Kampung Mahmud adalah satu dari sekian banyak kampung adat yang ada di
tanah air. Adat istiadat leluhur masih tetap lestari, meski beberapa sudah
luntur karena tergerus kemajuan zaman. Potret kehidupan masyarakat yang
bersahaja, masih terlihat di sana-sini. Dan inilah keunikan kampung yang
dikelilingi sungai Citarum ini.
Secara
administratif, Kampung Mahmud masuk dalam lingkungan RW 04 Desa Mekarrahayu,
Kecamatan Marga Asih, Kabupaten Bandung.Secara geografis,
kampung ini cukup eksklusif karena berada dalam lingkaran Sungai Citarum.Dengan
kondisi itu, otomatis warga kampung Mahmud seolah berada di tengah-tengah dan
terpisah dengan daerah-daerah tetangga.
Namun sejak beberapa tahun silam, sebuah jembatan besar dan
permanen telah menembus kampung tersebut.Sarana jembatan inilah yang seolah
memutus “keterasingan” warga Mahmud dengan dunia luar. Bahkan seiring perkembangan Kota Bandung yang mengarah metropolitan, wilayah-wilayah
pinggiran kota berjuluk Parijs van Java ini pun mendapat biasnya. Ikut maju,
yang ditandai akses jalan dan kendaraan angkutan umum yang lebih memadai.
Kampung Mahmud hanya terletak sekitar 5 kilometer dari kompleks
perbelanjaan di dekat batas Kota Bandung dan Kabupaten Bandung.Tempat ini cukup mudah
dijangkau dari Kota Bandung, baik dengan kendaraan pribadi maupun kendaraan
umum.Ada beberapa rute alternatif yang dapat ditempuh menuju Kampung Mahmud,
khususnya dengan kendaraan umum.
Pertama, dari terminal Kebun Kelapa menggunakan angkutan kota dengan rute Kebun Kelapa
-Cibaduyut, lalu berhenti di terminal Tegallega. Dari terminal tersebut,
menggunakan angkutan kota dengan rute Tegallega-Mahmud, kemudian berhenti di
lokasi Kampung Mahmud. Di bawah pukul 09.00 WIB, angkutan tersebut biasanya
hanya sampai Bumi Ash I. Untuk melanjutkan perjalanan ke Kampung Mahmud,
tersedia delman atau
ojeg.
Alternatif kedua, dari terminal Kebun Kelapa menggunakan
angkutan kota dengan rute Kebun Kelapa - Cibaduyut, lalu turun di terminal
Leuwi Panjang. Dari terminal itu naik angkutan kota dengan jurusan Cipatik, lau
berhenti di Rahayu. Selanjutnya naik ojeg menuju Kampung Mahmud.Perjalanan
melalui kedua rute tersebut menghabiskan waktu lebih kurang 90 menit.
Di sepanjang jalan masuk Kampung Mahmud berderet warung
makan.Ini lantaran sejak beberapa tahun ke belakang, kampung ini banyak
dikunjungi tamu yang ingin berziarah ke Makam Eyang Dalem Abdul Manaf.Peziarah
semakin membludak ketika bulan Maulud dan hari-hari menjelang bulan Ramadhan.
Rumah asli penduduk Kampung Mahmud adalah berdinding bilik dan
tidak bertembok, serta berbentuk panggung. Selain merupakan aturan adat, warga
di sana mulanya sangat menjunjung kesederhanaan dan tak saling menonjolkan diri. Selain itu,
tentu saja dengan pertimbangan bahwa tanah yang mereka pijak sangat labil
karena yang berasal dari rawa.Hanya saja, di sana-sini kini mulai terlihat
rumah-rumah bertembok dan menggunakan kaca.
Tanah Arab
Meskipun sarana jembatan telah menjebol keterasingan, tapi di
salah satu sudut kampung Mahmud, sarana perahu penyeberangan rakyat masih
berfungsi.Itu untuk menyambung sarana transportasi antar warga Kampung Mahmud
dengan kampung tetangga. Pemandangan seperti ini mengingatkan kenangan orang
akan masa-masa indah tahun 1960-an. Ketika pembangunan jembatan masih belum
menyentuh daerah-daerah terpencil di tanah air.
Warga Kampung Mahmud memiliki nilai-nilai kepercayaan terhadap
karuhunnya. Antara lain kepercayaan jika mereka adalah keturunan Eyang Dalem
Abdul Manaf, keturunan Sultan Mataram. Tentang asal-usulnya menurut buku
Sejarah Bandung dijelaskan bahwa, saat tentara Mataram dibawah pimpinan
Tumenggung Bhahureksa menyerbu Tatar Ukur untuk menangkap Dipati Ukur, salah
seorang putera Dipati Ukur yang bernama Dalem Nayasari atau Mudian Gede dapat
meloloskan diri ke Timbanganten.
Di tempat
tinggal barunya itu ia dikaruniai seorang putera yang diberi nama Dalem
Salayaderega atau Dalem Nayadirega yang kelak terkenal sebagai Embah Dalem
Paneger. Ketika wafat, ia dimakamkan di Sentakdulang, Kecamatan Cicadas. Embah
Dalem Paneger berputera Embah Dalem Kyai Haji Abdul Manaf yang kelak terkenal
sebagai ulama besar yang mempunyai santri dengan jumlah banyak. Setelah dewasa
ia berkesempatan menunaikan ibadah haji ke Mekah. Sepulang dari tanah suci ia
mendirikan sebuah kampung yang diberi nama “Kampung Mahmud” (“Mahmud” berarti
“suci/bersih”) Setelah meninggal dia dimakamkan di kampung tersebut
(Mahmud’il-Bandar) yang terletak di tepian Sungai Citarum. Keturunan dari Kyai
Haji Abdul Manaf Mahmud sampai kini menjadi ulama-ulama terkenal di Cigondewah
dan Sukapakir.
Satu sumber lain, H. Deden Abdullah Natapraja dari
Cigondewah, yang ditemui saat berziarah di salah satu makam, mengatakan kalau
asal muasal nama Kampung Mahmud adalah dari kata mahmudah atau “akhlakul mahmudah”
yang berarti akhlak yang terpuji. Hal tersebut muncul karena sikap dan perilaku
masyarakat kampung yang terpuji, karena mereka jujur, rajin beribadah, dan
amanah.
Pantangan Adat
“Ketika menunaikan ibadah haji, Embah Dalem Abdul Manaf pernah
singgah di Kampung Mahmud di Mekkah, dan dari sana membawa sekepal tanah yang
kemudian ditebarnya di daerah rawa-rawa pinggiran Sungai Citarum yang kelak
menjadi Kampung Mahmud. Lokasi ini dipilih karena letaknya yang terpencil dan
agak tersembunyi.Konon lokasi seperti ini sangat cocok sebagai pusat perjuangan
dalam menyebarkan Islam.Di tempat tanah Mekkah yang ditanam itulah Eyang Haji
menempatkan 40 jin pengikutnya untuk menjaga agar kampung itu tidak bisa
dijahili orang. Bahkan diceritakan, di masa lalu wilayah ini tidak pernah
ditemukan oleh pihak penjajah. Sehingga kampung ini dijadikan tempat
persembunyian,” tutur H. Syafei, tokoh masyarakat Kampung Mahmud, yang masih
keturunan Eyang Abdul Manaf ketika ditemui KISAH NYATA beberapa waktu lalu.
Sebagai tempat persembunyian dari incaran penjajah, kata H.
Syafei, Eyang Abdul Manaf menerapkan beberapa aturan yang harus dipatuhi
warganya.Antara lain dilarang membangun gedong (rumah dari tembok), apalagi
memakai kaca..
Hal tersebut bukan tanpa sebab.Menurut sesepuh desa, rumah
merupakan tempat tinggal sementara yang tidak kekal.Manusia hendaknya membangun
fondasi dengan keimanan dan ketakwaan terhadap Allah SWT.Menurut ajaran Islam
tidak baik seorang manusia lebih memikirkan pembangunan fisik yang sifatnya
duniawi seperti pembangunan rumah tinggal.Sebaiknya aktivitas lebih banyak
dilakukan di luar rumah dengan bekerja, beribadah di masjid atau bersilaturahmi
dengan tetangga.
“Dengan rumah panggung, yang mencerminkan kesederhanaan, rasa
iri dengki dan sombong tidak akan muncul dalam masyarakat.Yang penting itu
beribadah, membangun fondasi iman dan takwa yang seharusnya dilakukan dengan sungguh-sungguh”
tutur H. Syafei, yang rumahnya masih berbentuk panggung sejak awal dibangun.
Namun sekarang ini sulit ditemui bentuk asli dari bumi adat di
Kampung Mahmud.Masyarakat sudah banyak membangun rumah menggunakan bahan
tembok.Sumur-sumur pun sudah banyak ditemui di kampung ini.
Hal lain yang dipahing (dilarang) di Kampung Mahmud adalah
memelihara kambing dan soang (angsa). Kampung adat ini juga tidak
memperkenankan pertunjukan wayang, menabuh go’ong atau menampilkan kesenian
jaipongan. Larangan secara tertulis memang tidak ada, namun biasanya bila
dilanggar akan menimbulkan bencana bagi yang melanggarnya. Bencana yang dimaksud
biasanya berupa penyakit, kesulitan ekonomi, kerusakan hubungan rumah tangga,
dan hal lain yang akibatnya buruk.
Namun, meski
telah mengalami beberapa perubahan, kini warga kampung berusaha untuk terus
mempertahankan keaslian dan keasrian lingkungan sekitar kampung tersebut. Itu
dapat terlihat dengan jelas pada bangunan-bangunan seperti rumah, mesjid,
langgar, komplek makam, yang semuanya masih dibuat dengan gaya arsitektur
bangunan tradisional Sunda. Salah satu kekhasan yang dapat kita temui adalah
bumi adat, atau rumah panggung tradisional masyarakat Sunda, yang sarat akan
filosofi hidup sederhana dan religius. Rumah panggung ini dibuat dengan bahan
utama kayu dan bilik sebagai dinding rumah.Pembuatan rumah panggung menghindari
penggunaan bahan kaca, genteng barong, dan tembok.Pembuatan sumur juga awalnya
dilarang di sini.Namun seiring dengan perkembangan zaman, beberapa pantangan
seperti pembuatan sumur akhirnya juga diizinkan.
Ramai Peziarah
Di Kampung Mahmud terdapat sejumlah makam yang dikeramatkan warga.Beberapa
makam seringkali diserbu para peziarah dan berharap berkahnya. Bahkan tidak
sedikit peziarah yang datang dari jauh dan menginap di sana. Biasanya peziarah
akan membludak pada sepanjang bulan Maulud, puncaknya pada malam Jumat Kliwon.
Sebagai gambaran, kata Syafei, ketika hari itu tiba, keadaan Kampung Mahmud
bagaikan pasar malam.“Kami, masyarakat di sini meyakini bila pada saat-saat
tersebut, para leluhur datang dan berkumpul untuk mengamini segala harapan yang
disampaikan.” Jelas Syafei lagi.
Lelaki paroh baya itu lebih lanjut menerangkan, yang menjadi daya
tarik peziarah selain untuk bermunajat di makam-makam leluhur, mereka juga
percaya kekeramatan Kampung Mahmud.Bahwa di kampung itu masih terdapat pantang
adat yang bila dilanggar maka bisa menimbulkan petaka.Bencana yang dimaksud
biasanya berupa penyakit, kesulitan ekonomi, kerusakan hubungan rumah tangga,
dan hal lain yang akibatnya buruk.Selain itu, Kampung Mahmud juga dianggap
sebagai wilayah “ajaib” karena tidak pernah tersentuh banjir, meskipun di
lingkari Sungai Ci Tarum yang sering meluap bila musim hujan tiba.
Menurut cerita turun-temurun yang pernah didengar Syafei, hal
itu dikarenakan Eyang Haji sempat menugaskan murid kesayangannya bernama
Abdullah Gedug.Ia seorang tokoh sakti yang pernah melakoni tapa brata selama 33
tahun di 33 gunung besar di seantero tanah Jawa. Tujuannya untuk untuk
melindungi seluruh warga kampung dari ancaman banjir. Dan terbukti hingga saat
ini air bah tidak sampai menjilat Kampung Mahmud.
Selain itu, Eyang Haji juga memiliki seorang murid dari bangsa
jin yang bernama Raden Kalung Bimanagara. Konon sosok Raden Kalung
kepalanya berupa seorang ksatria tampan dan berada di Gunung Wayang, sementara badannya
berupa tubuh ular naga berwarna keemasan meliuk-liuk sepanjang aliran Ci Tarum,
hingga ekornya di Gua Sanghyang Tikoro, Saguling. Total panjang tubuh tokoh
putera Eyang Dalem Dayeuhkolot ini adalah hampir 100 km. Tugas
Raden Kalung adalah untuk melindungi keturunan Eyang Haji yang tercebur ke
dalam sungai Citarum. Menurut warga setempat, tidak ada orang yang berani
melihat penampakannya.Dan juga tidak sembarang orang bisa mengundang
kehadirannya.
Keanehan lain Kampung Mahmud adalah ketika air sungai Citarum
mulai tercemar dan tidak sehat lagi untuk dikonsumsi. Ketika itu, Eyang Haji
memberikan izin kepada warganya untuk membuat sumur.Awalnya, warga yang mencoba
menggali sumur tidak pernah mendapati adanya mata air.Padahal tanah yang digali
telah sedemikian dalam.Hal ini sempat dicoba di beberapa tempat, tapi tidak
berhasil.
Akhirnya Eyang Haji bermunajat kepada Allah SWT dan memohon agar
diberikan air untuk memenuhi kebutuhan hidup warganya.Tidak lupa Eyang Haji
juga memohon restu kepada karuhun agar diperkenankan membuat sumur meski hal
itu merupakan pelanggaran adat.Setelah melakukan hal itu, keanehan pun
terjadi.Lubang galian sumur yang semula dibiarkan terebengkalai, mendadak
mengeluarkan air.Oleh penduduk air itu kemudian digunakan untuk keperluan
sehari-hari. (sep)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar