Senin, 31 Oktober 2016

Entong Gendut, Pahlawan Rakyat Condet



Di abad ke- 17 orang Belanda menyebut Condet dengan sebutan Groeneveld, yang berarti Tanah Hijau. Pada waktu itu Condet termasuk bagian dari tanah partikulir Tandjoeng Oost atau Tanjung Timur milik Peter van Der Velde asal Amersfoort. Peter van Der Velde merasa perlu untuk membangun sebuah bangunan besar di Condet untuk tempat tinggal sekaligus mengurus segala aktivitasnya. Bangunan itu pun dinamai serupa, yakni Gedung Groeneveld atau Tandjoeng Oost (Tanjung Timur).
Villa Tanjung Timur merupakan tempat persinggahan para petinggi VOC ketika mereka melakukan perjalanan ke Buitenzorg (Bogor) dengan menggunakan kereta kuda. Salah seorang petinggi VOC yang pernah singgah di gedung ini adalah Marsekal Herman Williem Daendles ketika ia menjabat sebagai Gubernur Jendral VOC.
Di villa itu pula pada 1749 pernah berlangsung pertemuan akrab antara Gubernur Jenderal Baron van Imhoff (1743-1750) dan Syarifah Fatimah,wali sultan Banten. Syarifah Fatimah pada 1720 menjadi istri pangeran mahkota Banten dan berpengaruh besar pada suaminya saat ia menjadi sultan pada 1733.
Menurut sejarawan asal Jerman, Adolf F. Hauken, akibat ulah Syarifah Fatimah para pangeran merasa tidak aman dan melarikan diri ke Batavia. Syarifah Fatimah digambarkan sebagai wanita,yang selain cantik, juga cerdas dan terdidik, hingga dapat mempengaruhi suaminya, Sultan Zainul Arifin.
Pertemuannya dengan van Imhoff di Tanjung Timur memancing kemarahan rakyat Banten hingga timbul pemberontakan yang dipimpin Kiai Tapa yang bermarkas di Gunung Munara, dekat Ciseeng, Parung, Bogor, Jawa Barat, pada 1750. Syarifah Fatimah terpaksa menyingkir dari Banten sewaktu teman dekatnya,van Imhoff, meninggal di tahun yang sama. Setahun kemudian (1751) ia meninggal saat menjalani pembuangan di Pulau Edam di Kepulauan Seribu.
Villa Tanjung Timur ini kini tinggal puing-puing sejak terbakar pada 1985 saat digunakan sebagai Ksatriaan Polantas Tanjung Timur. Sayang, Pemda DKI Jakarta tak pernah menggubrisnya. Padahal, bangunan ini merupakan monument perjuangan rakyat Betawi Condet melawan tuan tanah pada 1916.
Tandjoeng Oost mengalami masa kejayaan ketika dikuasai oleh Daniel Cornelius Helvetius van Riemsdijk yang berusaha menggalakkan pertanian dan peternakan.
Setelah ia meninggal pada tahun 1860, Groeneveld menjadi milik putrinya yang
bernama, Dina Cornelia, yang menikah dengan Tjalling Ament, asal Kota Dokkum,
Belanda Utara. Ament melanjutkan usaha mertuanya, meningkatkan usaha pertanian
dan peternakan.
Pertengahan abad ke-19, di kawasan Tanjung Oost dipelihara lebih dari 6000 ekor sapi, produksi susunya sangat terkenal di antero Batavia. Sampai tahun 1942 Groeneveld turun–temurun dihuni keturunan Van Riemsdjik. Keberadaan Villa Tanjung Timur yang oleh penduduk setempat disebut Gedong Tinggi turut mengubah kawasan itu yang semula bernama Kampung Asem Baris menjadi Kampung Gedong sampai sekarang.
 Setelah Tjaling Ament dan istrinya meninggal, Groeneveld dikuasai oleh keturunannya. Sebagai tuan tanah yang menguasai Condet, tuan tanah tersebut mengharuskan rakyat Condet membayar pajak. Juru tagihnya para mandor dan centeng tuan tanah.
Setiap minggu rakyat harus membayar blasting atau pajak kompenian sebesar 2,5
sen. Jumlah itu dinilai sangat besar, sebab harga beras ketika itu cuma empat
sen per kilogram. Penduduk yang belum membayar blasting diharuskan kerja paksa
mencangkul sawah dan kebun milik tuan tanah selama seminggu. Jika para pemilik
sawah atau kebun yang belum membayar pajak kompenian, ganjarannya lebih berat.
Hasil sawah dan kebun mereka tak boleh dipanen.
Menghadapi kebijakan tuan tanah seperti itu, rakyat Condet masih berusaha sabar.
Namun, ketika Asisten Wedana Pasar Rebo bertindak sewenang-wenang terhadap seorang penduduk Condet, kesabaran mereka sampai pada batasnya.
Februari 1916, tuan tanah menang perkara dari seorang petani renta. Ia wajib membayar 7,20 Gulden, ditambah ongkos perkara. Itu keputusan landrad di Meester Cornelis. Karena memang tak punya uang, Taba, petani itu, tak bisa membayar. Tuan tanah marah, menyita semua milik Taba. Di Kebon Jaimin sebelah utara, eksekusi dilakukan terbuka. Banyak tetangga datang, berteriak marah dengan kerongkongan tercekik, tapi tak bisa berbuat apa-apa. Haji Entong Gendut ikut hadir di situ sambil menggertakkan gerahamnya. Ia menggigit bibir, tangannya terkepal. Itu bukan kejadian pertama. Mulanya dia memilih diam, tapi sejak tragedi Taba, Entong Gendut mulai membangkang.
Berikutnya, 5 April 1916. Ada pertunjukan Tari Topeng di rumah Nyonya Van der Vasse Rollinson di Villa Nova, Cililitan. yang dipentaskan mulai pukul 11 malam. Umumnya pergelaran Tari Topeng kala itu, bukan sekadar tarian yang ditampilkan. Ada judi, juga pelacuran. Sejak sore suasana jadi tegang. Mobil D.C. Ament, Tuan Tanah dari Tandjoeng Oost yang dating ke sana dilempari batu oleh sekelompok penduduk. Ketika gendang mulai ditabuh, segerombolan orang berpakaian jawara, datang melabrak. Mereka minta supaya acara dibubarkan.
"Ini perintah Haji Entong Gendut!" begitu mereka berteriak, lantang. Warga patuh. Mereka bubar dan pulang dengan tenang.
Celakanya, wedana uring-uringan. Dia utus mantri polisi dan demang ke Batu Ampar untuk membekuk Entong Gendut. Begitu tiba di rumah Entong Gendut, mereka disambut para jawara Condet yang ikut bergabung dalam barisan Entong Gendut. Ada Maliki, Modin,
Saiprin, Haji Amat Wahab, Sayyid Kramat, Hadi, Dullah, dan para habib dari Cawang seperti Habib Ahmad Al Hadad, Sayyid Mukhsin Alatas, dan Habib Alaydrus.
Saat ditanya mengapa ia berani menghentikan pertunjukan Tari Topeng, Entong Gendut menjawab lugas, "Demi Agama!" Dengan cara yang serba lepas ia coba jelaskan tentang rakyat yang miskin akibat diperas, tapi terperangkap dalam judi dan pelacuran.
Mantri polisi dan demang menganggap Entong Gendut sudah keterlaluan. Namun mereka tak berani meski sekompi pasukan dengan senjata lengkap ikut dibawa. Lagi pula Entong Gendut sepertinya sudah siap. Sambil menghunus sebilah golok ia mengancam, "Gua gedruk nih tanah, maka nih tanah bakalan jadi laut!" Tanpa dikomando, dari semak-semak bermunculan jawara-jawara lain yang sebelumnya tak nampak.
Orang Betawi Condet memang terkenal adatnya yang keras, mungkin memang sudah diwariskan dari leluhurnya yang menurut catatan sejarah adalah orang-orang
bui-an Belanda, seperti para pejuang Laskar Banten pimpinan Pangeran Purbaya,
dan orang-orang Makassar pengikut Dato Tonggara atau Kapitan Daeng Matara.
Tidak heran apabila di Tanah Condet kelak setelah itu, bermunculan para
pemberontak yang sangat membenci Belanda. Bukan cuma itu, Condet juga merupakan
basis para pendekar silat Betawi dari berbagai aliran, mulai dari Sapu Angin,
Bandul, Lima Pancer, Ki Atu, Ki Jrimin, Muara Condet, Bongkot, Al Jabbar, Pletak
Pletik hingga ke Silo Macan.
Karena keberpihakannya pada petani dalam sekejap pendukung Entong Gendut semakin bertambah banyak. Wedana jadi gundah. Ia menyuruh asistennya turun tangan langsung mengepung rumah Entong Gendut di hari-hari berikut.
Usaha itu mendapat perlawanan dari Entong Gendut Cs. Pada 9 April 1916 Entong Gendut menawan Asisten Wedana. Aksi-aksinya tersebut menimbulkan keresahan di kalangan penguasa kolonial, termasuk Asisten Residen tentunya.
Oleh karena itu pada tanggal 10 April 1916 Asisten Residen berserta dengan pasukannya mencoba menangkap Entong Gendut. Ketika tiba di lokasi, Asisten Residen berteriak, menyuruh Entong Gendut supaya keluar.
"Gua bakalan keluar setelah sembahyang barang sebentar!" Entong Gendut menyahut dari dalam. Dan ia pun keluar, bersama tombak, sebilah golok, dan bendera merah dihiasi bulan sabit putih. Ia tidak tunduk pada apapun, juga kepada Belanda. "Gua cuma tunduk sama Allah!" tegasnya garang. Di belakangnya telah bersiap pula 40 orang pengikutnya.
Asisten Residen menyuruh polisi menangkap Entong Gendut dan pengikutnya. Namun tanpa diduga oleh marsose (polisi Belanda) yang mengepungnya, Entong Gendut dan anak buahnya menyerang mereka sembari meneriakkan sabilillah.
Teriakan-teriakan “Allahu Akbar! Sabilullah! Gua kagak takut!” menggema ke seantero Condet, mewakili genderang perang jihad menegakkan amar makruf nahi munkar.
Hal ini membuat pihak Belanda marah dan mengerahkan bala bantuan dari Batavia. Pemberontakan berhasil ditumpas. Haji Entong Gendut gugur. Kelihaiannya bermain jurus silat Silo Macan, tidak menghalangi hujaman peluru Belanda yang deras mengarah ke dadanya. Dia tersungkur tertembak ketika terpancing Belanda untuk menyeberangi kali Ciliwung. Konon, menurut cerita rakyat, kekebalan Entong Gendut akan luntur apabila terkena air sungai.
Asisten Resident Meester Cornelis yang kala itu memimpin penumpasan rakyat Condet,
memerintahkan untuk membawa Entong Gendut ke Rumah Sakit Kwini (kini RSPAD Jakarta).
Namun, di tengah perjalanan dia menghembuskan nafasnya yang terakhir. Satu persatu para pengikutnya ditangkapi.
Setelah pemberontakan itu, tindakan tuan tanah dan Kompeni terhadap rakyat
Condet semakin kejam, sehingga tidak ada seorang pun orang dewasa yang berani
tinggal di Condet. Mereka semua melarikan diri dari kejaran Belanda.
Bahkan di jalan-jalan Batavia sampai tidak ada yang berani mengaku orang Condet. Kala itu banyak pemuda Condet yang ditangkap dan pulang tinggal nama. Situasi
mencekam itu digambarkan dalam pantun rakyat Condet yang cukup terkenal :

Ular kadut mati di kobak
Burung betet makanin laron
Entong gendut mati ditembak
Orang Condet pada buron

Sementara itu beberapa pendekar lain seperti Maliki, Modin, Hadi, dan Dullah melarikan diri ke arah timur, yaitu Rawa Binong (sekarang termasuk Kelurahan Lubang Buaya, Kecamatan Cipayung, Jakarta Timur). Di daerah itu mereka membangun basis perjuangan, menyalakan kembali api pemberontakan dengan mendidik rakyat Rawa Binong menjadi pendekar, melahirkan buaya-buaya yang disegani tidak hanya oleh para tuan tanah, melainkan juga oleh kompeni. Hingga di tempat itu kemudian hari dikenal dengan sebutan Lobang Buaya, yang berarti sarangnya buaya-buaya silat atau jawara.(Sep)*






Tidak ada komentar:

Posting Komentar