarah yang belum
pernah dia lihat: Kota yang sedang dijarah,harta benda rakyat yang dirampas danjerit tangis gadis-gadis yang ditangkapi, sambil menutup mata
dia berkata sendiri. ‘Suamiku benar dan pasukanku dilarangnya ikut menjarah.’ Tidak sampai hati rae-nyaksikan peristiwa ini, dia turun dan bersama pasukannya mohon diri kepada Sang Pamanggul Yuda .
Almarhum P.S. Sulendraningrat dari Keprabon dalam bukunya Babad Cirebon terbitan tahun
1984 menulis sebagai berikut:
Ki Kuwu segera membagikan sebagai pemberian ganjaran kepada seluruh Wadyabala Caruban dan Wadyabala Demak, emas picis dunya berhala, kerbau sapi sudah dibagikan semua, segera seluruh para putri dan janda kembang berikut para perawannya yang dibagikan kepada para Pinangeran dan para Gegedeng. Selesailah sudah Ki Kuwu memberi ganjaran kepada seluruh Wadyabala yang turut berperang.
Demikianlah hukum perang. Peristiwa ini telah berlalu, tetapi ada seorang pelaku sejarahnya
yang tidak dilupakan masyarakat Caruban sampai lima abad kemudian, yang dipertunjukan dalam bentuk kesenian rakyat seperti sendra tari, sandiwara, wayang kulit purwa dan wayang golek cepak.
Dia adalah: Nyi Mas Ratna Gandasari atau Nyi Endang Darma, Garwa Aria Indarwijaya atau
Aria Wiralodra, Adipati Darma Ayu Nagari.
Istri, Nyi Endang Darma dalam melaksanakan tugas dari Sang Guru Sunan Gunung Jati Syarif
Hidayatullah.
Diawali dengan “Sarpa Kandaga” dan diakhiri kemenangan Caruban atas Galuh Nagari dengan korban tewas yang kecil. Maka pada malam pesta itu, Sang Suami memberi gelar:
Nyi Mas Ratna Gumilang , dan dari hadirin : Ratu Saketi Hutama. Sementara itu, saat Sang Ratu
akan bicara bahwa sesungguhnya peran suami tercintalah yang punya andil terbesar, Sang Prabu dapat mencegahnya sehingga tidak sampai terucapkan.
Lontar Babad Darma Ayu (Abad XV M) menulis dalam Pupuh Kinanti sebagai berikut:
Nyi Endang Darma Pinunjul Putri Nata
Anggayasti Ingkang sanes malih asma Ratna
Gumilang kekasih Ratu Saketi Hutama Nyi Mas
Ratna Gandasari

Pesta belum lagi usai, tiba-tiba Aria Wiralodra berdiri. Sebagai seorang yang mumpuni,firasatnya menangkap adanya sesuatu yang tidak beres di bagian timur wilayah nagarinya.
Ki Tinggil cepat menghampiri, lalu berbisik kepadanya, kemudian bergeras keluar Dalem Agung dan menghilang.
Semua hadirin termasuk Nyi Mas Ratna Gumilang memandang Ki Tinggil yang akan memberi penjelasan. Belum sepatah kata terucap, tiba-tiba datang seseorang yang memakai busana pendekar, diantar prajurit jaga, yang langsung berkata dengan menghadap Nyi Mas Ratu Saketi Hutama:
“Maaf Gusti Ratu, hamba memaksa prajurit jaga masuk, karena berita yang sangat penting.
Hamba diutus wiku Ki Selapandan dari Panguragan untuk memberi tahu Gusti Ratu, bahwa pasukan bersenjata api dan meriam Caruban pimpinan Adipati Kuningan Arya Kamuning sedang bergerak kemari.
Setelah si pelapor diuji kebenarannya dan diantar keluar oleh prajurit jaga, Nyi Mas Ratna Gumilang berkata pada Ki Tinggil:
“Paman, atur prajurit di sebelah timur sungai,bawalah pasukan pendekarku, aku akan mendampingi suamiku!”
Sementara bicara , kakinya sudah melangkah ke luar Dalem Agung, kemudian berlari kilat
seperti terbangnya burung sikatan. Tanpa disuruh, sepasang pendekar Ki Tana dan Nini
Tani membuntuti Sang Burung Sikatan Di bawah ini kutipan, satu bait dari Serat Babad Dermayu (Pupuh Durma) bukti kebenaran firasat Aria Wiralodra.
Sareng dugi ing wates wetan nag ora Kaget ana mariyem muni Suralc mangambal – ambal Awor suara ning bedil Mapan Raden amarani Dateng barisan Barise wong mangun Jurit Aria Wiralodra yang masih berbusana resmi Adipati, berdiri menghadang barisan yang sedang maju, sehingga membuat kepala prajurit pelopor marah. Dengan tombaknya coba mengusir Aria Wiralodra, tetapi kena dirampas dan dipatahkan. Kejadian ini membuat barisan terhenti Segera datang seorang perwira yang bernama Dipasara dengan busana pasukan Caruban tetapi masih berikat kepala berlambang prajurit Domas. “Si pembelot dari Galuh Nagari,” gumam Aria Wiralodra. Setelah jelas bagi Sang Perwira, bahwa dia berhadapan dengan Aria Wiralodra, orang yang dicari gustinya, maka dimintanya Sang Wira menghadap Arya Kamuning yang sudah berada di Kemah Agung Dua prajurit kawal menyertainya, sementara Sang Perwira mendahului untuk melapor pada
Gustinya. Selesai mengatur Kemah Agung dimana Arya Kamuning duduk di antara empat prajurit bersenjata api, kemudian SangTamu dipersilahkan masuk dan duduk.
Sejak melihat tamunya, Arya Kamuning sudah tidak dapat menahan geramnya, katanya:
“Katambetan, aku Adipati Kuningan, Arya Kamuning, Pamanggul Yuda Caruban Nagari,apakah benar engkau yang bernama Aria Wiralodra?”
Yang ditanya menjawab hormat: “Ya benar,aku!”
“Dengarlah!” sambung Aria Kamuning, “Engkau membuat kesalahan besar. Pertama. Engkau
telah membangun Nagari di wilayah Caruban tanpa izin.
“Kedua. Engkau telah menyatakan kepada Gandasari, murid ayahku Sultan, tidak memihak Galuh, mengapa tidak membantu kami dari Caruban“Ketiga. Engkau jelas-jelas membantu Galuh di Palagan Lembah Girinata.
“Keempat. Engkau mencuri benda-benda berharga Istana Galuh Nagari yang merupakan benda jarahan milik Caruban.
“Maka menurut hukum perang, aku Pamanggul Yuda Caruban bertindak sebagai hakim menjatuhkan hukuman mati yang akan dilakukan sekarang juga!”
Melihat empat prajurit sudah mengangkat senjata, Sang Wira akan membuat Arya Kamuning jadi tameng. Tetapi batal karena pendengarannya yang tajam menangkap suara yang ringan, langkah tiga manusia dan mengenal siapa mereka. Maka katanya: “Aku mendengar bahwa Sultan Caruban, Sunan Gunung Jati Syarif Hidayatullah seorang yang arif dan bijak dalam mengadili perkara.
Apakah seorang yang didakwa tidak boleh menjawab untuk membela diri atau bahkan membela
kebenaran?”
Mendengar jawaban terdakwa, yang disaksikan banyak orang, Arya Kamuning khawatir dituduh
orang di kemudian hari, sebagai seorang yang tidak menjunjung tata-tertib pengadilan. Ia menjawab, “Baik, aku memberi kesempatan padamu untuk menjawab tuduhan, meskipun itu sudah jelas.”
Aria Wiralodra berdiri, kemudian katanya:
“Pertama, aku membangun Praja Cimanuk atas ijin yang berhakyaitu Galuh Nagari. Caruban
juga membangun Nagari atas ijin Galuh Nagari dan bertahun-tahun mengirim upeti kepada
Galuh Nagari.
“Kedua, aku membantu Gandasari atas keinginan Sunan, gurunya, yang menghendaki kemenangan di pihak Caruban dengan korban manusia yang sekecil-kecilnya. Maka aku tidak
bisa membiarkan pembantaian besar-besaran pasukan yang sudah tidak berdaya karena kalah persenjataan, kemudian Caruban meraih kemenangan atas Galuh Nagari dengan korban perang yang kecil.
“Ketiga, pembantaian manusia besar-besaran tidak di-kehendaki oleh Sunan , guru Gandasari. Jadi aku membantu pengunduran demi memperkecil korban yang jatuh.
“Keempat, Tidak benar aku mencuri benda jarahan milik Caruban. Tidak satu barangpun aku mengambil dari Galuh Nagari. Maka tuduhannya tidak terbukti .”
Arya Kamuning bertindak nekad, perintahnya kepada prajurit: ‘ Tembak!”
Tetapi baru saja dua prajurit sebelah kanan dan dua prajurit sebelah kiri Arya Kamuning mengangkat senjata, secepat itu pula senjata telah dirampas sepasang pendekar Pajajaran,
Ki Tana dan Nini Tani.
Arya Kamuning yang menduga Aria Wiralodra sudah terluka tembak, menerjang ke depan
bersenjatakan pedang-suduk. Tangkisan tangan kiri Aria Wiralodra, bukan hanya menjatuhkan pedang, tetapi dilanjutkan menerjang rahang. Sementara tangan kanannya mendarat di perut dan kakinya menyapu dua kaki lawan. Maka tidak ampun lagi Arya Kamuning jatuh tertelungkup.
Dipasara yang akan membantu Arya Kamuning,didahului Nyi Mas Ratna Gandasari, yang
menendang perutnya dari samping Dipasara jatuh terguling tanpa bisa segera bangkit.
Ketika Arya Kamuning memberi aba-aba agar semua prajurit masuk, Nyi Mas Ratna
Gandasari berseru dengan sangat nyaring:
“Para prajurit dengarlah! Aku Gandasari murid Gusti Sunan Gunung Jati. Untuk menyelamatkan nyawa Aria Kamuning putra Sunan, jangan ada yang berani masuk.” Aba-aba tersebut ternyata ditaati.
Dalam keadaan terluka Arya Kamuning masih berhasil memberi perintah kepada Dipasara yang sudah dapat menguasai diri. Dia keluar dari tenda secara diam -diam dan semua prajurit menjauhi tenda kemudian sunyi. Aba-aba yang dilakukan Arya Kamuning adalah tanda untuk terus menyerbu Praja Cimanuk.
Ketika hal ini disadari Nyi Mas Ratna Gandasari, Ki Tana dan Nini Tani yang akan mengejarnya, dia ditahan Aria Wiralodra,katanya: “Biarkan sampai menyeberangi sungai Kali Kamal (yang tidak dalam dan lebarnya hanya sekitar delapan depa).”
Ki Tana keluar ingin melihat apa yang terjadi.Inilah suatu pemandangan seperti anak-anak
main ular-ularan.
Setelah pasukan terdepan menyeberang,kemudian memutar dan menyeberang balik menuju Caruban ….
Dalam Kemah Agung, Nyi Mas Ratna Gumilang minta agar suaminya membebaskan Arya
Kamuning. Arya Wiraloda bukan saja setuju,tetapi bahkan membantu penyembuhan “luka
dalam” nya.
Setelah menyampaikan terima kasih Nyi Mas keluar kemah, menaiki Kuda Si Windu Aji yang
ditambat di muka kemah dan kabur ke arah Cimanuk. Seketika Nyi Mas Ratna Gumilang tampak kecewa dan menengok suaminya, dia tenang-tenang saja.
Tiba-tiba Arya Kamuning terlihat memacu kudanya balik ke arah Caruban.
Setelah Ki Tana menceritakan apa yang telah dilihatnya tadi, maka ketiganya tertawa lebar.
Kemudian Aria Wiralodra berkata: “Mereka baru akan sadar di muka Gerbang Dalem Agung Pakungwati yang dikiranya Istana Diajeng Ratna Gumilang.”
Dalam bukunya terbitan 1984, mengenal peristiwa ini, Almarhum P.S. Sulendraningrat
dari Keprabon Cirebon menulis:
Segera Sang Prabu sendirian (maksudnya Aria Wiralodra.Pen) bertolak menuju kali/sungai Kamal memasang jimat oyod Mingmang.
Di halaman lain:
Orang Kuningan pada bingung, putar-putar balik lagi di tempat semula, lalu Jeng Pangeran datang (maksudnya Arya Kamuning.Pen). Barisan Kuningan lekas dipanggil siap untuk terus maju jalan menuju Praja Indramayu, Wadyabala Kuningan mematuhi.
Jeng Pangeran sudah merasa telah datang dialun-alun Indramayu. Berkat wataknya jimat oyod Mingmang mereka tidak datang di alun-alun Indramayu, akan tetapi sebetulnya mereka telah datang dialun-alun Cirebon,karenanya Jeng Pangeran Kuningan jadi terheran-heran lalu masuk kedalam Keraton Pakungwati.
Serat Babad Dermayu menulis peristiwa pertempuran Kali Kamal I ( dari 24 ) bait Pupuh Durma sebagai berikut:
Pan den dupak Kamuning tiba kalumah
Sinepak ngqjumpalGc
Mrangkang ngungsi barisan Anulya narik curiga
Pan mqjeng ing rana malih Prang lan bedama
Kamuning muntah getih Sedarigkan 

Lontar Babad Darma Ayu ( abad XVM ) menulis sebagai berikut:
Saksana ana duratmaka mangparad Kaki Aria
Kamuning Senapati ing Alaga Pakungwati kang
Nagara Dipasara Apepati
Seja mangparad Darma Ayu Nagari mukti KaJci
Indrawijaya pan asung winara Irikata ing Kali
Kamal Pinasang mingmang wenang Lata
maosandi jimat Kalci Aria Kamuning linglung polahnya

Setelah selesai mengatasi “peristiwa Kali Kamal”, Aria Wiralodra berkata pada Sang Ratu: “Diajeng Ratna Gumilang, engkau pulanglah dahulu ke Darma Ayu bersama Ki Tana dan Nini Tani, aku mau bertemu pada gurumu Sunan. Aku khawatir Arya Kamuning membuat laporan yang tidak-tidak ….
Tiba di Dalem Agung Pakungwati, Aria Wiralodra menyampaikan semua apa yang terjadi di Kali Kamal.
Sang Sultan Caruban mengeluh: “Kamuning tidak pernah menjadi dewasa, aku akan memberi peringatan keras.”
Kemudian pembicaraan menjadi lebih santai,berkata Sang Sultan Caruban: “Wira, setelah Galuh Nagari jatuh, sebenarnya aku memerlukan pikiran dan tenaga Nyi Gandasari,untuk menyelesaikan Talaga. Tetapi adalah hal yang tidak pantas setelah menjadi garwamu,maka sejak saat ini dia kubebaskan agar bisa lebih banyak membantu engkau dalam pembangunan nagari, terutama dalam pengembangan Islam.
Setelah Aria Wiralodra menyampaikan terima kasih dan berjanji akan mengembangkan Islam
di wilayahnya, Sang Sultan menyambung pembicaraannya: “Wira, tugas apa sekarang yang engkau terima dari Demak?”
Aria Wiralodra menjawab singkat: “Sinuhun Sultan Trenggono memerintahkan hamba, memperluas dermaga Cimanuk untuk Pangkalan Angkatan Laut kita .”
Hukum Islam Sejak Awal Ketika Aria Wiralodra pada 1510 M dilantik menjadi Adipati Praja Cimanuk oleh“Gubernur” Pajajaran Sang Prabu Cakraningrat di Galuh Nagari, maka seluruh pejabat pemerintahannya di Praja Cimanuk beragama Islam, kecuali seorang (untuk jabatan Patih) yang ditunjuk langsung oleh Sang Prabu Cakraningrat sendiri. Karena jabatan Patih adalah kunci pemerintahan, maka sejak awal Sang Adipati, menunggu waktu dan cara yang tepat untuk memin-dahkannya dari jabatan tersebut. Pejabat itu bernama Aria Danujaya.
Setelah enam bulan Aria Wiralodra memperhatikan sifat dan tingkah lakunya,diketahui Aria Danujaya adalah seorang flamboyan yang selalu saja kekurangan uang karena hidupnya ingin selalu senang. Maka ketika Sang Adipati menawarkan jabatan juru labuhan (syahbandar) dan melepas jabatan Patih, tanpa dipikir dua kali langsung dia menerimanya, (secara nilai uang,syahbandar berpenghasilan jauh lebih besar dari patih).Aria Danujaya bahkan mohon kepada Sang Adipati berulang-ulang agar hal tersebut dirahasiakan kepada Hyang Prabu
Cakraningrat.
Pada 1513 M kapal ekspedisi Bangsa Portugis dengan tujuan Pulau Jawa, singgah di Ciamo
(Cimanuk). Seorang penumpangnya yang bernama Tome Pires, menulis dalam buku perjalanannya sebagai berikut:
Seka’ lipun penduduk di sini kebanyakannya muslim, tetapi yang menjadi syahbandarnya adalah orang Kafir, inilah yang dia tulis:
Many moors live here, the Captain of this port is a heathen, is belongs to the Kingdom of
Sunda, the end of the Kingdom is here.
Di bawah ini kutipan satu bait dalam serat Babad Dermayu (Macapat Pupuh Durma)mengenai Hukum Islam, yang diberlakukan sejak masih bernama Dukuh Cimanuk:
Kinasian ing Sultan Nagari Demak darnel Karaton mangkin
pan Raja pribadiya sinapu ukumannya
durjana pandung puniki mendet sing Qur’ an
ngangge pan ukum neki

Pada 1525 (setelah perhikahan Aria Wiralodra dengan Nyi Endang Darma), sang Adipati
menjadikan tempat dimana Sunan Gunung Jati Syarif Hidayatullah pernah berda’wah pada
1471 yaitu Bungko, menjadi Pusat Pengembangan Agama Islam Wilayah Timur Sungai Cimanuk. Baik Sang Adipati sendiri,maupun (terlebih) Sang Ratu Nyi Mas Ratna Gandasari (Nyi Endang Darma) ikut mengawasi sendiri hampir setiap pembangunan masjid-masjid dan madrasah-madrasah, khususnya di wilayah baru yaitu di sebelah Barat Sungai Cimanuk.
Di seluruh madrasah-madrasah Darma Ayu Nagari, selain santrinya wajib mempelajari
Ilmu Agama, mereka diharuskan pula belajar ilmu bela diri, agar selalu siaga sewaktu -waktu
diperlukan untuk Bela Negara.
Pelatih-pelatih silatnya adalah para pendekar alumnus Perguruan Silat Nyi Endang Darma
Pelarian dari Jayakarta (Sunda Kalapa)Tumenggung Nitinagara
Setelah Nyi Mas Ratna Gandasari bebas dari tugas-tugas Sang Guru Sunan Gunung Jati,
maka sang Adipati Aria Wiralodra mendapat seorang tenaga ahli, baik di bidang agama
maupun kesejahteraan rakyat.
Hal yang paling perlu dikembangkan untuk kesejahteraan rakyat adalah bidang perdagangan, khususnya ke luar Darma Ayu maupun ke Mancanagara.
Ketika perluasan pembangunan pelabuhan(atas saran Demak) selesai dikerjakan, maka
pintu telah dibuka dan kapal besar-kecil,keluar-masuk pelabuhan (desa-desa yang sekarang bernama Pagirikan , Pabean dan Pasekan adalah lokasinya). Betapa ramainya perdagangan sampai ke mancanagara waktu itu.
Hasil pertanian dari bibit-bibit unggul yang dibawa oleh Nyi Endang Darma sangat disukai
oleh para pembeli dari luar Darma Ayu maupun mancanagara, seperti: lada, padi,kacang tanah, sayur mayur, mangga, pisang sale, sagu, gula, minyak kelapa, garam, juga dendeng rusa, dendeng kerbau , telur asin,ayam itik dan kalkun. Selain itu komoditas lain diminati pula oleh pembeli dari mancanagara seperti tikar, bakul, ayakan bahkan anglo,tetapi yang paling menguntungkan adalah
keranjang rotan dan kayu balok/papan.

Kebalikannya masyarakat Darma Ayu Nagari paling banyak mendatangkan dari mancanagara
adalah: pakaiari, porselen, keramik Cina,laken, permadani dan batangan besi.
Ketika kemakmuran mulai meningkat dalam keadaan yang stabil damai , tiba-tiba Darma Ayu Nagari dikejutkan kedatangan musuh yang dipimpin oleh Tumenggung Jayakarta yang bernama
Pangeran Nitinagara. Dia didampingi penasehatnya yang disebutTetua (juga seorang tumenggung) bernama Pangeran Wadu Aji.
Mereka berkemah di luar kota dan mengutus Sang Tctua Pangeran Wadu Aji, dikawal empat
orang jawara. Dengan beraninya mereka langsung masuk Pendopo Dalem Agung yang sedang ada acara seba.
Para prajurit Jagabaya mengira mereka adalah tamu biasa yang akan menghadiri acara seba,
membiarkan masuk. Jagabaya baru kemudian menyadari ketika mereka menerobos terus ke
depan, maka prajurit pengawal yang berjumlah delapan orang menghalaunya. Tidak diduga, dengan mudah kedelapan prajurit Jagabaya tersebut dilumpuhkan.
Terjadi keonaran karena hampir semua pejabat Nagari dari tumengung sampai bahusuku ingin mcnangkapnya, tetapi dicegah oleh Sang Adipati. Dengan waspada Aria Wiralodra membisiki Sang Ratu Saketi Hutama yang segera keluar dari Pendopo dan diikuti oleh scpasang burung Rajawali Ki Tana dan Nini Tani. Di luar gerbang Dalem Agung, mereka melepaskan belasan anak panah sumprit secara beruntun ke udara dengan berbunyi melengking berkepanjangan.
Setelah itu terdengar suara kentungan tancla bahaya dari segala penjuru kota. Tidak sampai
hitungan yang ke 300 maka lapangan di muka Dalem Agung telah berbaris sekitar 50 orang
prajurit berikat kepala hijau -kuning (prajurit pesilat) dan 200 orang prajurit biasa. Termasuk
di antaranya para pejabat yang keluar dari Pendopo Dalem Agung.
Sementara itu di dalam Pendopo Agung hanya tinggal Sang Adipati, Tumenggung Kiyai Tinggil,
Demang Ki Pulaha dan sang tamu serta pengawalnya.
Berkata Sang Adipati: “Bagea tamu yang tidak diundang, siapa nama dan mau apa datang ke
sini?”
Jawaban Pangeran Wadu Aji memperlihatkan keangkuhan, menganggap rendah Penguasa
Darma Ayu Nagari, katanya: “Katambuan, aku adalah pengelana, namaku Wadu Aji, kami
sedang mencari tempat untuk Pangeran Nitinagara yang akan menjadi Penguasa dan tempat ini cocok.
“Kami punya 200 orang prajurit unggulan yang saat ini sedang berkemah di luar kota menjaga
Pangeran kami dan aku diutus kemari untuk menawarkan perdamaian. Maka kalau kamu menyerah, akan selamat. Barangkali nanti Pangeran Nitinagara bersedia membayar kerugian. Kami kaya, uang banyak dari hasil penjualan Tanah Karawang dan Bogor pada pengusaha berbangsa Inggris. Apa jawabanmu?

Cepat sebelum aku berubah pikiran !”
Sang Adipati menjawab keras: “Wadu Aji, tadi kamu telah mendengar tanda-bahaya dengan
sumprit dan bunyi kentungan. Maka apabila kamu keluar dari sini akan melihat kesiapan
tempur rakyat yang akan membela nagarinya.Sekarang dengarlah! Kamu mengatakan
Nitinagara, aku tahu sekarang, Nitinagara dan kamu adalah Tumenggung Pajajaran di Sunda
Kalapa dan bekerjasama dengan orang Portugis melawan Panglima Demak, Wong Agung Paseh
Fadillah Khan. Kamu dan pasukan Portugismu kalah dan terusir sampai di sini.
“Sekarang aku putuskan, kalau Nitinagara dan kamu menyerah akan aku bebaskan tetapi
seluruh harta benda yang kamu bawa menjadi milik Nagari termasuk prajuritmu. Tetapi kalau
melawan akan kami tangkap untuk diserahkan ke Demak. Nagari kami di bawah kuasa Demak.
“Nah, sekarang pergilah dan sampaikan kepada Nitinagara!”
Menghormati dirinya sebagai duta maka tanpa berkata apa-apa Pangeran Wadu Aji
mengundurkan diri.
Aria Wiralodra sendiri bersama Ki Tinggil dan Ki Pulaha bergegas ke lapangan. Di lapangan
terbuka Dalem Agung telah tiba dari segala penjuru para prajurit dan sedang menyusun gelar perang yang akhirnya terbentuklah dalam gelar Trisula.
Sementara itu pasukan musuh sudah mulai memasuki lapangan dan berhenti pada jarak 100 depa, membentuk gelar Perang Bedawangkara (segi empat dengan tameng di sisi luar. Dipergunakan untuk melindungi seseorang secara berlapis-lapis dari segala penjuru).
Gelar ini hanya punya kekuatan pada kepala kura-kura dan sisi-sisinya saja dan sama sekali
tidak cocok untuk menyerang, melainkan bertahan atau gelar sementara, maka ketika bendera aba-aba perang dikibarkan Sang Bedawangkara maju dengan sangat lamban.
Di lain pihak di formasi Tombak Trisula, pada sula utama terlihat Sang Ratu Saketi Hutama
dibantu sepasang pendekar Ki Tana dan Nini Tani. Di sula kanan ada Ki Pulaha bersama Ki
Wanasara. Sedangkan pada sula kiri tampil Ki Drayantaka dan Ki Puspahita.
Gerak cepat dari Trisula menerobos
Bedawangkara di tiga tempat dan langsung terjadi perang senjata.
Bagaimana Aria Wiralodra dan Ki Tinggil menerobos ke perut Bedawangkara, tidak ada yang tahu, tiba-tiba saja Pangeran Nitinagara sudah diikat dan dibawa oleh Ki Tinggil ke Pendopo.
Kemudian Aria Wiralodra maju lagi untuk menghadapi Wadu Aji yang sedang bertempur dengan Sang Ratu yang nampak kerepotan,maka Sang Adipati berseru katanya: “Wadu Aji dengarlah! Nitinagara telah kami tawan dan ada di Pendopo, kamu menyerah sajalah!”
Sang Wadu Aji memindahkan serangannya kepada Aria Wiralodra sambil berkata:
“Sebentar lagi akan aku bebaskan setelah aku bunuh kamu.” Maka terjadilah pertempuran
yang berimbang.
Aria Wiralodra berpikir bahwa pertempuran seperti ini akan memakan waktu lama,sementara para prajurit mungkin banyak yang tewas. Maka segera dia bertriwikrama menjadi sebesar anak gunung yang langsung menangkap Pangeran Wadu Aji. Tetapi Wadu Aji berhasil lolos dan melarikan diri.
Di bawah ini Serat Babad Dermayu melukiskan peristiwa tersebut dalam bentuk macapat Pupuh Durma:
Enggal sira nyabeta lawan bedama Nulya
Nitinagara Angasta wangkingannya Anyuduk ing
Wiralodra Nitinagara binanting gumuling kisma
den taleni ing Ki Tinggil Samia bentuk bedama
ing yuda nira Raden anang ngqjurit nemu
tanding aprang Wadu Aji Tan mengsah sinepak
surung njumpalik den Wiralodra medal
Triwikrama glis Antarane sagunung anak
agengnya Wadu Aji ngoncati melqjeng sing rana
mangidul palqjengnya ing pundi ingkang den
ungsi mapan mertapa dadi pandila mangkin
Puspaita Drayantaka Wanasara ngamuk anang
jurit anulya Pulaha angamuk bala katah balane
Tumenggung mangkin nungkul sedaya
kapasrahalcen Ki Tinggil


Setelah dua orang pimpinan tertingginya tidak terlihat di palagan, para prajurit Nitinagara
segera menyerah.
Tumenggung Nitinagara datang ke Darma Ayu Nagari, seperti yang mengirim upeti saja,
sebab harta yang dibawa, baik uang maupun benda-benda berharga, bernilai sangat besar,
menjadi milik Darma Ayu Nagari.
Para prajuritnya dibebaskan dari hukuman dan menjadi penduduk biasa.
Terhadap Pangeran Nitinagara, Sang Adipati meng-ambil kebijakan seperti tertulis pada
Serat Babad Dermayu Pupuh Dandanggula di bawah ini.
Mapan Nitinagara anangis anang ngarsa nira 

Raden Wira reh bade kakirimake ing Demak
pan Sinuhun amripun melas asih mesti gusti
kaula potong jangga ulun aljdi gusti nuwun
gesang Wiralodra sanget welas aningali Wadu
Aji kang dosa Pan sinangonan Nitinagara ken
kesah ngungsi dateng ukir ken mertapa
ngilangake dosa ingkang agung nulya kesah
Nitinagara pun lepas lampah ira benjang
lenggahipun ing leuwiseeng punika ngallh
namajejuluk Ki Gedeng Mangkin Leuwiseeng
pan Sanghyang
 

Kepergian Sang Dwi -Tunggal Pendiri Darma Ayu Nagari Dalam bentuk tulisan maupun lisan yang lebih rinci, seperti dalam hikayat babad, macapat,kanda, kaol, wayang golek cepak, wayang kulit
Cirebonan, dalang macak, sandiwara dan sendratari, maka penuturan maupun pertunjukan perihal Nyi Mas Ratna Gandasari selalu menarik.
Ketaatannya kepada agama dan nagara serta perjuangannya untuk kesejahteraan rakyat dipuji masyarakat Caruban dan Darma Ayu Nagari, sampai lima abad kemudian.
Sanjungan yang merupakan ramalan sang suami, Aria Wiralodra, disampaikan di hadapan saudara-saudaranya yang datang dari Bagelan,dilukiskan dalam Serat Babad Dermayu Macapat Pupuh Dandanggula seperti berikut:
Lan pinasti kersaning Widi
Sanqjan ingkang ngawiwiti kakang
Ingkang gawe nagarane
Endang Darma pan tumut
Anggelar gawe nagari
Dadi campur wanita
Endang Darma punjul
Datan kotor yuda brata
Lan sumbada Endang Darma Ayu rayi
Pan Darmayu Nagara
Benjing negara Darmayu rayi
Dadi pangungsen segala bangsa
Tanah sebrang dugi mangke
Sing wetan kulcn rawuh
Saking pribawaning estri
Samia berumah tangga
Ana ing Darmayu
Langkung rame pan nagara
Nameng susah benjang anak putu niami
Kendang pan ing perdesan


Dalam usia lanjut Nyi Mas Ratu Gandasari (Nyi Endang Darma) wafat dan dimakamkan di
Pemakaman Dalem “Setana Bojong”Indramayu.
Namun masyarakat Cirebon banyak yang menduga, bahwa Nyi Mas Ratu Gandasari dimakamkan di Panguragan, Arjawinangun,Cirebon. Yaitu di lokasi dimana “Sayembara
Pibu Mencari Jodoh” pernah dilakukan. Di tempat tersebut Nyi Mas Ratu Gandasari pernah berkhalwat menyendiri dalam mendekatkan hati kepada Allah SWT sebelum sayembara Pibu.
Masyarakat Cirebon sampai sekarangpun banyak yang percaya bahwa tanah tempat
tafakur Nyi Mas Ratu Gandasari tersebut sangar dan sangat ampuh untuk menghancurkan musuh. Dikenal dengan nama:
“Lemah Panguragan.”
Konon bila tanah ini dipakai untuk maksud kejahatan, obatnya adalah tanah di Desa Lemah Tamba dimana Remagelung (Jaka Soka) melakukan hal yang sama seperti yang dilakukan Nyi Mas Ratu Gandasari. Desa Lemah Tamba adalah tetangga Desa Panguragan.
Tahun wafat, baik Nyi Mas Ratu Gandasari maupun Sang Suami Aria Wralodra, tidak tercatat dalam sejarah.
Serat Babad Dermayu hanya menyatakan dalam Pupuh Dandanggula sebagai berikut:
Kacarita Kiyai Dalem neki Pun lami anggene
mukti nagara Dados Dalem Darmayune
Mangke sampun sesunu
Pan sekawan katah nireki
Pembqjenge Sutamerta
Wirapati wau
Ping tiga Inten entinya
Wuragile Raden Drayantaka mangkin
Kang Rama sampun seda
 

(Adipati Aria Wiralodra dimakamkan di Setana Dalem Sindang)
Untuk mengakhiri kisah ini, dikutipkan sebagian dari ramalan Adipati Aria Wiralodra
mengenai masa depan Darma Ayu Nagari (Lontar abad XV-M) sebagai berikut:
Dulca awak mami benjang Turun pitu dumugi
Para kadang pada ngrenggana temah udrasi
Cipta sesedyane iki
Pangarahnya luput wigar
Saking kurang temeneki
Sanget i/cu den awas den welingana
Priyagung kang pancakara
Kawula sangsara sami
Wong padesan paulayan
Rowang lawan prajurit
Kerengan akeh kang mati
Akeh angin sindung ribut
Kilat tatit kaliweran
Tentanduran rusak sami
Pra Bupati sahandapane pada susah
Susah pari susah beras Kebo Sapi pada mati
Kadang-kadangira pada Kendang mring
padesan sami Nanging banjur Allah nyukani
Karakhamatan kang linuhung
Darma Ayu mulih harja
Tan ana sawiji-wiji
Partelane yen ana taksaka nyabrang
Kali Cimanuk pernahnya
Sumur kejayan dres mili
Dilupak murub tanpa patra
Sedaya pan mukti mali
Somahan lawan prajurit
Rowan kaliyan priyagung
Samiya tentrem atinya
Sedaya harja tumuli
Ing sakehing negara pada raharjat


sumber : H. Masroni
Kuwu Kalensari Kec. Widasari Kab. Indramayu
Sebagai bhakti nagari dermayu
.
D

1 komentar:

  1. AGEN SV388 DEPOSIT VIA BANK PERMATA | BVGAMING

    BVGAMING Adalah Situs Judi Sabung Ayam SV388 Deposit Via Bank Permata, Bandar SV388 Via Bank Permata Terpercaya Di Indonesia Online 24 Jam Setiap Hari. SV388 Aplikasi Judi Sabung Ayam Filipina Via Bank Permata.

    Promo Bonus Spesial 100% !
    Kunjungi Link : https://bit.ly/regisbvgaming
    Layanan Whatsapp (Online 24 Jam) : +628122222995

    BalasHapus