Di abad ke- 17
orang Belanda menyebut Condet dengan sebutan Groeneveld, yang berarti Tanah
Hijau. Pada waktu itu Condet termasuk bagian dari tanah partikulir Tandjoeng
Oost atau Tanjung Timur milik Peter van Der Velde asal Amersfoort. Peter van
Der Velde merasa perlu untuk membangun sebuah bangunan besar di Condet untuk
tempat tinggal sekaligus mengurus segala aktivitasnya. Bangunan itu pun dinamai
serupa, yakni Gedung Groeneveld atau Tandjoeng Oost (Tanjung Timur).
Villa Tanjung
Timur merupakan tempat persinggahan para petinggi VOC ketika mereka melakukan
perjalanan ke Buitenzorg (Bogor) dengan menggunakan kereta kuda. Salah seorang
petinggi VOC yang pernah singgah di gedung ini adalah Marsekal Herman Williem
Daendles ketika ia menjabat sebagai Gubernur Jendral VOC.
Di villa itu pula
pada 1749 pernah berlangsung pertemuan akrab antara Gubernur Jenderal Baron van
Imhoff (1743-1750) dan Syarifah Fatimah,wali sultan Banten. Syarifah
Fatimah pada 1720 menjadi istri pangeran mahkota Banten dan berpengaruh besar
pada suaminya saat ia menjadi sultan pada 1733.
Menurut
sejarawan asal Jerman, Adolf F. Hauken, akibat ulah Syarifah Fatimah para
pangeran merasa tidak aman dan melarikan diri ke Batavia. Syarifah Fatimah
digambarkan sebagai wanita,yang selain cantik, juga cerdas dan terdidik, hingga
dapat mempengaruhi suaminya, Sultan Zainul Arifin.
Pertemuannya
dengan van Imhoff di Tanjung Timur memancing kemarahan rakyat Banten hingga
timbul pemberontakan yang dipimpin Kiai Tapa yang bermarkas di Gunung Munara,
dekat Ciseeng, Parung, Bogor, Jawa Barat, pada 1750. Syarifah Fatimah terpaksa
menyingkir dari Banten sewaktu teman dekatnya,van Imhoff, meninggal di tahun
yang sama. Setahun kemudian (1751) ia meninggal saat menjalani pembuangan di
Pulau Edam di Kepulauan Seribu.
Villa Tanjung
Timur ini kini tinggal puing-puing sejak terbakar pada 1985 saat digunakan
sebagai Ksatriaan Polantas Tanjung Timur. Sayang, Pemda DKI Jakarta tak pernah
menggubrisnya. Padahal, bangunan ini merupakan monument perjuangan rakyat
Betawi Condet melawan tuan tanah pada 1916.
Tandjoeng Oost
mengalami masa kejayaan ketika dikuasai oleh Daniel Cornelius Helvetius van
Riemsdijk yang berusaha menggalakkan pertanian dan peternakan.
Setelah ia meninggal pada tahun 1860, Groeneveld menjadi milik putrinya yang
bernama, Dina Cornelia, yang menikah dengan Tjalling Ament, asal Kota Dokkum,
Belanda Utara. Ament melanjutkan usaha mertuanya, meningkatkan usaha pertanian
dan peternakan.
Setelah ia meninggal pada tahun 1860, Groeneveld menjadi milik putrinya yang
bernama, Dina Cornelia, yang menikah dengan Tjalling Ament, asal Kota Dokkum,
Belanda Utara. Ament melanjutkan usaha mertuanya, meningkatkan usaha pertanian
dan peternakan.
Pertengahan abad
ke-19, di kawasan Tanjung Oost dipelihara lebih dari 6000 ekor sapi, produksi
susunya sangat terkenal di antero Batavia. Sampai tahun 1942 Groeneveld
turun–temurun dihuni keturunan Van Riemsdjik. Keberadaan Villa Tanjung Timur
yang oleh penduduk setempat disebut Gedong Tinggi turut mengubah kawasan itu
yang semula bernama Kampung Asem Baris
menjadi Kampung Gedong sampai
sekarang.
Setelah Tjaling Ament dan istrinya meninggal,
Groeneveld dikuasai oleh keturunannya. Sebagai tuan tanah yang menguasai
Condet, tuan tanah tersebut mengharuskan rakyat Condet membayar pajak. Juru
tagihnya para mandor dan centeng tuan tanah.
Setiap minggu
rakyat harus membayar blasting atau
pajak kompenian sebesar 2,5
sen. Jumlah itu dinilai sangat besar, sebab harga beras ketika itu cuma empat
sen per kilogram. Penduduk yang belum membayar blasting diharuskan kerja paksa
mencangkul sawah dan kebun milik tuan tanah selama seminggu. Jika para pemilik
sawah atau kebun yang belum membayar pajak kompenian, ganjarannya lebih berat.
Hasil sawah dan kebun mereka tak boleh dipanen.
sen. Jumlah itu dinilai sangat besar, sebab harga beras ketika itu cuma empat
sen per kilogram. Penduduk yang belum membayar blasting diharuskan kerja paksa
mencangkul sawah dan kebun milik tuan tanah selama seminggu. Jika para pemilik
sawah atau kebun yang belum membayar pajak kompenian, ganjarannya lebih berat.
Hasil sawah dan kebun mereka tak boleh dipanen.
Menghadapi
kebijakan tuan tanah seperti itu, rakyat Condet masih berusaha sabar.
Namun, ketika Asisten Wedana Pasar Rebo bertindak sewenang-wenang terhadap seorang penduduk Condet, kesabaran mereka sampai pada batasnya.
Namun, ketika Asisten Wedana Pasar Rebo bertindak sewenang-wenang terhadap seorang penduduk Condet, kesabaran mereka sampai pada batasnya.
Februari
1916, tuan tanah menang perkara dari seorang petani renta. Ia wajib membayar
7,20 Gulden, ditambah ongkos perkara. Itu keputusan landrad di Meester Cornelis. Karena memang tak punya uang, Taba,
petani itu, tak bisa membayar. Tuan tanah marah, menyita semua milik Taba. Di
Kebon Jaimin sebelah utara, eksekusi dilakukan terbuka. Banyak tetangga datang,
berteriak marah dengan kerongkongan tercekik, tapi tak bisa berbuat apa-apa. Haji
Entong Gendut ikut hadir di situ sambil menggertakkan gerahamnya. Ia menggigit
bibir, tangannya terkepal. Itu bukan kejadian pertama. Mulanya dia memilih
diam, tapi sejak tragedi Taba, Entong Gendut mulai membangkang.
Berikutnya, 5
April 1916. Ada pertunjukan Tari Topeng di rumah Nyonya Van der Vasse Rollinson
di Villa Nova, Cililitan. yang dipentaskan mulai pukul 11 malam. Umumnya pergelaran
Tari Topeng kala itu, bukan sekadar tarian yang ditampilkan. Ada judi, juga
pelacuran. Sejak sore suasana jadi tegang. Mobil D.C. Ament, Tuan Tanah dari
Tandjoeng Oost yang dating ke sana dilempari batu oleh sekelompok penduduk. Ketika
gendang mulai ditabuh, segerombolan orang berpakaian jawara, datang melabrak.
Mereka minta supaya acara dibubarkan.
"Ini
perintah Haji Entong Gendut!" begitu mereka berteriak, lantang. Warga
patuh. Mereka bubar dan pulang dengan tenang.
Celakanya,
wedana uring-uringan. Dia utus mantri polisi dan demang ke Batu Ampar untuk
membekuk Entong Gendut. Begitu tiba di rumah Entong Gendut, mereka disambut para
jawara Condet yang ikut bergabung dalam barisan Entong Gendut. Ada Maliki,
Modin,
Saiprin, Haji Amat Wahab, Sayyid Kramat, Hadi, Dullah, dan para habib dari Cawang seperti Habib Ahmad Al Hadad, Sayyid Mukhsin Alatas, dan Habib Alaydrus.
Saiprin, Haji Amat Wahab, Sayyid Kramat, Hadi, Dullah, dan para habib dari Cawang seperti Habib Ahmad Al Hadad, Sayyid Mukhsin Alatas, dan Habib Alaydrus.
Saat ditanya
mengapa ia berani menghentikan pertunjukan Tari Topeng, Entong Gendut menjawab
lugas, "Demi Agama!" Dengan cara yang serba lepas ia coba jelaskan
tentang rakyat yang miskin akibat diperas, tapi terperangkap dalam judi dan
pelacuran.
Mantri polisi
dan demang menganggap Entong Gendut sudah keterlaluan. Namun mereka tak berani
meski sekompi pasukan dengan senjata lengkap ikut dibawa. Lagi pula Entong
Gendut sepertinya sudah siap. Sambil menghunus sebilah golok ia mengancam,
"Gua gedruk nih tanah, maka nih tanah bakalan jadi laut!" Tanpa
dikomando, dari semak-semak bermunculan jawara-jawara lain yang sebelumnya tak
nampak.
Orang Betawi
Condet memang terkenal adatnya yang keras, mungkin memang sudah diwariskan dari
leluhurnya yang menurut catatan sejarah adalah orang-orang
bui-an Belanda, seperti para pejuang Laskar Banten pimpinan Pangeran Purbaya,
dan orang-orang Makassar pengikut Dato Tonggara atau Kapitan Daeng Matara.
Tidak heran apabila di Tanah Condet kelak setelah itu, bermunculan para
pemberontak yang sangat membenci Belanda. Bukan cuma itu, Condet juga merupakan
basis para pendekar silat Betawi dari berbagai aliran, mulai dari Sapu Angin,
Bandul, Lima Pancer, Ki Atu, Ki Jrimin, Muara Condet, Bongkot, Al Jabbar, Pletak
Pletik hingga ke Silo Macan.
bui-an Belanda, seperti para pejuang Laskar Banten pimpinan Pangeran Purbaya,
dan orang-orang Makassar pengikut Dato Tonggara atau Kapitan Daeng Matara.
Tidak heran apabila di Tanah Condet kelak setelah itu, bermunculan para
pemberontak yang sangat membenci Belanda. Bukan cuma itu, Condet juga merupakan
basis para pendekar silat Betawi dari berbagai aliran, mulai dari Sapu Angin,
Bandul, Lima Pancer, Ki Atu, Ki Jrimin, Muara Condet, Bongkot, Al Jabbar, Pletak
Pletik hingga ke Silo Macan.
Karena
keberpihakannya pada petani dalam sekejap pendukung Entong Gendut semakin
bertambah banyak. Wedana jadi gundah. Ia menyuruh asistennya turun tangan
langsung mengepung rumah Entong Gendut di hari-hari berikut.
Usaha itu
mendapat perlawanan dari Entong Gendut Cs. Pada 9 April 1916 Entong Gendut
menawan Asisten Wedana. Aksi-aksinya tersebut menimbulkan keresahan di kalangan
penguasa kolonial, termasuk Asisten Residen tentunya.
Oleh karena
itu pada tanggal 10 April 1916 Asisten Residen berserta dengan pasukannya
mencoba menangkap Entong Gendut. Ketika tiba di lokasi, Asisten Residen
berteriak, menyuruh Entong Gendut supaya keluar.
"Gua bakalan
keluar setelah sembahyang barang sebentar!" Entong Gendut menyahut dari
dalam. Dan ia pun keluar, bersama tombak, sebilah golok, dan bendera merah
dihiasi bulan sabit putih. Ia tidak tunduk pada apapun, juga kepada Belanda.
"Gua cuma tunduk sama Allah!" tegasnya garang. Di belakangnya telah
bersiap pula 40 orang pengikutnya.
Asisten Residen
menyuruh polisi menangkap Entong Gendut dan pengikutnya. Namun tanpa diduga
oleh marsose (polisi Belanda) yang mengepungnya, Entong Gendut dan anak buahnya
menyerang mereka sembari meneriakkan sabilillah.
Teriakan-teriakan
“Allahu Akbar! Sabilullah! Gua kagak takut!” menggema ke seantero Condet,
mewakili genderang perang jihad menegakkan amar
makruf nahi munkar.
Hal ini membuat
pihak Belanda marah dan mengerahkan bala bantuan dari Batavia. Pemberontakan
berhasil ditumpas. Haji Entong Gendut gugur. Kelihaiannya bermain jurus silat Silo
Macan, tidak menghalangi hujaman peluru Belanda yang deras mengarah ke dadanya.
Dia tersungkur tertembak ketika terpancing Belanda untuk menyeberangi kali
Ciliwung. Konon, menurut cerita rakyat, kekebalan Entong Gendut akan luntur
apabila terkena air sungai.
Asisten Resident
Meester Cornelis yang kala itu memimpin penumpasan rakyat Condet,
memerintahkan untuk membawa Entong Gendut ke Rumah Sakit Kwini (kini RSPAD Jakarta).
Namun, di tengah perjalanan dia menghembuskan nafasnya yang terakhir. Satu persatu para pengikutnya ditangkapi.
memerintahkan untuk membawa Entong Gendut ke Rumah Sakit Kwini (kini RSPAD Jakarta).
Namun, di tengah perjalanan dia menghembuskan nafasnya yang terakhir. Satu persatu para pengikutnya ditangkapi.
Setelah
pemberontakan itu, tindakan tuan tanah dan Kompeni terhadap rakyat
Condet semakin kejam, sehingga tidak ada seorang pun orang dewasa yang berani
tinggal di Condet. Mereka semua melarikan diri dari kejaran Belanda.
Condet semakin kejam, sehingga tidak ada seorang pun orang dewasa yang berani
tinggal di Condet. Mereka semua melarikan diri dari kejaran Belanda.
Bahkan di
jalan-jalan Batavia sampai tidak ada yang berani mengaku orang Condet. Kala itu
banyak pemuda Condet yang ditangkap dan pulang tinggal nama. Situasi
mencekam itu digambarkan dalam pantun rakyat Condet yang cukup terkenal :
mencekam itu digambarkan dalam pantun rakyat Condet yang cukup terkenal :
Ular kadut mati di kobak
Burung betet makanin laron
Entong gendut mati ditembak
Orang Condet pada buron
Sementara itu beberapa
pendekar lain seperti Maliki, Modin, Hadi, dan Dullah melarikan diri ke arah
timur, yaitu Rawa Binong (sekarang termasuk Kelurahan Lubang Buaya, Kecamatan
Cipayung, Jakarta Timur). Di daerah itu mereka membangun basis perjuangan,
menyalakan kembali api pemberontakan dengan mendidik rakyat Rawa Binong menjadi
pendekar, melahirkan buaya-buaya yang disegani tidak hanya oleh para tuan
tanah, melainkan juga oleh kompeni. Hingga di tempat itu kemudian hari dikenal
dengan sebutan Lobang Buaya, yang berarti sarangnya buaya-buaya silat atau
jawara.(Sep)*
Tidak ada komentar:
Posting Komentar