Senin, 31 Oktober 2016

Kampung Mahmud, Kampung Adat Di Tepi Citarum



Kampung Mahmud adalah satu dari sekian banyak kampung adat yang ada di tanah air. Adat istiadat leluhur masih tetap lestari, meski beberapa sudah luntur karena tergerus kemajuan zaman. Potret kehidupan masyarakat yang bersahaja, masih terlihat di sana-sini. Dan inilah keunikan kampung yang dikelilingi sungai Citarum ini.

Secara administratif, Kampung Mahmud masuk dalam lingkungan RW 04 Desa Mekarrahayu, Kecamatan Marga Asih, Kabupaten Bandung.Secara geografis, kampung ini cukup eksklusif karena berada dalam lingkaran Sungai Citarum.Dengan kondisi itu, otomatis warga kampung Mahmud seolah berada di tengah-tengah dan terpisah dengan daerah-daerah tetangga.
Namun sejak beberapa tahun silam, sebuah jembatan besar dan permanen telah menembus kampung tersebut.Sarana jembatan inilah yang seolah memutus “keterasingan” warga Mahmud dengan dunia luar. Bahkan seiring perkembangan Kota Bandung yang mengarah metropolitan, wilayah-wilayah pinggiran kota berjuluk Parijs van Java ini pun mendapat biasnya. Ikut maju, yang ditandai akses jalan dan kendaraan angkutan umum yang lebih memadai.
Kampung Mahmud hanya terletak sekitar 5 kilometer dari kompleks perbelanjaan di dekat batas Kota Bandung dan Kabupaten Bandung.Tempat ini cukup mudah dijangkau dari Kota Bandung, baik dengan kendaraan pribadi maupun kendaraan umum.Ada beberapa rute alternatif yang dapat ditempuh menuju Kampung Mahmud, khususnya dengan kendaraan umum.
Pertama, dari terminal Kebun Kelapa menggunakan angkutan kota dengan rute Kebun Kelapa -Cibaduyut, lalu berhenti di terminal Tegallega. Dari terminal tersebut, menggunakan angkutan kota dengan rute Tegallega-Mahmud, kemudian berhenti di lokasi Kampung Mahmud. Di bawah pukul 09.00 WIB, angkutan tersebut biasanya hanya sampai Bumi Ash I. Untuk melanjutkan perjalanan ke Kampung Mahmud, tersedia delman atau ojeg.
Alternatif kedua, dari terminal Kebun Kelapa menggunakan angkutan kota dengan rute Kebun Kelapa - Cibaduyut, lalu turun di terminal Leuwi Panjang. Dari terminal itu naik angkutan kota dengan jurusan Cipatik, lau berhenti di Rahayu. Selanjutnya naik ojeg menuju Kampung Mahmud.Perjalanan melalui kedua rute tersebut menghabiskan waktu lebih kurang 90 menit.
Di sepanjang jalan masuk Kampung Mahmud berderet warung makan.Ini lantaran sejak beberapa tahun ke belakang, kampung ini banyak dikunjungi tamu yang ingin berziarah ke Makam Eyang Dalem Abdul Manaf.Peziarah semakin membludak ketika bulan Maulud dan hari-hari menjelang bulan Ramadhan.
Rumah asli penduduk Kampung Mahmud adalah berdinding bilik dan tidak bertembok, serta berbentuk panggung. Selain merupakan aturan adat, warga di sana mulanya sangat menjunjung kesederhanaan dan tak saling menonjolkan diri. Selain itu, tentu saja dengan pertimbangan bahwa tanah yang mereka pijak sangat labil karena yang berasal dari rawa.Hanya saja, di sana-sini kini mulai terlihat rumah-rumah bertembok dan menggunakan kaca.

Tanah Arab
Meskipun sarana jembatan telah menjebol keterasingan, tapi di salah satu sudut kampung Mahmud, sarana perahu penyeberangan rakyat masih berfungsi.Itu untuk menyambung sarana transportasi antar warga Kampung Mahmud dengan kampung tetangga. Pemandangan seperti ini mengingatkan kenangan orang akan masa-masa indah tahun 1960-an. Ketika pembangunan jembatan masih belum menyentuh daerah-daerah terpencil di tanah air.
Warga Kampung Mahmud memiliki nilai-nilai kepercayaan terhadap karuhunnya. Antara lain kepercayaan jika mereka adalah keturunan Eyang Dalem Abdul Manaf, keturunan Sultan Mataram. Tentang asal-usulnya menurut buku Sejarah Bandung dijelaskan bahwa, saat tentara Mataram dibawah pimpinan Tumenggung Bhahureksa menyerbu Tatar Ukur untuk menangkap Dipati Ukur, salah seorang putera Dipati Ukur yang bernama Dalem Nayasari atau Mudian Gede dapat meloloskan diri ke Timbanganten.
Di tempat tinggal barunya itu ia dikaruniai seorang putera yang diberi nama Dalem Salayaderega atau Dalem Nayadirega yang kelak terkenal sebagai Embah Dalem Paneger. Ketika wafat, ia dimakamkan di Sentakdulang, Kecamatan Cicadas. Embah Dalem Paneger berputera Embah Dalem Kyai Haji Abdul Manaf yang kelak terkenal sebagai ulama besar yang mempunyai santri dengan jumlah banyak. Setelah dewasa ia berkesempatan menunaikan ibadah haji ke Mekah. Sepulang dari tanah suci ia mendirikan sebuah kampung yang diberi nama “Kampung Mahmud” (“Mahmud” berarti “suci/bersih”) Setelah meninggal dia dimakamkan di kampung tersebut (Mahmud’il-Bandar) yang terletak di tepian Sungai Citarum. Keturunan dari Kyai Haji Abdul Manaf Mahmud sampai kini menjadi ulama-ulama terkenal di Cigondewah dan Sukapakir.
                Satu sumber lain, H. Deden Abdullah Natapraja dari Cigondewah, yang ditemui saat berziarah di salah satu makam, mengatakan kalau asal muasal nama Kampung Mahmud adalah dari kata mahmudah atau “akhlakul mahmudah” yang berarti akhlak yang terpuji. Hal tersebut muncul karena sikap dan perilaku masyarakat kampung yang terpuji, karena mereka jujur, rajin beribadah, dan amanah.

Pantangan Adat
“Ketika menunaikan ibadah haji, Embah Dalem Abdul Manaf pernah singgah di Kampung Mahmud di Mekkah, dan dari sana membawa sekepal tanah yang kemudian ditebarnya di daerah rawa-rawa pinggiran Sungai Citarum yang kelak menjadi Kampung Mahmud. Lokasi ini dipilih karena letaknya yang terpencil dan agak tersembunyi.Konon lokasi seperti ini sangat cocok sebagai pusat perjuangan dalam menyebarkan Islam.Di tempat tanah Mekkah yang ditanam itulah Eyang Haji menempatkan 40 jin pengikutnya untuk menjaga agar kampung itu tidak bisa dijahili orang. Bahkan diceritakan, di masa lalu wilayah ini tidak pernah ditemukan oleh pihak penjajah. Sehingga kampung ini dijadikan tempat persembunyian,” tutur H. Syafei, tokoh masyarakat Kampung Mahmud, yang masih keturunan Eyang Abdul Manaf ketika ditemui KISAH NYATA beberapa waktu lalu.
Sebagai tempat persembunyian dari incaran penjajah, kata H. Syafei, Eyang Abdul Manaf menerapkan beberapa aturan yang harus dipatuhi warganya.Antara lain dilarang membangun gedong (rumah dari tembok), apalagi memakai kaca..
Hal tersebut bukan tanpa sebab.Menurut sesepuh desa, rumah merupakan tempat tinggal sementara yang tidak kekal.Manusia hendaknya membangun fondasi dengan keimanan dan ketakwaan terhadap Allah SWT.Menurut ajaran Islam tidak baik seorang manusia lebih memikirkan pembangunan fisik yang sifatnya duniawi seperti pembangunan rumah tinggal.Sebaiknya aktivitas lebih banyak dilakukan di luar rumah dengan bekerja, beribadah di masjid atau bersilaturahmi dengan tetangga.
“Dengan rumah panggung, yang mencerminkan kesederhanaan, rasa iri dengki dan sombong tidak akan muncul dalam masyarakat.Yang penting itu beribadah, membangun fondasi iman dan takwa yang seharusnya dilakukan dengan sungguh-sungguh” tutur H. Syafei, yang rumahnya masih berbentuk panggung sejak awal dibangun.
Namun sekarang ini sulit ditemui bentuk asli dari bumi adat di Kampung Mahmud.Masyarakat sudah banyak membangun rumah menggunakan bahan tembok.Sumur-sumur pun sudah banyak ditemui di kampung ini.
Hal lain yang dipahing (dilarang) di Kampung Mahmud adalah memelihara kambing dan soang (angsa). Kampung adat ini juga tidak memperkenankan pertunjukan wayang, menabuh go’ong atau menampilkan kesenian jaipongan. Larangan secara tertulis memang tidak ada, namun biasanya bila dilanggar akan menimbulkan bencana bagi yang melanggarnya. Bencana yang dimaksud biasanya berupa penyakit, kesulitan ekonomi, kerusakan hubungan rumah tangga, dan hal lain yang akibatnya buruk.
Namun, meski telah mengalami beberapa perubahan, kini warga kampung berusaha untuk terus mempertahankan keaslian dan keasrian lingkungan sekitar kampung tersebut. Itu dapat terlihat dengan jelas pada bangunan-bangunan seperti rumah, mesjid, langgar, komplek makam, yang semuanya masih dibuat dengan gaya arsitektur bangunan tradisional Sunda. Salah satu kekhasan yang dapat kita temui adalah bumi adat, atau rumah panggung tradisional masyarakat Sunda, yang sarat akan filosofi hidup sederhana dan religius. Rumah panggung ini dibuat dengan bahan utama kayu dan bilik sebagai dinding rumah.Pembuatan rumah panggung menghindari penggunaan bahan kaca, genteng barong, dan tembok.Pembuatan sumur juga awalnya dilarang di sini.Namun seiring dengan perkembangan zaman, beberapa pantangan seperti pembuatan sumur akhirnya juga diizinkan.

Ramai Peziarah
Di Kampung Mahmud terdapat sejumlah makam yang dikeramatkan warga.Beberapa makam seringkali diserbu para peziarah dan berharap berkahnya. Bahkan tidak sedikit peziarah yang datang dari jauh dan menginap di sana. Biasanya peziarah akan membludak pada sepanjang bulan Maulud, puncaknya pada malam Jumat Kliwon. Sebagai gambaran, kata Syafei, ketika hari itu tiba, keadaan Kampung Mahmud bagaikan pasar malam.“Kami, masyarakat di sini meyakini bila pada saat-saat tersebut, para leluhur datang dan berkumpul untuk mengamini segala harapan yang disampaikan.” Jelas Syafei lagi.
Lelaki paroh baya itu lebih lanjut menerangkan, yang menjadi daya tarik peziarah selain untuk bermunajat di makam-makam leluhur, mereka juga percaya kekeramatan Kampung Mahmud.Bahwa di kampung itu masih terdapat pantang adat yang bila dilanggar maka bisa menimbulkan petaka.Bencana yang dimaksud biasanya berupa penyakit, kesulitan ekonomi, kerusakan hubungan rumah tangga, dan hal lain yang akibatnya buruk.Selain itu, Kampung Mahmud juga dianggap sebagai wilayah “ajaib” karena tidak pernah tersentuh banjir, meskipun di lingkari Sungai Ci Tarum yang sering meluap bila musim hujan tiba.
Menurut cerita turun-temurun yang pernah didengar Syafei, hal itu dikarenakan Eyang Haji sempat menugaskan murid kesayangannya bernama Abdullah Gedug.Ia seorang tokoh sakti yang pernah melakoni tapa brata selama 33 tahun di 33 gunung besar di seantero tanah Jawa. Tujuannya untuk untuk melindungi seluruh warga kampung dari ancaman banjir. Dan terbukti hingga saat ini air bah tidak sampai menjilat Kampung Mahmud.
Selain itu, Eyang Haji juga memiliki seorang murid dari bangsa jin yang bernama Raden Kalung Bimanagara. Konon sosok Raden Kalung kepalanya berupa seorang ksatria tampan dan berada di Gunung Wayang, sementara badannya berupa tubuh ular naga berwarna keemasan meliuk-liuk sepanjang aliran Ci Tarum, hingga ekornya di Gua Sanghyang Tikoro, Saguling. Total panjang tubuh tokoh putera Eyang Dalem Dayeuhkolot ini adalah hampir 100 km. Tugas Raden Kalung adalah untuk melindungi keturunan Eyang Haji yang tercebur ke dalam sungai Citarum. Menurut warga setempat, tidak ada orang yang berani melihat penampakannya.Dan juga tidak sembarang orang bisa mengundang kehadirannya.
Keanehan lain Kampung Mahmud adalah ketika air sungai Citarum mulai tercemar dan tidak sehat lagi untuk dikonsumsi. Ketika itu, Eyang Haji memberikan izin kepada warganya untuk membuat sumur.Awalnya, warga yang mencoba menggali sumur tidak pernah mendapati adanya mata air.Padahal tanah yang digali telah sedemikian dalam.Hal ini sempat dicoba di beberapa tempat, tapi tidak berhasil.
Akhirnya Eyang Haji bermunajat kepada Allah SWT dan memohon agar diberikan air untuk memenuhi kebutuhan hidup warganya.Tidak lupa Eyang Haji juga memohon restu kepada karuhun agar diperkenankan membuat sumur meski hal itu merupakan pelanggaran adat.Setelah melakukan hal itu, keanehan pun terjadi.Lubang galian sumur yang semula dibiarkan terebengkalai, mendadak mengeluarkan air.Oleh penduduk air itu kemudian digunakan untuk keperluan sehari-hari. (sep)





Tidak ada komentar:

Posting Komentar